Nekat! Kolonel Pentolan Intelijen Ini Berani Lawan Sepupunya yang Berpangkat Jenderal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tak ada yang meragukan sepak terjang Kolonel Zulkifli Lubis dalam dunia intelijen Indonesia. Tak main-main, dia dijuluki sebagai Bapak Intelijen Indonesia.
Namun, perjalanan hidup Zulkifli Lubis di dunia militer sangat berliku. Jebolan terbaik Pembela Tanah Air (Peta) ini tercatat tak selalu sejalan dengan pemerintah.
Bahkan, Lubis berseberangan dengan saudara sepupunya yang seorang tokoh militer, Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution. Tak tanggung-tanggung, perseteruan keduanya melahirkan pergolakan politik di Tanah Air maupun di tubuh TNI.
Dikutip dari buku "Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia, Sabtu (8/1/2022), dikisahkan hubungan Zulkifli Lubis dan AH Nasution cukup aneh. Secara pribadi, keduanya saudara sepupu. Keduanya sama-sama muslim yang taat, sederhana, konstitusionalis, antikorupsi, dan antikomunis.
Alih-alih saling mendukung, hubungan Lubis dan Nasution kerap berlawanan. Disebutkan, kerusuhan-kerusuhan politik pada 1950-an sering kali bermuara pada konflik Lubis dan Nasution.
Ditengarai perbedaan asal pendidikan di militer menjadi penentu mereka selalu berseberangan. Lubis didikan Peta sedangkan Nasution jebolan KNIL (Tentara Kerjaaan Hindia Belanda).
"Kebetulan kalau dengan saya, tidak pernah cocok. Saya termasuk yang diinteli terus," ujar Nasution.
Namun, Lubis selalu punya argumen untuk mementah pernyataan-pernyataan Nasution. Dalam catatan harian Rosihan Anwar, Lubis pernah mengatakan bahwa Nasution benar-benar cuma alat pemerintah belaka.
"Bapak bilang, Nasution itu lemah," kata Furqan Lubis, anak keenam Zulkifli Lubis.
Sebaliknya, Nasution memandang Lubis sebagai penyulut utama dari oposisi melawan dirinya di kalangan Angkatan Darat. "Kami berseberangan sejak masa Yogya (selama revolusi)," tutur Nasution seperti dikutip Audrey Kahn dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi.
"Dia masih mempunyai orang-orang dari masa ini dan masih mempunyai hubungan dengan panglima-panglima daerah. Beberapa orang di SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) di Bandung sangat dekat dengan Lubis, sebagian sebelumnya adalah orang-orangnya. Sumual (kemudian memimpin pemberontakan di Sulawan) dilatih di sana."
Perseteruan itu kembali pecah pada Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mendesak pembubaran Parlemen, tetapi ditolak Presiden Soekarno. Nasution, yang dianggap otak di balik peristiva ini, kemudian mengundurkan diri sebagai KSAD.
Posisinya kemudian digantikan Bambang Sugeng. Hal itu menyebabkan terjadinya krisis di tubuh Angkatan Darat dan baru bisa diselesaikan dalam forum rekonsiliasi di Yogyakarta pada Februari 1955. Namun pergantian kepemimpinan di tubuh AD masih saja bergolak.
Pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD mendapat penolakan dari sebagian bear perwira Angkatan Darat. Nasution akhirnya kembali menduduki jabatan itu. Lubis menjadi wakilnya dan harus menyerahkan tongkat komando, sebagai Pj KSAD, jabatan yang kosong kepada Nasution.
Lantas Lubis mengusulkan agar Markas Besar Angkatan Darat membagi dua wilayah kerja kepada Nasution. Lubis memegang administrasi markas besar merasa bisa menangani urusan ke dalam guna membantu Nasution yang lebih kerap fokus di luar, membawa Angkatan Darat di pentas perpolitikan nasional.
Usulan Lubis itu ditolak mentah-mentah oleh Nasution. Nasution merasa usulan Lubis tersebut sama saja dengan dualisme kepemimpinan.
