Inovasi Digital untuk Kebangkitan Desa
loading...
A
A
A
Ach. Faidy Suja’ie
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa menjadi titik balik pembangungan desa-desa di Indonesia. Undang-Undang Desa memberikan pengakuan asal usul desa (rekognisi) dan penghormatan atas desa, yang menjamin eksistensi desa, melestarikan warisan budaya desa, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan warga desa, memajukan perekonomian masyarakat desa, serta memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.
Pemerintah berkomitmen mewujudkan hak-hak asal usul desa, subsidiaritas maupun hak permusyawaratn desa, diantaranya tercermin dari peningkatan dana desa hingga total mencapai Rp401 triliun pada tahun 2021. Selain itu, berbagai inovasi kebijakan serta akselarasi yang dilakukan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, semakin menguatkan inovasi yang lahir dari 74.961 desa seluruh Indonesia.
Sejak tahun 2021, Kementerian Desa, PDTT mulai meluncurkan program Desa Cerdas, sebagai bagian upaya desa-desa menyambut tantangan dan mengambil bagian revolusi digital di Indonesia. Ini, dapat mereplikasi keberhasilan Korea Selatan yang melesat maju dengan berbagai produk teknologi seperti Samsung, yang salah satunya dipicu kebijakan pembangunan desa dengan gerakan Semaul Undong.
Relevansi Desa Cerdas di Indonesia setidaknya didasari oleh; pertama, permasalahan dasar digitalisasi sebagian besar berada di desa. Oleh karenanya, menyelesaikan permasalahan dasar digitalisasi di desa berkontribusi besar terhadap kesiapan kita menyongsong era digital; kedua, desa digital adalah salah satu upaya guna mengubah imaji tentang desa sebagai “tertinggal” menjadi pusat inovasi dan kemajuan.
Mengejar Ketertinggalan Teknologi
Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat Indonesia untuk lebih intens mengakses perangkat digital. Ini juga yang membuka tabir ketimpangan akses teknologi ketika Indonesia berambisi menyongsong revolusi digital. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut bahwa pada tahun 2019, lebih dari 50% penduduk perkotaan telah mengakses internet. Sementara dari desa hanya 30% yang bisa mengakses internet. Di sisi lain, lebih dari 64% desa di wilayah kabupaten belum memiliki menara pemancar dan penerima sinyal atau yang lebih dikenal sebagai BTS (Base Transceiver Station). Hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah bersama ditengah gegap gempita era digital. Bagaimana warga desa dapat bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, jika infrastruktur pendukungnya tidak terpenuhi.
Ketersediaan internet dan infrastruktur dasar digital merupakan prasyarat dalam menyongsong era revolusi digital. Apalagi, sejak tahun 2021, Kementerian Desa, PDTT telah memulai langkah implementasi rah kebijakan pembambunan desa, yang disebut SDGs Desa. SDGs Desa merupakan upaya terpadu percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. SDGs Desa yang melingkupi aspek kewargaan, kewilayahan, serta kelembagaan desa, memiliki 18 tujuan yang diletakkan pada konteks budaya desa, dan 222 indiktor dan sasaran yang disesuaikan dengan kondisi lokal desa. Langkah pencapaian SDGs Desa ini dimulai dengan pendataan desa berbasis SDGs Desa, sebagaimana diatur dalam Permendesa PDTT Nomor 21 tahun 2020. Data Desa Berbasis SDGs Desa, adalah data rinci warga, keluarga, Rukun Tetangga, dan data pembangunan desa. Data dikumpulkan ke dalam aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) oleh relawan desa, tersedia dan dimiliki oleh desa, dianalisis secara elektronik hingga menghasilkan rekomendasi pembangunan desa untuk digunakan oleh desa dan supra desa.
Oleh karena itu, Kementerian Desa, PDTT bekerjasama dengan berbagai pihak untuk memastikan percepatan digitalisasi di seluruh desa-desa di Indonesia. Dengan membangun ribuan BTS dan titik pancar internet di desa-desa, termasuk mempercepat Palapa Ring, pemerintah berniat mengurangi blankspot internet di wilayah Indonesia.
Langkah digitalisasi ini akan membuka peluang ekonomi lebih besar, pelayanan publik yang lebih efisien, perencanaan pembangunan berdasarkan data dan kebutuhan, pelaksanaan kebijakan yang tepat sasaran, serta akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah desa yang lebih transparan.
