Ahli Epidemiologi: PSBB Perlu Diberlakukan Secara Nasional

Kamis, 23 April 2020 - 14:17 WIB
loading...
Ahli Epidemiologi: PSBB...
Petugas melakukan pengecekan suhu tubuh dan identitas pengendara yang melanggar pelaksanaan PSBB di Jalan Raya Jatiwaringin, Bekasi, Minggu 19 April 2020. Foto/SINDOnews/Eko Purwanto
A A A
JAKARTA - Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengatakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) perlu diberlakukan dalam skala nasional dengan benar dan terukur.

Pemerintah juga diminta untuk meningatkan kapasitas pelayanan kesehatan agar dapat menekan angka kematian. Hal ini diperlukan untuk menahan laju penyebaran pandemi Corona atau Covid-19.

Pesan tersebut disampaikan Pandu dalam diskusi online bertema Corona dan Daya Tahan Sosial Politik Indonesia yang digelar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Rabu 22 April 2020.

Diskusi ini membahas evaluasi sekaligus apa yang harus dilakukan ke depan oleh pemerintah agar dapat meringankan pandemi Corona yang sedang menjangkit negeri ini. Pandemi Corona tidak hanya berdampak pada sisi kesehatan dan ekonomi saja, melainkan juga pada aspek sosial politik.

Pandu mengatakan, kesehatan publik tidak lepas dari politik. Banyak regulasiyang membahas soal kesehatan publik. Banyak negara pun menjadikan kesehatan publik sebagai isu politik.

Dalam penelitiannya, Pandu mengatakan perjalanan pandemi ini sangat tergantung intensitas intervensi pemerintah. Semakin tinggi intensitas intervensinya maka semakin landai grafik perjalanan pandemi ini sehingga fasilitas kesehatan bisa menampung orang yang terjangkit virus Corona.

"Sebaliknya, apabila intensitas intervensinya rendah maka masyarakat yang terjangkit akan lebih banyak dari daya tampung fasilitas kesehatan. Akhirnya banyak orang yang terinfeksi tidak bisa ditangani dengan baik," tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews.

Intervensi yang dimaksud adalah perlu adanya edukasi publik yang masif dan terus-menerus dengan bahasa yang mudah dipahami. Termasuk juga dengan memperluas kebijakan PSBB.

Sementara itu, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menyebut bahwa corona ini juga menguji relasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Dalam kasus Corona ini pemerintah daerah sepertinya dibatasi oleh pemerintah pusat padahal otonomi daerah sudah diatur dalam UU Otonomi Daerah yang merupakan salah satu amanah reformasi.

Menurut mantan Dirjen Otoda Kemendagri ini, seharusnya pemerintah pusat harus mempunyai kebijakan yang high strategy dan mampu berkomunikasi dengan kepala daerah yang betul-betul mengetahui tentang kondisi lapangan di daerahnya.

Djohermansyah Djohan berharap bahwa pemerintah pusat dapat mendengarkan masukan-masukan dari kepala daerah. “Masih ada peluang dengan kepemimpinan strong leadership,” ujar tururnya.( )

Sementara pengamat politik Philips J Vermonte berpandangan berbeda. Menurut dia, Indonesia memang diharapkan bisa menerapkan kebijakan desentralisasi, namun dalam konteks penanganan bencana, justru harus tersentralisasi.

“Harus ada kesatuan pandangan terhadap siapa mengerjakan apa dan kapasitas daerah juga berbeda-beda,” sanggah Philips.

Philips menyebut Covid-19 ini menunjukkan semua negara rentan, tidak pandang bulu apakah negara tersebut negara miskin, negara kaya, negara maju, dan negara berkembang.

Faktor yang membedakan adalah sistem kesehatan publik yang baik dan tata kelola pemerintahan yang baik yang akan membuat suatu negara pulih dengan cepat.

Dari negara-negara yang sudah berhasil menurunkan grafik Covid-19 seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Selandia Baru, dan Jerman, ada kesamaan yang bisa terlihat seperti kepemimpinan yang solid, tata kelola pemerintahan yang baik, visi yang jelas, dan pemerintah yang sangat menghargai data. Terlepas dari itu semua, diperlukan kepatuhan masyarakat dalam menjalani kebijakan yang sudah diberlakukan. “Tidak ada kebijakan yang berhasil tanpa ada kepatuhan dari masyarakat,” katanya.

Sementara itu, profesor peneliti hubungan internasional di Pusat Studi Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar menyebut bahwa pandemi ini menyebar sangat cepat dan kecepatan penyebaran pandemi ini karena dampak dari globalisasi.

“Urat nadi dari globalisasi adalah transportasi udara dan laut, perdagangan dan perekonomian,” katanya.

Menurut dia, pandemi ini dari sudut pandang keamanan harus diselesaikan secara nontraditional security yang melibatkan negara-negara untuk bekerjasama lebih baik. Namun di sisi lain, masyarakat diharapkan kembali ke nation state-nya masing-masing.

Dewi mengungkapkan, dampak jangka panjang dari pandemi ini memaksa kita untuk merekalibrasi kembali hubungan internasional, hal manakah yang perlu benar-benar kolaborasi internasional dan agar kita dapat meningkatkan kembali ketahanan nasional. Ketahanan nasional dalam hal ini ketahanan pangan, energi, obat-obatan, dan juga sistem ekonomi.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1083 seconds (0.1#10.140)