Pertentangan keduanya makin keras ketika Nasution bermaksud memperbaiki rantai komando TNI yang sempat rusak karena Peristiwa 17 Oktober 1952. Dia merencanakan mutasi sejumlah perwira senior, dikenal sebagai tour of duty. Lubis masuk dalam rencana mutasi.
Gatot Subroto ditunjuk mengantikan posisinya. Sementara Lubis dipercaya mengisi pos baru menjadi Panglima Tentara Teritorium I di Sumatera Utara. Namun, rencana itu mendapat respons negatif dari Lubis. Dia merasa disingkirkan oleh Nasution.
Mendapat dukungan dari panglima teritorium lainnya, Lubis bersama Kolonel Alex Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III yang juga masuk dalam rencana mutasi menggerakkan upaya pemberantasan korupsi. Kasus yang kemudian mencuat adalah upaya penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, yang tersangkut perkara korupsi di Percetakan Negara.
Akan tetapi, upaya ini berhasil digagalkan Nasution. Dia bisa mengambil alih situasi dan meneruskan rencana mutasinya. Akhirnya, Lubis mengundurkan diri pada 20 Agustus 1958.
Belum berakhir sampai di situ, Lubis diam-diam mempersiapkan pukulan telak untuk Nasution dan kabinet yang dia anggap korup. Lubis dan sejumlah perwira Siliwangi menyusun gerakan perlawanan. Sebuah kerusuhan rakyat akan diciptakan sebagai dalih.
Mereka menuntut penurunan kabinet, pembatasan peran politik Soekarno, dan pencopotan KSAD AH Nasution beserta wakilnya Kolonel Gatot Subroto. Nasution keburu menciumnya dan menggagalkan rencana itu.
Dia bahkan memanggil sejumlah perwira untuk meminta pertanggungjawaban, termasuk Lubis. Lubis memilih buron. Nasution memerintahkan panglima-panglima yang kenal dengan Lubis supaya membujuknya agar menyerah ketimbang ditangkap. Namun, upaya Nasution gagal.
Nasution lantas menuduh Lubis makar dan menamai percobaan kudeta itu sebagai "Peristiwa Lubis". Pendapat Nasution berangkat dari dokumen pribadi Lubis yang berhasil disita dari sekretarisnya di Pandeglang. Dokumen itu kemudian diterbitkan Penerangan Angkatan Darat dengan judul Kin Tabir Dapat Dibuka, Di "Djalan Menudju Realisasi 'Tjita'".
Lubis kemudian mengajak agar menyudahi penilaian miring terhadap pemerintah pusat karena tak ada gunanya. Lubis pun menawarkan dua poin alternatif. Lubis mengusulkan proklamasi negara sebagai satu move taktis yang maksimum dan pembentukan pemerintahan pusat tandingan. Poin-poin ini dimanfaatkan dengan baik oleh Nasution untuk memukul Lubis.
Lubis lalu membalas argumen Nasution dengan pamflet yang dikeluarkan dari tempat persembunyiannya di Tanah Abang. Lubis mengakui telah melakukan percobaan kudeta, tapi dia mengembalikan kepada khalayak apakah yang dia lakukan benar atau salah.
"Nasution marah atas jawaban itu dan memberhentikan Lubis dari TNI AD dan membatalkan pengangkatannya menjadi Panglima Divisi Bukit Barisan sebagai pengganti Maludin Simbolon," tulis Peter Kasenda dalam Zulkifi Lubis: Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD.
Peristiwa Cikini
Setelah Peristiwa Lubis, kejadian yang semakin memanaskan hubungan Lubis dan Nasution adalah Peristiwa Cikini. Pasalnya, Lubis dituding menjadi dalang peristiwa berdarah ini. Meski akhirnya tidak pernah terbukti.
