Konvensi Rakyat Partai Perindo dan Rekrutmen Caleg
loading...
A
A
A
Ferry Kurnia Rizkiyansyah,
Anggota Dewan Nasional, Ketua Bersama Komite Eksekutif Konvensi Rakyat
Tahapan Pemilihan Umum 2024 secara resmi memang belum ditetapkan dan dimulai. Akan tetapi, partai-partai politik sudah mulai melakukan berbagai langkah persiapan. Selain melakukan penataan struktur kepartaian hingga tingkat ranting, saat ini partai politik juga tengah sibuk melakukan perekrutan calon legislatif (caleg) untuk dimajukan dalam pemilihan umum (pemilu) mendatang.
Harus diakui memang bukan hal mudah bagi partai politik untuk merekrut calon-calon legislatif berkompeten dan memiliki basis pemilih konkret untuk kemudian mengisi daftar calon legislatif di seluruh tingkatan pemilihan. Kandidasi calon-calon legislatif merupakan hal sangat krusial bagi partai politik menjelang pemilihan umum. Pada tahapan ini calon-calon legislatif didaftarkan oleh partai politik untuk memperebutkan kursi DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Pengisian daftar calon legislatif harus dilakukan cermat dan serius. Apalagi di pemilihan umum mendatang sistem proporsional terbuka masih diberlakukan sebagaimana pemilihan-pemilihan umum terdahulu. Jika partai politik menempatkan calon-calon legislatif yang tidak memiliki kompetensi memadai dan basis pemilih konkret, maka berpotensi tidak dapat menarik hati pemilih untuk memilih calon legislatif partai politik bersangkutan. Partai politik pengusung pun akan mengalami kerugian besar karena tidak mampu memperoleh kursi di legislatif sehingga perjuangan politik partai selama lima tahun mendatang tidak dapat belanjut di lembaga legislatif.
Jadi, rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif merupakan variabel sangat menentukan bagaimana sebuah partai politik dapat memperolah kursi di lembaga legislatif melalui pemilihan umum. Ketika rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif tidak dikelola secara baik oleh partai politik, maka akan berdampak pada kerja-kerja pemenangan partai politik bersangkutan, terutama dalam merealisasikan perolehan suara menjadi kursi di lembaga legislatif.
Problematika utama dalam pencalonan legislatif oleh partai politik di Indonesia selama ini adalah cenderung berlangsung secara tertutup. Partai-partai politik tidak memberikan informasi secara lengkap dan juga memadai kepada publik mengenai mekanisme rekrutmen dan proses seleksi calon legislatif. Nama calon-calon legislatif seakan tiba-tiba turun dari langit terpampang di daftar calon tetap yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tidak ada transparansi dalam proses rekrutmen calon legislatif dilakukan oleh partai-partai politik selama ini.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memang mengamanatkan pelaksanaan seleksi calon-calon legislatif harus berlangsung demokratis dan terbuka sesuai anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik. Namun, tepat di titik inilah selama ini terjadi distorsi dalam rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif oleh partai politik.
Di satu sisi, undang-undang memerintahkan seleksi calon-calon legislatif dilakukan secara demokratis dan terbuka, namun, di sisi lain dipersempit agar sesuai dengan lingkup partai politik bersangkutan atau dalam hal ini anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik. Ambiguitas regulasi itu kemudian mendorong para elite partai politik di tingkat pusat untuk menggunakan kebijaksanaan mereka dalam menentukan bagaimana rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif dilakukan. Alhasil transparansi atau keterbukaan menjadi hal yang tidak mungkin terjadi dalam rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif tersebut.
Rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif dilakukan secara tertutup dan elitis karena diserahkan kepada segelintir elite partai politik di tingkat pusat. Akibat lebih lanjut dari hal tersebut para calon legislatif tidak terdorong untuk menelurkan gagasan segar guna menarik perhatian dari elite-elite partai politik dan juga pemilih. Alih-alih berlomba-lomba dalam menelurkan gagasan, mereka justru berlomba-lomba untuk melakukan politik transaksional dengan elite-elite partai politik di tingkat pusat dalam rangka mengamankan kandidasi mereka.
Hal buruk lain yang juga terjadi dalam rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif selama ini akibat dilakukan secara tertutup dan elitis adalah penempatan calon legislatif sesuai relasi kuasa antara calon legislatif bersangkutan dengan elite partai di tingkat pusat. Tidak jarang ditemui terdapat calon legislatif telah memiliki basis jaringan dan dukungan konkret di suatu daerah pemilihan namun harus menerima realitas pahit dipindahkan di daerah pemilihan lain karena diniliai bersikap tidak sesuai dengan keinginan elite partai di tingkat pusat.