Pemerintahan Digital
Acemoglu & Robinson dalam Why Nations Fails (2012) menyebut bahwa insititusi memiliki peranan penting dalam kesejahteraan suatu masyarakat. Semakin inovatif dan adaptif suatu insititusi berkorelasi dengan tingkat kemakmuran suatu masyarakat. Kementerian Desa, PDTT mulai tahun 2021 melakukan langkah besar dalam perbaikan institusi pembangunan desa, melalui super aplikasi bernama Sistem Informasi Desa (SID), yang mencatat seluruh data dan perkembangan desa-desa secara real time, mikro, akurat, lengkap dan berkelanjutan.
Diperlukan langkah bersama menyongsong era digital di desa. Pertama, transformasi desa memerlukan segenap dukungan stakeholders. Kita harus memikirkan bagaimana anak-anak desa yang memiliki skill dan pendidikan harus mulai bertahan untuk membangun ekosistem inovasi di tingkat desa. Kedua, dukungan dari berbagai perusahaan rintisan teknologi juga penting dalam meningkatkan nilai dan kapasitas produksi serta sumberdaya manusia yang ada di desa. Di tengah derasnya arus digitalisasi, produk-produk dari desa harus mampu bersaing di berbagai marketplace digital. Ketiga, perbaikan dan inovasi tata kelola institusi terkait pemerintahan desa juga menjadi kunci penting. Birokrasi desa harus terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi tanpa mengurangi prinsip serta nilai pelayanannya kepada warga desa. Jika hal-hal tersebut komitmen kita lakukan, kita yakin Indonesia akan melompat tinggi menghadapi revolusi digital, dengan pilar utamanya adalah desa.
Pariwisata dan Digitalisasi Desa
Salah satu sektor yang paling terpukul karena pandemi Covid-19 adalah pariwisata. Menurut laporan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) per April 2020 setidaknya ada 180 destinasi wisata dan 232 desa wisata tutup; 11.125 unit usaha yang terkait pariwisata berhenti beropreasi; 1.266 hotel tutup dan 113.000 karyawan di sektor usaha yang terkait pariwisata terdampak oleh lesunya industri pariwisata. Akibatnya, diperkirakan negara berpotensi kehilangan devisa negara sebesar Rp140 triliun.
Kabar baiknya, kajian Kementerian Keuangan, menyebut tiga sektor bisnis yang pertama kali pulih pasca pandemi Covid-19; sektor transportasi, perdagangan dan pariwisata. Ini, senada dengan hasil survei Alvara Research Center (2020) yang menyatakan mayoritas responden (21,8 persen) mengatakan aktivitas pertama yang akan dilakukan setelah pandemi berakhir adalah pergi ke tempat wisata.
Menggeliatnya sektor pariwisata dapat membawa dampak sistemik terhadap sektor-sektor industri lainnya yang eksistensinya terkait dengan sektor pariwisata, termasuk usaha kecil dan mikro dilingkaran industri pariwisata. Artinya, sinergi stakeholders sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas berbagai destinasi wisata berbasis desa dalam menyambut potensi serbuan para wisatawan setelah pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir. Salah satu hal yang harus terus diupayakan adalah penguatan digitalisasi Desa Wisata.
Pengembangan digitalisasi desa wisata dapat dilakukan dengan menerapkan e-ticketing untuk pemesanan penginapan, destinasi, atraksi dengan pembayaran non-tunai. Promosi desa wisata dapat dilakukan secara daring, termasuk mengembangkan virtual touring (wisata virtual) yang mulai menjadi tren di masa pandemi. Langkah ini telah dimulai Kementerian Desa, PDTT melalui aplikasi desa wisata yang memfasilitasi promosi desa-desa wisata seluruh Indonesia. Digitalisasi desa sudah pasti akan juga diikuti digitalisasi sektor ekonomi lainnya di desa, seperti program toko online desa, digitalisasi BUM Desa, dan tentu program Desa Cerdas. Implikasi lainnya, digitalisasi akan meningkatkan literasi digital warga desa, mulai bidang pendidikan sampai bidang kesehatan. Digitalisasi desa, akan menjadi tangga raksasa bagi kebangkitan desa dan pertumbuhan ekonomi desa.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa menjadi titik balik pembangungan desa-desa di Indonesia. Undang-Undang Desa memberikan pengakuan asal usul desa (rekognisi) dan penghormatan atas desa, yang menjamin eksistensi desa, melestarikan warisan budaya desa, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan warga desa, memajukan perekonomian masyarakat desa, serta memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.