Lubis diketahui sedang berada di rumah Kolonel Prajitno, Asisten I MBAD di Cideng ketika Peristiwa Cikini terjadi. Lubis mengetahuinya lewat radio. Sabtu 30 November 1957 malam itu, Sekolah Rakjat Yayasan Perguruan Tjikini sedang merayakan hari jadi ke-15. Bertajuk malam amal, diadakan pertunjukan seni, pameran dan lelang.
Presiden RI pertama Soekarno hadir selaku orangtua murid. Kebetulan Guntur dan Megawati bersekolah di sana. Pamit meninggalkan acara, Soekarno berjalan menuju mobil Chrysler Crown Imperial. Tak lama suara ledakan terdengar memecah suasana.
Awalnya banyak yang mengira ledakan ban. Tak berselang lama terdengar ledakan kedua. Sontak orang-orang yang menghadiri acara itu menjadi panik. Pasalanya, anak-anak, ibu-ibu, hingga pria dewasa menjadi korban. Soekarno selamat lantaran kesigapan Ngationo, salah seorang pengawalnya.
"Ngationo telah menjadikan dirinya sebagai perisai dan merangkul Bung Karo sebelum granat yang jatuh di dekatnya meledak sehingga pecahan-pecahan granat yang menuju ke arah Bung Karno telah mengenai badan dan bagian kepala Ngationo," tulis surat kabar Merdeka, 2 Desember 1957.
Setibanya di Istana, Soekarno langsung menyampaikan pidato serangan bom tersebut. Ia meminta masyarakat tetap tenang. "Tetap tenang sambil memperhebat kewaspadaan nasional. Mari kita tetap bersatu dalam suka dan duka!"
Lubis setelah satu jam langsung mengetahui pelakunya. Lubis mendapat informasi dari Ibrahim Saleh, ketua asrama pemuda Sumbawa di Gang Ampiun yang langsung datang memberitahukannya. Menyusul kemudian Jusuf Ismail, yang bersama tiga temannya, Saadon bin Mohammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abubakar melakukan aksi penggranatan.
Lubis pun bisa menebak bahwa dirinya akan dituduh menjadi dalang Peristiwa Cikini. Terlebih dia berstatus sebagai buron setelah percobaan kudeta pada 1956. Dia memilih
melarikan diri ke Sumatera. Prediksi Lubis benar. KSAD Nasution dan orang kepercayaannya, Letkol Sukendro mencapnya sebagai otak di balik penggranatan itu.
Tak butuh waktu lama, pelaku penggranatan berhasil diidentifikasi oleh militer. Dipimpin Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya Mayor Dachjar, para pelaku penghuni asrama Sumbawa langsung ditangkap.
Keempat pelaku kemudian divonis hukuman mati. "Sebab utama begitu cepatnya pelaku Peristiwa Cikini ditangkap adalah pengkhianatan seorang penghuni asrama Sumbawa itu," tulis Peter Kasenda.
Para pelaku penggranatan memang kenal dekat dengan Lubis. Mereka menganggap Lubis tokoh penting yang sejalan, "ketua" penentang Soekarno. Dalam pandangan mereka, Soekarno merupakan pelindung komunis dan penghambat perkembangan Islam. Mereka kerap bertemu dan berdiskusi. Tetapi Lubis kerap berpesan agar tak menggunakan kekerasan dalam mewuijudkan cita-cita.
"Saya memang kenal orang-orangnya. Tersangkut boleh saja. Tapi kalau saya dikatakan menyuruh mereka, itu sangat keliru sama sekali," tegas Lubis.
Hingga hari ini, peran Lubis tak diketahui pasti dalam Peristiwa Cikini. Lubis diketahui hanya kenal secara pribadi dengan para pelaku. Hubungan struktural formal Lubis dan para pelaku tak pernah terbukti. Apalagi perintah tertulis atau lisan untuk melakukan perlawanan dengan kekerasan hingga memakan korban jiwa.