Anggota Dewan Nasional, Ketua Bersama Komite Eksekutif Konvensi Rakyat
Tahapan Pemilihan Umum 2024 secara resmi memang belum ditetapkan dan dimulai. Akan tetapi, partai-partai politik sudah mulai melakukan berbagai langkah persiapan. Selain melakukan penataan struktur kepartaian hingga tingkat ranting, saat ini partai politik juga tengah sibuk melakukan perekrutan calon legislatif (caleg) untuk dimajukan dalam pemilihan umum (pemilu) mendatang.
Harus diakui memang bukan hal mudah bagi partai politik untuk merekrut calon-calon legislatif berkompeten dan memiliki basis pemilih konkret untuk kemudian mengisi daftar calon legislatif di seluruh tingkatan pemilihan. Kandidasi calon-calon legislatif merupakan hal sangat krusial bagi partai politik menjelang pemilihan umum. Pada tahapan ini calon-calon legislatif didaftarkan oleh partai politik untuk memperebutkan kursi DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Pengisian daftar calon legislatif harus dilakukan cermat dan serius. Apalagi di pemilihan umum mendatang sistem proporsional terbuka masih diberlakukan sebagaimana pemilihan-pemilihan umum terdahulu. Jika partai politik menempatkan calon-calon legislatif yang tidak memiliki kompetensi memadai dan basis pemilih konkret, maka berpotensi tidak dapat menarik hati pemilih untuk memilih calon legislatif partai politik bersangkutan. Partai politik pengusung pun akan mengalami kerugian besar karena tidak mampu memperoleh kursi di legislatif sehingga perjuangan politik partai selama lima tahun mendatang tidak dapat belanjut di lembaga legislatif.
Jadi, rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif merupakan variabel sangat menentukan bagaimana sebuah partai politik dapat memperolah kursi di lembaga legislatif melalui pemilihan umum. Ketika rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif tidak dikelola secara baik oleh partai politik, maka akan berdampak pada kerja-kerja pemenangan partai politik bersangkutan, terutama dalam merealisasikan perolehan suara menjadi kursi di lembaga legislatif.
Problematika utama dalam pencalonan legislatif oleh partai politik di Indonesia selama ini adalah cenderung berlangsung secara tertutup. Partai-partai politik tidak memberikan informasi secara lengkap dan juga memadai kepada publik mengenai mekanisme rekrutmen dan proses seleksi calon legislatif. Nama calon-calon legislatif seakan tiba-tiba turun dari langit terpampang di daftar calon tetap yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tidak ada transparansi dalam proses rekrutmen calon legislatif dilakukan oleh partai-partai politik selama ini.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memang mengamanatkan pelaksanaan seleksi calon-calon legislatif harus berlangsung demokratis dan terbuka sesuai anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik. Namun, tepat di titik inilah selama ini terjadi distorsi dalam rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif oleh partai politik.
Di satu sisi, undang-undang memerintahkan seleksi calon-calon legislatif dilakukan secara demokratis dan terbuka, namun, di sisi lain dipersempit agar sesuai dengan lingkup partai politik bersangkutan atau dalam hal ini anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik. Ambiguitas regulasi itu kemudian mendorong para elite partai politik di tingkat pusat untuk menggunakan kebijaksanaan mereka dalam menentukan bagaimana rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif dilakukan. Alhasil transparansi atau keterbukaan menjadi hal yang tidak mungkin terjadi dalam rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif tersebut.
Rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif dilakukan secara tertutup dan elitis karena diserahkan kepada segelintir elite partai politik di tingkat pusat. Akibat lebih lanjut dari hal tersebut para calon legislatif tidak terdorong untuk menelurkan gagasan segar guna menarik perhatian dari elite-elite partai politik dan juga pemilih. Alih-alih berlomba-lomba dalam menelurkan gagasan, mereka justru berlomba-lomba untuk melakukan politik transaksional dengan elite-elite partai politik di tingkat pusat dalam rangka mengamankan kandidasi mereka.
Hal buruk lain yang juga terjadi dalam rekrutmen dan kandidasi calon-calon legislatif selama ini akibat dilakukan secara tertutup dan elitis adalah penempatan calon legislatif sesuai relasi kuasa antara calon legislatif bersangkutan dengan elite partai di tingkat pusat. Tidak jarang ditemui terdapat calon legislatif telah memiliki basis jaringan dan dukungan konkret di suatu daerah pemilihan namun harus menerima realitas pahit dipindahkan di daerah pemilihan lain karena diniliai bersikap tidak sesuai dengan keinginan elite partai di tingkat pusat.