Pemerintah berkomitmen mewujudkan hak-hak asal usul desa, subsidiaritas maupun hak permusyawaratn desa, diantaranya tercermin dari peningkatan dana desa hingga total mencapai Rp401 triliun pada tahun 2021. Selain itu, berbagai inovasi kebijakan serta akselarasi yang dilakukan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, semakin menguatkan inovasi yang lahir dari 74.961 desa seluruh Indonesia.
Sejak tahun 2021, Kementerian Desa, PDTT mulai meluncurkan program Desa Cerdas, sebagai bagian upaya desa-desa menyambut tantangan dan mengambil bagian revolusi digital di Indonesia. Ini, dapat mereplikasi keberhasilan Korea Selatan yang melesat maju dengan berbagai produk teknologi seperti Samsung, yang salah satunya dipicu kebijakan pembangunan desa dengan gerakan Semaul Undong.
Relevansi Desa Cerdas di Indonesia setidaknya didasari oleh; pertama, permasalahan dasar digitalisasi sebagian besar berada di desa. Oleh karenanya, menyelesaikan permasalahan dasar digitalisasi di desa berkontribusi besar terhadap kesiapan kita menyongsong era digital; kedua, desa digital adalah salah satu upaya guna mengubah imaji tentang desa sebagai “tertinggal” menjadi pusat inovasi dan kemajuan.
Mengejar Ketertinggalan Teknologi
Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat Indonesia untuk lebih intens mengakses perangkat digital. Ini juga yang membuka tabir ketimpangan akses teknologi ketika Indonesia berambisi menyongsong revolusi digital. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut bahwa pada tahun 2019, lebih dari 50% penduduk perkotaan telah mengakses internet. Sementara dari desa hanya 30% yang bisa mengakses internet. Di sisi lain, lebih dari 64% desa di wilayah kabupaten belum memiliki menara pemancar dan penerima sinyal atau yang lebih dikenal sebagai BTS (Base Transceiver Station). Hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah bersama ditengah gegap gempita era digital. Bagaimana warga desa dapat bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, jika infrastruktur pendukungnya tidak terpenuhi.
Ketersediaan internet dan infrastruktur dasar digital merupakan prasyarat dalam menyongsong era revolusi digital. Apalagi, sejak tahun 2021, Kementerian Desa, PDTT telah memulai langkah implementasi rah kebijakan pembambunan desa, yang disebut SDGs Desa. SDGs Desa merupakan upaya terpadu percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. SDGs Desa yang melingkupi aspek kewargaan, kewilayahan, serta kelembagaan desa, memiliki 18 tujuan yang diletakkan pada konteks budaya desa, dan 222 indiktor dan sasaran yang disesuaikan dengan kondisi lokal desa. Langkah pencapaian SDGs Desa ini dimulai dengan pendataan desa berbasis SDGs Desa, sebagaimana diatur dalam Permendesa PDTT Nomor 21 tahun 2020. Data Desa Berbasis SDGs Desa, adalah data rinci warga, keluarga, Rukun Tetangga, dan data pembangunan desa. Data dikumpulkan ke dalam aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) oleh relawan desa, tersedia dan dimiliki oleh desa, dianalisis secara elektronik hingga menghasilkan rekomendasi pembangunan desa untuk digunakan oleh desa dan supra desa.
Oleh karena itu, Kementerian Desa, PDTT bekerjasama dengan berbagai pihak untuk memastikan percepatan digitalisasi di seluruh desa-desa di Indonesia. Dengan membangun ribuan BTS dan titik pancar internet di desa-desa, termasuk mempercepat Palapa Ring, pemerintah berniat mengurangi blankspot internet di wilayah Indonesia.
Langkah digitalisasi ini akan membuka peluang ekonomi lebih besar, pelayanan publik yang lebih efisien, perencanaan pembangunan berdasarkan data dan kebutuhan, pelaksanaan kebijakan yang tepat sasaran, serta akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah desa yang lebih transparan.