Lubis tak pernah duduk di pesakitan. Permintaannya kepada jaksa agung agar tuduhan keterlibatannya dalam Peristiwa Cikini diperiksa, tak pernah ditanggapi. "Masalah itu sudah selesai," jawab pihak pemerintah sebagaimana ditulis R Leiressa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunisme.
Namun, perjalanan hidup Zulkifli Lubis di dunia militer sangat berliku. Jebolan terbaik Pembela Tanah Air (Peta) ini tercatat tak selalu sejalan dengan pemerintah.
Bahkan, Lubis berseberangan dengan saudara sepupunya yang seorang tokoh militer, Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution. Tak tanggung-tanggung, perseteruan keduanya melahirkan pergolakan politik di Tanah Air maupun di tubuh TNI.
Dikutip dari buku "Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia, Sabtu (8/1/2022), dikisahkan hubungan Zulkifli Lubis dan AH Nasution cukup aneh. Secara pribadi, keduanya saudara sepupu. Keduanya sama-sama muslim yang taat, sederhana, konstitusionalis, antikorupsi, dan antikomunis.
Alih-alih saling mendukung, hubungan Lubis dan Nasution kerap berlawanan. Disebutkan, kerusuhan-kerusuhan politik pada 1950-an sering kali bermuara pada konflik Lubis dan Nasution.
Ditengarai perbedaan asal pendidikan di militer menjadi penentu mereka selalu berseberangan. Lubis didikan Peta sedangkan Nasution jebolan KNIL (Tentara Kerjaaan Hindia Belanda).
"Kebetulan kalau dengan saya, tidak pernah cocok. Saya termasuk yang diinteli terus," ujar Nasution.
Namun, Lubis selalu punya argumen untuk mementah pernyataan-pernyataan Nasution. Dalam catatan harian Rosihan Anwar, Lubis pernah mengatakan bahwa Nasution benar-benar cuma alat pemerintah belaka.
"Bapak bilang, Nasution itu lemah," kata Furqan Lubis, anak keenam Zulkifli Lubis.
Sebaliknya, Nasution memandang Lubis sebagai penyulut utama dari oposisi melawan dirinya di kalangan Angkatan Darat. "Kami berseberangan sejak masa Yogya (selama revolusi)," tutur Nasution seperti dikutip Audrey Kahn dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi.
"Dia masih mempunyai orang-orang dari masa ini dan masih mempunyai hubungan dengan panglima-panglima daerah. Beberapa orang di SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) di Bandung sangat dekat dengan Lubis, sebagian sebelumnya adalah orang-orangnya. Sumual (kemudian memimpin pemberontakan di Sulawan) dilatih di sana."
Perseteruan itu kembali pecah pada Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mendesak pembubaran Parlemen, tetapi ditolak Presiden Soekarno. Nasution, yang dianggap otak di balik peristiva ini, kemudian mengundurkan diri sebagai KSAD.
Posisinya kemudian digantikan Bambang Sugeng. Hal itu menyebabkan terjadinya krisis di tubuh Angkatan Darat dan baru bisa diselesaikan dalam forum rekonsiliasi di Yogyakarta pada Februari 1955. Namun pergantian kepemimpinan di tubuh AD masih saja bergolak.
Pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD mendapat penolakan dari sebagian bear perwira Angkatan Darat. Nasution akhirnya kembali menduduki jabatan itu. Lubis menjadi wakilnya dan harus menyerahkan tongkat komando, sebagai Pj KSAD, jabatan yang kosong kepada Nasution.
Lantas Lubis mengusulkan agar Markas Besar Angkatan Darat membagi dua wilayah kerja kepada Nasution. Lubis memegang administrasi markas besar merasa bisa menangani urusan ke dalam guna membantu Nasution yang lebih kerap fokus di luar, membawa Angkatan Darat di pentas perpolitikan nasional.
Usulan Lubis itu ditolak mentah-mentah oleh Nasution. Nasution merasa usulan Lubis tersebut sama saja dengan dualisme kepemimpinan.
