Komnas Haji dan Umrah Ingatkan Bom Waktu Pengelolaan Dana Haji
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi Nasional (Komnas) Haji dan Umrah, Mustolih Siradj menyatakan, selama ini Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Kementerian agama bahkan DPR selalu menarasikan dengan begitu meyakinkan bahwa biaya haji di Indonesia paling murah diantara negara-negara lain.
Apakah benar? Mustolih mengatakan myatanya klaim tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut dia, dalam tiga tahun terakhir biaya haji nyaris tidak pernah naik, berada di kisaran Rp35 juta per jemaah. "Padahal biaya sesungguhnya (real cost) yang harus dibayar untuk berbagai keperluan penyelanggaran haji Rp70 juta/ per jemaah, separuhnya adalah subsidi," tutur Mustolih kepada SINDOnews, Rabu (10/6/2020).
Dia mengatakan, dari mana uang subsidi itu? Subsidi ternyata diambil dari nilai manfaat pengelolaan setoran awal calon jemaah haji yang masuk daftar tunggu (waiting list) yang disetorkan ke BPKH sebesar Rp25 juta/ per jamaah melalui akad wakalah.
Dari 4,3 juta calon jemaah yang saat ini antre, terakumulasi dana Rp135 triliun ditambah Rp3,5 triltun dana abadi umat (DAU).
"Dana ini lantas dikelola dan diinvenstasikan oleh BPKH sebagai penerima wakalah ke berbagai instrumen investasi, baik bank maupun non bank dengan pendekatan korporatif. Hasil investasi tersebut kemudian diperuntukkan mensubsidi biaya penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun," ungkapnya.( )
Dengan kata lain, lanjut dia, jamaah yang berangkat haji pada tahun berjalan sesungguhnya bukan semata- semata hasil jerih payah dan kemampuan (istitha’ah) dari jamaah itu sendiri (yang berangkat), tetapi separuh dananya ditambal dari dana milik jamaah lainnya yang diperoleh dari hasil investasi.
Kemudian, hasil manfaat yang diperoleh dari investasi pengelolaan dana haji juga disalurkan untuk keperluan lain misalnya membayar pajak yang jumlahnya tidak kecil.
Berdasarkan laporan BPKH tahun 2018 pajak yang dibayar sebesar Rp1,2 triliun, berikutnya membiayai operasional dan gaji staf maupun pimpinan BPKH yang bisa menyedot sampai 5 persen dari hasil investasi yang diperoleh, baru sisanya dipecah-pecah diberikan kepada pemilik dana (shahibul maal), yakni seluruh calon jamaah haji (tunggu) yang jumlahnya sangat kecil di kisaran rata-rata Rp60 ribu-Rp100 ribu per tahun.
"Bandingkan dengan subsidi kepada jamaah yang berangkat pada tahun berjalan Rp35 juta/ orang setiap tahun," tuturnya.
Nah, menuruta dia, sistem subsidi ini jika tidak segera dibenahi sangat berbahaya dan bisa menjadi bom waktu di kemudian hari. Terlebih di saat seperti sekarang ketika berbagai skema maupun instrumen investasi dan keuangan domestik maupun global tengah dibayang-bayangi cengkraman resesi akibat dihantam pandemi Covid-19. Hal itu memiliki risiko sangat tinggi dalam investasi.
Apakah benar? Mustolih mengatakan myatanya klaim tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut dia, dalam tiga tahun terakhir biaya haji nyaris tidak pernah naik, berada di kisaran Rp35 juta per jemaah. "Padahal biaya sesungguhnya (real cost) yang harus dibayar untuk berbagai keperluan penyelanggaran haji Rp70 juta/ per jemaah, separuhnya adalah subsidi," tutur Mustolih kepada SINDOnews, Rabu (10/6/2020).
Dia mengatakan, dari mana uang subsidi itu? Subsidi ternyata diambil dari nilai manfaat pengelolaan setoran awal calon jemaah haji yang masuk daftar tunggu (waiting list) yang disetorkan ke BPKH sebesar Rp25 juta/ per jamaah melalui akad wakalah.
Dari 4,3 juta calon jemaah yang saat ini antre, terakumulasi dana Rp135 triliun ditambah Rp3,5 triltun dana abadi umat (DAU).
"Dana ini lantas dikelola dan diinvenstasikan oleh BPKH sebagai penerima wakalah ke berbagai instrumen investasi, baik bank maupun non bank dengan pendekatan korporatif. Hasil investasi tersebut kemudian diperuntukkan mensubsidi biaya penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun," ungkapnya.( )
Dengan kata lain, lanjut dia, jamaah yang berangkat haji pada tahun berjalan sesungguhnya bukan semata- semata hasil jerih payah dan kemampuan (istitha’ah) dari jamaah itu sendiri (yang berangkat), tetapi separuh dananya ditambal dari dana milik jamaah lainnya yang diperoleh dari hasil investasi.
Kemudian, hasil manfaat yang diperoleh dari investasi pengelolaan dana haji juga disalurkan untuk keperluan lain misalnya membayar pajak yang jumlahnya tidak kecil.
Berdasarkan laporan BPKH tahun 2018 pajak yang dibayar sebesar Rp1,2 triliun, berikutnya membiayai operasional dan gaji staf maupun pimpinan BPKH yang bisa menyedot sampai 5 persen dari hasil investasi yang diperoleh, baru sisanya dipecah-pecah diberikan kepada pemilik dana (shahibul maal), yakni seluruh calon jamaah haji (tunggu) yang jumlahnya sangat kecil di kisaran rata-rata Rp60 ribu-Rp100 ribu per tahun.
"Bandingkan dengan subsidi kepada jamaah yang berangkat pada tahun berjalan Rp35 juta/ orang setiap tahun," tuturnya.
Nah, menuruta dia, sistem subsidi ini jika tidak segera dibenahi sangat berbahaya dan bisa menjadi bom waktu di kemudian hari. Terlebih di saat seperti sekarang ketika berbagai skema maupun instrumen investasi dan keuangan domestik maupun global tengah dibayang-bayangi cengkraman resesi akibat dihantam pandemi Covid-19. Hal itu memiliki risiko sangat tinggi dalam investasi.