6 Buku yang Mewarnai Indonesia Sejak Era Kolonial Kembali Diluncurkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perkumpulan penulis Indonesia Satupena meluncurkan kembali enam buku lama di Jakarta, Kamis (16/12/2021). Enam buku ini merupakan bagian dari daftar 100 buku pilihan yang mewarnai Indonesia sejak era Kolonial yang telah dirilis pada Oktober lalu.
Keenam buku yang diluncurkan itu berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (RA Kartini), Salah Asuhan (Abdul Muis), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), dan Atheis (Achdiyat K Mihardja).Di samping 6 buku tersebut, Satupena juga meluncurkan buku perdana Print on Demand karya Dr Satrio Arismunandar berjudul Perilaku Korupsi Elite Politik Indonesia.
Ketua Umum Satupena Denny JA mengaku terinspirasi dengan kerja Library of Congres di Amerika Serikat yang menerbitkan kembali 88 buku yang membentuk Amerika Serikat. Ia juga terilhami oleh daftar 100 western canon books: daftar 100 buku yang mewarnai sejarah dunia barat.
Baca juga: Buku Budi Gunawan Kupas Dampak Post Truth dan Cara Mengatasinya
"Indonesia perlu memiliki versinya sendiri atas 100 buku yang mewarnai Indonesia sejak era kolonial," kata Denny JA dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/12/2021).
Denny menjelaskan, tim Satupena telah melakukan riset untuk menentukan 100 buku pilihan yang mewarnai Indonesia sejak era Kolonial. Buku paling tua yang dipilih terbit pada 1920, atau 100 tahun lalu.
Denny JA mengutip Umberto Eco, novelis dari Italia yang menyatakan 'buku yang bagus itu adalah buku yang dibaca. Sebagus apapun sebuah buku, jika tak dibaca, bagusnya tak diketahui'. Penulis novel berjudul in The Name of The Rose itu mengatakan hal tersebut karena prihatin melihat minat membaca buku di negaranya semakin menurun.
"Inilah yang menjadi latar belakang mengapa kita menerbitkan kembali buku-buku bagus dalam sejarah indonesia," ujar Denny."Jika buku bagus itu tak lagi dibaca, bahkan publik tak lagi memiliki akses pada buku itu, seperti dikatakan Umberco, bagus buku itu tak terasa," lanjut Denny.
Denny JA juga mengutip hasil riset bahwa buku semakin tak dibaca, tak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Berdasarkan riset National Endowment di Amerika Serikat, sejak 2012, penduduk AS hanya membaca satu buku dalam setahun atau menurun hingga di bawah 50%.
Survei LSI Denny JA pada November 2021 juga menemukan data bahwa pendudukan Indonesia yang membaca satu buku dalam setahun hanya 24%. Dari jumlah itu, yang sempat membaca satu buku sastra dalam setahun, hanya 12,8%.
"Buku adalah harta karun budaya. Walau yang membaca buku bertambah sedikit, tapi buku yang bagus harus tetap diupayakan mudah diakses oleh siapa pun yang mencarinya," katanya.
Peluncuran tujuh buku dikemas dalam acara diskusi dan live music. Menurut Denny JA, ia ingin mentradisikan diskusi buku yang berat sekali pun bisa dilakukan dalam suasana santai. "Tradisi book and live music akan terus dilakukan Satupena," katanya.
Keenam buku yang diluncurkan itu berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (RA Kartini), Salah Asuhan (Abdul Muis), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), dan Atheis (Achdiyat K Mihardja).Di samping 6 buku tersebut, Satupena juga meluncurkan buku perdana Print on Demand karya Dr Satrio Arismunandar berjudul Perilaku Korupsi Elite Politik Indonesia.
Ketua Umum Satupena Denny JA mengaku terinspirasi dengan kerja Library of Congres di Amerika Serikat yang menerbitkan kembali 88 buku yang membentuk Amerika Serikat. Ia juga terilhami oleh daftar 100 western canon books: daftar 100 buku yang mewarnai sejarah dunia barat.
Baca juga: Buku Budi Gunawan Kupas Dampak Post Truth dan Cara Mengatasinya
"Indonesia perlu memiliki versinya sendiri atas 100 buku yang mewarnai Indonesia sejak era kolonial," kata Denny JA dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/12/2021).
Denny menjelaskan, tim Satupena telah melakukan riset untuk menentukan 100 buku pilihan yang mewarnai Indonesia sejak era Kolonial. Buku paling tua yang dipilih terbit pada 1920, atau 100 tahun lalu.
Denny JA mengutip Umberto Eco, novelis dari Italia yang menyatakan 'buku yang bagus itu adalah buku yang dibaca. Sebagus apapun sebuah buku, jika tak dibaca, bagusnya tak diketahui'. Penulis novel berjudul in The Name of The Rose itu mengatakan hal tersebut karena prihatin melihat minat membaca buku di negaranya semakin menurun.
"Inilah yang menjadi latar belakang mengapa kita menerbitkan kembali buku-buku bagus dalam sejarah indonesia," ujar Denny."Jika buku bagus itu tak lagi dibaca, bahkan publik tak lagi memiliki akses pada buku itu, seperti dikatakan Umberco, bagus buku itu tak terasa," lanjut Denny.
Denny JA juga mengutip hasil riset bahwa buku semakin tak dibaca, tak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Berdasarkan riset National Endowment di Amerika Serikat, sejak 2012, penduduk AS hanya membaca satu buku dalam setahun atau menurun hingga di bawah 50%.
Survei LSI Denny JA pada November 2021 juga menemukan data bahwa pendudukan Indonesia yang membaca satu buku dalam setahun hanya 24%. Dari jumlah itu, yang sempat membaca satu buku sastra dalam setahun, hanya 12,8%.
"Buku adalah harta karun budaya. Walau yang membaca buku bertambah sedikit, tapi buku yang bagus harus tetap diupayakan mudah diakses oleh siapa pun yang mencarinya," katanya.
Peluncuran tujuh buku dikemas dalam acara diskusi dan live music. Menurut Denny JA, ia ingin mentradisikan diskusi buku yang berat sekali pun bisa dilakukan dalam suasana santai. "Tradisi book and live music akan terus dilakukan Satupena," katanya.
(abd)