Pertentangan keduanya makin keras ketika Nasution bermaksud memperbaiki rantai komando TNI yang sempat rusak karena Peristiwa 17 Oktober 1952. Dia merencanakan mutasi sejumlah perwira senior, dikenal sebagai tour of duty. Lubis masuk dalam rencana mutasi.
Gatot Subroto ditunjuk mengantikan posisinya. Sementara Lubis dipercaya mengisi pos baru menjadi Panglima Tentara Teritorium I di Sumatera Utara. Namun, rencana itu mendapat respons negatif dari Lubis. Dia merasa disingkirkan oleh Nasution.
Mendapat dukungan dari panglima teritorium lainnya, Lubis bersama Kolonel Alex Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III yang juga masuk dalam rencana mutasi menggerakkan upaya pemberantasan korupsi. Kasus yang kemudian mencuat adalah upaya penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, yang tersangkut perkara korupsi di Percetakan Negara.
Akan tetapi, upaya ini berhasil digagalkan Nasution. Dia bisa mengambil alih situasi dan meneruskan rencana mutasinya. Akhirnya, Lubis mengundurkan diri pada 20 Agustus 1958.
Belum berakhir sampai di situ, Lubis diam-diam mempersiapkan pukulan telak untuk Nasution dan kabinet yang dia anggap korup. Lubis dan sejumlah perwira Siliwangi menyusun gerakan perlawanan. Sebuah kerusuhan rakyat akan diciptakan sebagai dalih.
Mereka menuntut penurunan kabinet, pembatasan peran politik Soekarno, dan pencopotan KSAD AH Nasution beserta wakilnya Kolonel Gatot Subroto. Nasution keburu menciumnya dan menggagalkan rencana itu.
Dia bahkan memanggil sejumlah perwira untuk meminta pertanggungjawaban, termasuk Lubis. Lubis memilih buron. Nasution memerintahkan panglima-panglima yang kenal dengan Lubis supaya membujuknya agar menyerah ketimbang ditangkap. Namun, upaya Nasution gagal.
Nasution lantas menuduh Lubis makar dan menamai percobaan kudeta itu sebagai "Peristiwa Lubis". Pendapat Nasution berangkat dari dokumen pribadi Lubis yang berhasil disita dari sekretarisnya di Pandeglang. Dokumen itu kemudian diterbitkan Penerangan Angkatan Darat dengan judul Kin Tabir Dapat Dibuka, Di "Djalan Menudju Realisasi 'Tjita'".
Lubis kemudian mengajak agar menyudahi penilaian miring terhadap pemerintah pusat karena tak ada gunanya. Lubis pun menawarkan dua poin alternatif. Lubis mengusulkan proklamasi negara sebagai satu move taktis yang maksimum dan pembentukan pemerintahan pusat tandingan. Poin-poin ini dimanfaatkan dengan baik oleh Nasution untuk memukul Lubis.
Lubis lalu membalas argumen Nasution dengan pamflet yang dikeluarkan dari tempat persembunyiannya di Tanah Abang. Lubis mengakui telah melakukan percobaan kudeta, tapi dia mengembalikan kepada khalayak apakah yang dia lakukan benar atau salah.
"Nasution marah atas jawaban itu dan memberhentikan Lubis dari TNI AD dan membatalkan pengangkatannya menjadi Panglima Divisi Bukit Barisan sebagai pengganti Maludin Simbolon," tulis Peter Kasenda dalam Zulkifi Lubis: Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD.
Peristiwa Cikini
Setelah Peristiwa Lubis, kejadian yang semakin memanaskan hubungan Lubis dan Nasution adalah Peristiwa Cikini. Pasalnya, Lubis dituding menjadi dalang peristiwa berdarah ini. Meski akhirnya tidak pernah terbukti.
Lubis diketahui sedang berada di rumah Kolonel Prajitno, Asisten I MBAD di Cideng ketika Peristiwa Cikini terjadi. Lubis mengetahuinya lewat radio. Sabtu 30 November 1957 malam itu, Sekolah Rakjat Yayasan Perguruan Tjikini sedang merayakan hari jadi ke-15. Bertajuk malam amal, diadakan pertunjukan seni, pameran dan lelang.
