Refleksi Diri Akhir Tahun di Era Digital
loading...
A
A
A
Gunardi Endro, Ph.D.
Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) Universitas Bakrie
Sebagian besar dari kita mungkin tidak tahan untuk segera membuka media sosial setiap bangun pagi dan setiap saat ketika ada kesempatan. Seolah-olah merasa “tidak ada” tanpa klik media sosial (Hardiman 2021: Aku Klik Maka Aku Ada). Teknologi informasi dan komunikasi digital begitu mendominasi hidup kita terutama sejak pandemi Covid-19.
Memang teknologi digital membuat aktivitas kita jauh lebih efisien, serba cepat dan “dekat”, seolah-olah semua yang kita butuhkan dan inginkan ada dalam jangkauan mata kita. Namun, kecepatan dan efisiensi yang disodorkan teknologi digital bisa membuai dan menenggelamkan kita sendiri dalam kebingungan dan ketidakpastian, jika kita tidak sadar akan tujuan hidup kita.
Apakah efisiensi teknologi digital menghanyutkan dan mematahkan efektivitas hidup kita? Atau sebaliknya, apakah efisiensi teknologi digital justru meningkatkan efektivitas kita dalam upaya mencapai tujuan hidup kita? Atas pertanyaan ini, kita perlu melakukan refleksi terhadap diri kita sendiri, bagaikan berdiri di depan cermin, melihat dan melakukan evaluasi terhadap apa yang kita lakukan dan jalani selama setahun ini.
Masih efektifkah hidup kita?
Tentu setiap individu manusia punya tujuan atau cita-cita hidup, apa pun itu. Disitu kita pertama-tama perlu mengenal dan memahami diri kita sendiri, mengenal dan meninjau kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) kita, dan juga menilai keterampilan dan kepribadian seperti apa yang dibutuhkan posisi yang kita cita-citakan. Tentu saja jalan menuju cita-cita sangat tergantung kesempatan/peluang yang tersedia (opportunities) dan hal-hal yang mengancam sepanjang jalan itu (threat).
Oleh karena itu, evaluasi strategis manajerial perlu kita lakukan untuk menilai efektivitas jalur karir yang direncanakan, peningkatan keterampilan dan pengembangan kepribadian yang telah dijalani, pencarian kesempatan untuk maju, pengendalian kemajuan maupun kemunduran yang selama ini kita alami, serta kuatnya komitmen kita terhadap cita-cita tersebut. Koreksi dan rencana tindakan koreksi perlu dipertimbangkan sebagai hasil evaluasi strategis.
Sering kali kita gagal mendapatkan peluang atau mengalami hambatan gegara kita tidak begitu efektif mengembangkan jejaring hubungan saling percaya dengan pihak-pihak yang potensial mendukung jalur karir kita. Jejaring hubungan saling percaya bukanlah hubungan yang sifatnya melulu transaksional, melainkan hubungan yang sifatnya lebih dalam atau hubungan yang bermakna. Transparansi antar pihak menjadi inti dari hubungan seperti itu.
Jadi, kita perlu mengevaluasi: apakah kita sendiri cukup transparan dalam pengembangan jejaring hubungan saling percaya yang kita butuhkan untuk mendukung jalur karir kita? Mengikuti teknik Johari Window yang dikembangkan psikolog Amerika Joseph Luft dan Harrington Ingham, kita mungkin perlu memperluas lingkup keterbukaan diri, mempelajari umpan balik dari pihak lain yang tahu tentang gambaran diri kita yang kita sendiri tidak tahu, menginformasikan pihak lain tentang hal penting diri kita yang orang lain belum tahu, dan tetap menyadari kemungkinan adanya hal penting tentang diri kita yang pihak lain maupun kita sendiri tidak tahu. Sederhananya, kita perlu terus-menerus menyadari kebenaran suatu pepatah bahwa tak kenal maka tak sayang.
Dalam hal pengendalian kemajuan maupun kemunduran yang selama ini kita alami, evaluasi perlu dilakukan pada cara kita menjaga suasana mental dan juga cara kita mengatasi stres. Siapa pun pasti pernah mengalami stres, dan hal itu wajar. Kadang kala stres justru bisa menimbulkan hormon adrenalin yang bermanfaat untuk memacu orang bekerja lebih keras agar memenuhi target waktu (deadline). Namun stres yang dibiarkan berkepanjangan akan berakibat buruk bagi perkembangan mental dan imunitas tubuh. Karena itu, kita perlu mengenali tanda-tanda stres dalam diri kita, mengantisipasinya sejak awal, sehingga kita dapat mengendalikannya tanpa kehilangan fokus pada tujuan hidup kita.
Di sisi lain, ketika kita mengalami kemajuan yang menggembirakan, kita sering kali merasa terlalu optimis seolah-olah kesuksesan sudah di tangan, padahal ancaman dan hambatan bisa saja siap menghadang di sepanjang jalur karir kita lebih lanjut. Optimisme memang diperlukan untuk menguatkan komitmen kita terhadap cita-cita, tetapi kehati-hatian dan kewaspadaan selalu diperlukan agar kita tidak jatuh ke lubang jebakan. Jadi, kita tidak hanya harus menghindari rasa takut berlebihan yang menimbulkan stres berkepanjangan, tetapi juga rasa optimis berlebihan yang menjebak. Cukuplah sikap waspada, hati-hati dan optimisme yang proporsional.
Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) Universitas Bakrie
Sebagian besar dari kita mungkin tidak tahan untuk segera membuka media sosial setiap bangun pagi dan setiap saat ketika ada kesempatan. Seolah-olah merasa “tidak ada” tanpa klik media sosial (Hardiman 2021: Aku Klik Maka Aku Ada). Teknologi informasi dan komunikasi digital begitu mendominasi hidup kita terutama sejak pandemi Covid-19.
Memang teknologi digital membuat aktivitas kita jauh lebih efisien, serba cepat dan “dekat”, seolah-olah semua yang kita butuhkan dan inginkan ada dalam jangkauan mata kita. Namun, kecepatan dan efisiensi yang disodorkan teknologi digital bisa membuai dan menenggelamkan kita sendiri dalam kebingungan dan ketidakpastian, jika kita tidak sadar akan tujuan hidup kita.
Apakah efisiensi teknologi digital menghanyutkan dan mematahkan efektivitas hidup kita? Atau sebaliknya, apakah efisiensi teknologi digital justru meningkatkan efektivitas kita dalam upaya mencapai tujuan hidup kita? Atas pertanyaan ini, kita perlu melakukan refleksi terhadap diri kita sendiri, bagaikan berdiri di depan cermin, melihat dan melakukan evaluasi terhadap apa yang kita lakukan dan jalani selama setahun ini.
Masih efektifkah hidup kita?
Tentu setiap individu manusia punya tujuan atau cita-cita hidup, apa pun itu. Disitu kita pertama-tama perlu mengenal dan memahami diri kita sendiri, mengenal dan meninjau kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) kita, dan juga menilai keterampilan dan kepribadian seperti apa yang dibutuhkan posisi yang kita cita-citakan. Tentu saja jalan menuju cita-cita sangat tergantung kesempatan/peluang yang tersedia (opportunities) dan hal-hal yang mengancam sepanjang jalan itu (threat).
Oleh karena itu, evaluasi strategis manajerial perlu kita lakukan untuk menilai efektivitas jalur karir yang direncanakan, peningkatan keterampilan dan pengembangan kepribadian yang telah dijalani, pencarian kesempatan untuk maju, pengendalian kemajuan maupun kemunduran yang selama ini kita alami, serta kuatnya komitmen kita terhadap cita-cita tersebut. Koreksi dan rencana tindakan koreksi perlu dipertimbangkan sebagai hasil evaluasi strategis.
Sering kali kita gagal mendapatkan peluang atau mengalami hambatan gegara kita tidak begitu efektif mengembangkan jejaring hubungan saling percaya dengan pihak-pihak yang potensial mendukung jalur karir kita. Jejaring hubungan saling percaya bukanlah hubungan yang sifatnya melulu transaksional, melainkan hubungan yang sifatnya lebih dalam atau hubungan yang bermakna. Transparansi antar pihak menjadi inti dari hubungan seperti itu.
Jadi, kita perlu mengevaluasi: apakah kita sendiri cukup transparan dalam pengembangan jejaring hubungan saling percaya yang kita butuhkan untuk mendukung jalur karir kita? Mengikuti teknik Johari Window yang dikembangkan psikolog Amerika Joseph Luft dan Harrington Ingham, kita mungkin perlu memperluas lingkup keterbukaan diri, mempelajari umpan balik dari pihak lain yang tahu tentang gambaran diri kita yang kita sendiri tidak tahu, menginformasikan pihak lain tentang hal penting diri kita yang orang lain belum tahu, dan tetap menyadari kemungkinan adanya hal penting tentang diri kita yang pihak lain maupun kita sendiri tidak tahu. Sederhananya, kita perlu terus-menerus menyadari kebenaran suatu pepatah bahwa tak kenal maka tak sayang.
Dalam hal pengendalian kemajuan maupun kemunduran yang selama ini kita alami, evaluasi perlu dilakukan pada cara kita menjaga suasana mental dan juga cara kita mengatasi stres. Siapa pun pasti pernah mengalami stres, dan hal itu wajar. Kadang kala stres justru bisa menimbulkan hormon adrenalin yang bermanfaat untuk memacu orang bekerja lebih keras agar memenuhi target waktu (deadline). Namun stres yang dibiarkan berkepanjangan akan berakibat buruk bagi perkembangan mental dan imunitas tubuh. Karena itu, kita perlu mengenali tanda-tanda stres dalam diri kita, mengantisipasinya sejak awal, sehingga kita dapat mengendalikannya tanpa kehilangan fokus pada tujuan hidup kita.
Di sisi lain, ketika kita mengalami kemajuan yang menggembirakan, kita sering kali merasa terlalu optimis seolah-olah kesuksesan sudah di tangan, padahal ancaman dan hambatan bisa saja siap menghadang di sepanjang jalur karir kita lebih lanjut. Optimisme memang diperlukan untuk menguatkan komitmen kita terhadap cita-cita, tetapi kehati-hatian dan kewaspadaan selalu diperlukan agar kita tidak jatuh ke lubang jebakan. Jadi, kita tidak hanya harus menghindari rasa takut berlebihan yang menimbulkan stres berkepanjangan, tetapi juga rasa optimis berlebihan yang menjebak. Cukuplah sikap waspada, hati-hati dan optimisme yang proporsional.