Pemerintahan Digital
Acemoglu & Robinson dalam Why Nations Fails (2012) menyebut bahwa insititusi memiliki peranan penting dalam kesejahteraan suatu masyarakat. Semakin inovatif dan adaptif suatu insititusi berkorelasi dengan tingkat kemakmuran suatu masyarakat. Kementerian Desa, PDTT mulai tahun 2021 melakukan langkah besar dalam perbaikan institusi pembangunan desa, melalui super aplikasi bernama Sistem Informasi Desa (SID), yang mencatat seluruh data dan perkembangan desa-desa secara real time, mikro, akurat, lengkap dan berkelanjutan.
Diperlukan langkah bersama menyongsong era digital di desa. Pertama, transformasi desa memerlukan segenap dukungan stakeholders. Kita harus memikirkan bagaimana anak-anak desa yang memiliki skill dan pendidikan harus mulai bertahan untuk membangun ekosistem inovasi di tingkat desa. Kedua, dukungan dari berbagai perusahaan rintisan teknologi juga penting dalam meningkatkan nilai dan kapasitas produksi serta sumberdaya manusia yang ada di desa. Di tengah derasnya arus digitalisasi, produk-produk dari desa harus mampu bersaing di berbagai marketplace digital. Ketiga, perbaikan dan inovasi tata kelola institusi terkait pemerintahan desa juga menjadi kunci penting. Birokrasi desa harus terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi tanpa mengurangi prinsip serta nilai pelayanannya kepada warga desa. Jika hal-hal tersebut komitmen kita lakukan, kita yakin Indonesia akan melompat tinggi menghadapi revolusi digital, dengan pilar utamanya adalah desa.
Pariwisata dan Digitalisasi Desa
Salah satu sektor yang paling terpukul karena pandemi Covid-19 adalah pariwisata. Menurut laporan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) per April 2020 setidaknya ada 180 destinasi wisata dan 232 desa wisata tutup; 11.125 unit usaha yang terkait pariwisata berhenti beropreasi; 1.266 hotel tutup dan 113.000 karyawan di sektor usaha yang terkait pariwisata terdampak oleh lesunya industri pariwisata. Akibatnya, diperkirakan negara berpotensi kehilangan devisa negara sebesar Rp140 triliun.
Kabar baiknya, kajian Kementerian Keuangan, menyebut tiga sektor bisnis yang pertama kali pulih pasca pandemi Covid-19; sektor transportasi, perdagangan dan pariwisata. Ini, senada dengan hasil survei Alvara Research Center (2020) yang menyatakan mayoritas responden (21,8 persen) mengatakan aktivitas pertama yang akan dilakukan setelah pandemi berakhir adalah pergi ke tempat wisata.
Menggeliatnya sektor pariwisata dapat membawa dampak sistemik terhadap sektor-sektor industri lainnya yang eksistensinya terkait dengan sektor pariwisata, termasuk usaha kecil dan mikro dilingkaran industri pariwisata. Artinya, sinergi stakeholders sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas berbagai destinasi wisata berbasis desa dalam menyambut potensi serbuan para wisatawan setelah pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir. Salah satu hal yang harus terus diupayakan adalah penguatan digitalisasi Desa Wisata.
Pengembangan digitalisasi desa wisata dapat dilakukan dengan menerapkan e-ticketing untuk pemesanan penginapan, destinasi, atraksi dengan pembayaran non-tunai. Promosi desa wisata dapat dilakukan secara daring, termasuk mengembangkan virtual touring (wisata virtual) yang mulai menjadi tren di masa pandemi. Langkah ini telah dimulai Kementerian Desa, PDTT melalui aplikasi desa wisata yang memfasilitasi promosi desa-desa wisata seluruh Indonesia. Digitalisasi desa sudah pasti akan juga diikuti digitalisasi sektor ekonomi lainnya di desa, seperti program toko online desa, digitalisasi BUM Desa, dan tentu program Desa Cerdas. Implikasi lainnya, digitalisasi akan meningkatkan literasi digital warga desa, mulai bidang pendidikan sampai bidang kesehatan. Digitalisasi desa, akan menjadi tangga raksasa bagi kebangkitan desa dan pertumbuhan ekonomi desa.
(war)