Presiden RI pertama Soekarno hadir selaku orangtua murid. Kebetulan Guntur dan Megawati bersekolah di sana. Pamit meninggalkan acara, Soekarno berjalan menuju mobil Chrysler Crown Imperial. Tak lama suara ledakan terdengar memecah suasana.
Awalnya banyak yang mengira ledakan ban. Tak berselang lama terdengar ledakan kedua. Sontak orang-orang yang menghadiri acara itu menjadi panik. Pasalanya, anak-anak, ibu-ibu, hingga pria dewasa menjadi korban. Soekarno selamat lantaran kesigapan Ngationo, salah seorang pengawalnya.
"Ngationo telah menjadikan dirinya sebagai perisai dan merangkul Bung Karo sebelum granat yang jatuh di dekatnya meledak sehingga pecahan-pecahan granat yang menuju ke arah Bung Karno telah mengenai badan dan bagian kepala Ngationo," tulis surat kabar Merdeka, 2 Desember 1957.
Setibanya di Istana, Soekarno langsung menyampaikan pidato serangan bom tersebut. Ia meminta masyarakat tetap tenang. "Tetap tenang sambil memperhebat kewaspadaan nasional. Mari kita tetap bersatu dalam suka dan duka!"
Lubis setelah satu jam langsung mengetahui pelakunya. Lubis mendapat informasi dari Ibrahim Saleh, ketua asrama pemuda Sumbawa di Gang Ampiun yang langsung datang memberitahukannya. Menyusul kemudian Jusuf Ismail, yang bersama tiga temannya, Saadon bin Mohammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abubakar melakukan aksi penggranatan.
Lubis pun bisa menebak bahwa dirinya akan dituduh menjadi dalang Peristiwa Cikini. Terlebih dia berstatus sebagai buron setelah percobaan kudeta pada 1956. Dia memilih
melarikan diri ke Sumatera. Prediksi Lubis benar. KSAD Nasution dan orang kepercayaannya, Letkol Sukendro mencapnya sebagai otak di balik penggranatan itu.
Tak butuh waktu lama, pelaku penggranatan berhasil diidentifikasi oleh militer. Dipimpin Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya Mayor Dachjar, para pelaku penghuni asrama Sumbawa langsung ditangkap.
Keempat pelaku kemudian divonis hukuman mati. "Sebab utama begitu cepatnya pelaku Peristiwa Cikini ditangkap adalah pengkhianatan seorang penghuni asrama Sumbawa itu," tulis Peter Kasenda.
Para pelaku penggranatan memang kenal dekat dengan Lubis. Mereka menganggap Lubis tokoh penting yang sejalan, "ketua" penentang Soekarno. Dalam pandangan mereka, Soekarno merupakan pelindung komunis dan penghambat perkembangan Islam. Mereka kerap bertemu dan berdiskusi. Tetapi Lubis kerap berpesan agar tak menggunakan kekerasan dalam mewuijudkan cita-cita.
"Saya memang kenal orang-orangnya. Tersangkut boleh saja. Tapi kalau saya dikatakan menyuruh mereka, itu sangat keliru sama sekali," tegas Lubis.
Hingga hari ini, peran Lubis tak diketahui pasti dalam Peristiwa Cikini. Lubis diketahui hanya kenal secara pribadi dengan para pelaku. Hubungan struktural formal Lubis dan para pelaku tak pernah terbukti. Apalagi perintah tertulis atau lisan untuk melakukan perlawanan dengan kekerasan hingga memakan korban jiwa.
Lubis tak pernah duduk di pesakitan. Permintaannya kepada jaksa agung agar tuduhan keterlibatannya dalam Peristiwa Cikini diperiksa, tak pernah ditanggapi. "Masalah itu sudah selesai," jawab pihak pemerintah sebagaimana ditulis R Leiressa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunisme.
(kri)