Keadilan bagi Peternak Telur
loading...
A
A
A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Hari-hari ini para ibu rumah tangga, pedagang kecil penjual makanan, terutama yang berbahan baku telur menjerit karena harga telur terus merayap naik. Merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, rerata harga telur berada di kisaran Rp30.250 per kilogram (kg) pada 4 Januari 2022.
Harga terendah di Sulawesi Barat yakni Rp24.25 per kg dan tertinggi di Maluku Utara Rp46.000 per kg. Kenaikan harga telur memukul daya beli warga, terutama warga miskin, karena beriringan dengan kenaikan harga minyak goreng, cabe, bawang merah dan putih.
Warga miskin, juga mereka yang masuk 40% berpenghasilan terbawah dan terkategori hampir atau rentan miskin, mayoritas pengeluarannya untuk pangan. Ini terpotret dari sumbangan garis kemiskinan makanan yang per Maret 2021, porsinya 74,34% dari pengeluaran rumah tangga. Hanya 25,65% pengeluan non-makanan.
Implikasi kondisi ini, stabilitas harga pangan, termasuk telur, jadi kebutuhan mutlak agar akses terjaga. Harga pangan naik atau turun berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin.
Diakui atau tidak, telur –bersama daging ayam—adalah sumber protein murah bagi rakyat. Dibandingkan sumber protein hewani lain, telur dan daging ayam relatif terjangkau kantong warga, termasuk kelompok miskin.
Produksi telur dan daging ayam yang surplus juga memungkinkan pasokan sepanjang waktu. Karena itu, tidak mengherankan bila partisipasi konsumsi telur sangat tinggi, mencapai 89,37% pada 2018, tertinggi di antara pangan sumber protein hewani lainnya. Ini menandai betapa pentingnya telur bagi sumber pangan bergizi bagi warga, yang pada giliranya berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
Usaha apapun, termasuk berternak telur, perlu ada jaminan untung bagi pelakunya agar kontinuitas produksi terjaga. Masalahnya, kebijakan pemerintah hari-hari ini belum memungkinkan itu terjadi. Belum hilang dari ingatan pada 15 September lalu Presiden Jokowi mengundang peternak ayam dan petelur ke Istana.
Kala itu, peternak menjerit karena harga telur dan ayam terjun bebas, sementara harga pakan membubung. Jagung, bahan baku pakan yang biasa diracik sendiri, harganya mencapai Rp6.000 per kg, jauh dari harga acuan Rp4.500 per kg. Presiden menjanjikan solusi, termasuk harga jagung seebsar Rp4.500 per kg.
Jagung merupakan komponen utama dalam industri pakan. Dalam pakan unggas, sekitar 50-55% berasal dari jagung. Di sisi lain, pakan merupakan komponen utama dalam industri perunggasan, mengambil porsi sekitar 70% dari ongkos produksi.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Hari-hari ini para ibu rumah tangga, pedagang kecil penjual makanan, terutama yang berbahan baku telur menjerit karena harga telur terus merayap naik. Merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, rerata harga telur berada di kisaran Rp30.250 per kilogram (kg) pada 4 Januari 2022.
Harga terendah di Sulawesi Barat yakni Rp24.25 per kg dan tertinggi di Maluku Utara Rp46.000 per kg. Kenaikan harga telur memukul daya beli warga, terutama warga miskin, karena beriringan dengan kenaikan harga minyak goreng, cabe, bawang merah dan putih.
Warga miskin, juga mereka yang masuk 40% berpenghasilan terbawah dan terkategori hampir atau rentan miskin, mayoritas pengeluarannya untuk pangan. Ini terpotret dari sumbangan garis kemiskinan makanan yang per Maret 2021, porsinya 74,34% dari pengeluaran rumah tangga. Hanya 25,65% pengeluan non-makanan.
Implikasi kondisi ini, stabilitas harga pangan, termasuk telur, jadi kebutuhan mutlak agar akses terjaga. Harga pangan naik atau turun berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin.
Diakui atau tidak, telur –bersama daging ayam—adalah sumber protein murah bagi rakyat. Dibandingkan sumber protein hewani lain, telur dan daging ayam relatif terjangkau kantong warga, termasuk kelompok miskin.
Produksi telur dan daging ayam yang surplus juga memungkinkan pasokan sepanjang waktu. Karena itu, tidak mengherankan bila partisipasi konsumsi telur sangat tinggi, mencapai 89,37% pada 2018, tertinggi di antara pangan sumber protein hewani lainnya. Ini menandai betapa pentingnya telur bagi sumber pangan bergizi bagi warga, yang pada giliranya berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
Usaha apapun, termasuk berternak telur, perlu ada jaminan untung bagi pelakunya agar kontinuitas produksi terjaga. Masalahnya, kebijakan pemerintah hari-hari ini belum memungkinkan itu terjadi. Belum hilang dari ingatan pada 15 September lalu Presiden Jokowi mengundang peternak ayam dan petelur ke Istana.
Kala itu, peternak menjerit karena harga telur dan ayam terjun bebas, sementara harga pakan membubung. Jagung, bahan baku pakan yang biasa diracik sendiri, harganya mencapai Rp6.000 per kg, jauh dari harga acuan Rp4.500 per kg. Presiden menjanjikan solusi, termasuk harga jagung seebsar Rp4.500 per kg.
Jagung merupakan komponen utama dalam industri pakan. Dalam pakan unggas, sekitar 50-55% berasal dari jagung. Di sisi lain, pakan merupakan komponen utama dalam industri perunggasan, mengambil porsi sekitar 70% dari ongkos produksi.