Himsataki Minta BP2MI Lakukan Sinkronisasi soal UU Perlindungan PMI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) meminta Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Ramdhani melakukan sinkronisasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengenai pelaksanaan teknis operasional sistem pelindungan dan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) .
Sebelumnya, dua asosiasi, Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dan Asosiasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (ASPATAKI) mendukung kebijakan Kepala BP2MI Benny Ramdhani, di antaranya melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI, khususnya tentang pembiayaan.
Seperti diketahui, pada Pasal 30 Ayat 1 disebutkan, pekerja migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan. Sementara Ayat 2 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
"Sikap kami dari Himsataki bukan tidak mendukung atas kebijakan Kepala BP2MI tersebut, akan tetap hemat kami sebagaimana tertera dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, frasa Pasal 30 adalah ‘cukup jelas’. Hal tersebut bermakna bahwa pembentuk undang-undang menganggap rumusan norma dalam batang tubuh tidak perlu diperjelas lagi karena dianggap sudah jelas," tutur Ketum Himsataki, Tegap Hardjadmo dalam keterangan tertulis, Selasa (9/6/2020).
Namun, kata Tegap, tidak ada salahnya BP2MI melihat dan mencari referensi tentang dokumen-dokumen pembahasan, naskah akademik, atau sistematika undang-undang berkenaan pasal tersebut agar tidak terjadi salah penafsiran atas pasal tersebut.
Dalam penafsiran Himsataki, lanjut dia, UU tersebut secara logika berada dan saling berhubungan antara satu dengan lainnya, yakni mewujudkan kesatuan yang melahirkan pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Badan yang tujuannya adalah melindungi PMI atau calon PMI dan keluargaya sebagai subjek, dan bukan objek.
"Tidak ada salahnya BP2MI melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan kementerian terkait dalam pelaksanaan dari UU tersebut," tuturnya.
( )
Dia berharap kebijakan yang dikeluarkan dalam penyelengaraan dan pelaksanaan UU tersebut berjalan cepat, berintegritas, netral, transparan dan akuntabel.
Mengenai kebijakan BP2MI yang merujuk Pasal 30 Ayat 1 UU tersebut dan telah mendapat dukungan Apjati dan Aspataki, kata Tegap, pada prinsipnya Himsataki I mendukung.
Kendati demikian, perlu disertai evaluasi dan audit terhadap proses penempatan dan perlindungan yang berjalan saat ini serta mempertimbangkan bahwa masing-masing negara penempatan memiliki kebijakan yang berbeda terkait pembebanan biaya rekrutmen bagi pemberi kerja serta persaingan dengan negara pengirim lainnya.
"Kedua, jenis jabatan pekerjaan bagi calon PMI yang berbeda struktur biayanya, berbeda antara bekerja kepada perseorangan dan badan hukum, berbeda antara low skill, semi-skilled dan skilled," tuturnya.
Ketiga, ada transparansi dalam menyusun biaya penempatan sehingga pembebanan biaya kepada siapapun dianggap adil.
"Terakhir, risiko keuangan dalam hal pembebanan biaya," ujarnya.
Sebelumnya, dua asosiasi, Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dan Asosiasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (ASPATAKI) mendukung kebijakan Kepala BP2MI Benny Ramdhani, di antaranya melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI, khususnya tentang pembiayaan.
Seperti diketahui, pada Pasal 30 Ayat 1 disebutkan, pekerja migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan. Sementara Ayat 2 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
"Sikap kami dari Himsataki bukan tidak mendukung atas kebijakan Kepala BP2MI tersebut, akan tetap hemat kami sebagaimana tertera dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, frasa Pasal 30 adalah ‘cukup jelas’. Hal tersebut bermakna bahwa pembentuk undang-undang menganggap rumusan norma dalam batang tubuh tidak perlu diperjelas lagi karena dianggap sudah jelas," tutur Ketum Himsataki, Tegap Hardjadmo dalam keterangan tertulis, Selasa (9/6/2020).
Namun, kata Tegap, tidak ada salahnya BP2MI melihat dan mencari referensi tentang dokumen-dokumen pembahasan, naskah akademik, atau sistematika undang-undang berkenaan pasal tersebut agar tidak terjadi salah penafsiran atas pasal tersebut.
Dalam penafsiran Himsataki, lanjut dia, UU tersebut secara logika berada dan saling berhubungan antara satu dengan lainnya, yakni mewujudkan kesatuan yang melahirkan pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Badan yang tujuannya adalah melindungi PMI atau calon PMI dan keluargaya sebagai subjek, dan bukan objek.
"Tidak ada salahnya BP2MI melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan kementerian terkait dalam pelaksanaan dari UU tersebut," tuturnya.
( )
Dia berharap kebijakan yang dikeluarkan dalam penyelengaraan dan pelaksanaan UU tersebut berjalan cepat, berintegritas, netral, transparan dan akuntabel.
Mengenai kebijakan BP2MI yang merujuk Pasal 30 Ayat 1 UU tersebut dan telah mendapat dukungan Apjati dan Aspataki, kata Tegap, pada prinsipnya Himsataki I mendukung.
Kendati demikian, perlu disertai evaluasi dan audit terhadap proses penempatan dan perlindungan yang berjalan saat ini serta mempertimbangkan bahwa masing-masing negara penempatan memiliki kebijakan yang berbeda terkait pembebanan biaya rekrutmen bagi pemberi kerja serta persaingan dengan negara pengirim lainnya.
"Kedua, jenis jabatan pekerjaan bagi calon PMI yang berbeda struktur biayanya, berbeda antara bekerja kepada perseorangan dan badan hukum, berbeda antara low skill, semi-skilled dan skilled," tuturnya.
Ketiga, ada transparansi dalam menyusun biaya penempatan sehingga pembebanan biaya kepada siapapun dianggap adil.
"Terakhir, risiko keuangan dalam hal pembebanan biaya," ujarnya.
(dam)