Hebat! Jenderal Kopassus Ini Selalu Puasa dan Salat Malam Meski di Medan Operasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jenderal TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar merupakan tokoh militer yang namanya sudah tidak asing lagi. Mantan Danjen Kopassandha kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) periode 1983-1985 kenyang dengan pengalaman tempur dan berbagai penugasan di medan operasi.
Mulai dari penumpasan pemberontak bersenjata PGRS/Paraku di Kalimantan, G30S/PKI, Operasi Guntur dan Operasi Kilat 1 menumpas komplotan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan hingga Operasi Wibawa di Irian Barat sekarang bernama Papua.
Keberanian dan patriotisme putra bungsu dari pasangan R Arismunandar dan Sri Wuryan ini memang sudah terlihat sejak kecil. Wismoyo dikenal suka berkelahi demi membela teman-temannya yang lemah. Bahkan, Wismoyo yang memiliki tubuh besar juga kerap dimintai bantuan oleh kakak-kakaknya jika berkelahi dengan orang lain. Keberanian dan loyalitasnya terhadap teman dan orang terdekatnya itu terus terbawa hingga Wismoyo dewasa dan memimpin pasukan.
Selepas SMA, Wismoyo memutuskan untuk menjadi tentara. Keinginannya menjadi prajurit TNI tidak lepas dari lingkunganya. Selain pernah tinggal di dekat asrama tentara saat di Madiun, rumah Wismoyo juga seringkali didatangi pamannya bersama Bambang Sugeng, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke 3 saat tengah bergerilya melawan Belanda. Hal itulah yang membulatkan tekad Wismoyo untuk terjun ke dunia militer.
Lulus Akademi Militer Nasional (AMN) kini Akademi Militer (Akmil) 1960 dengan pangkat Letnan Dua (Letda), Wismoyo langsung bergabung dengan Korps Baret Merah, pasukan elite TNI Angkatan Darat (AD). Belum lama bergabung dengan Kopassandha, Wismoyo langsung mendapat tugas menumpas pemberontakan bersenjata DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan yang dilanjutkan dengan menumpas G30S/PKI di sejumlah daerah. Keberhasilannya di medan operasi, membuat Wismoyo diangkat menjadi Komandan Pengawal Pribadi (Danwalpri) Presiden Soeharto.
Sebuah tugas yang hanya diberikan kepada prajurit-prajurit pilihan. Sebagai Danwalpri, Wismoyo bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan presiden dan keluarganya. Karenanya, dalam melaksanakan tugas pengamanan, Wismoyo selalu melekat di mana pun Presiden Soeharto berada. Setahun menjadi pengawal pribadi, Wismoyo kembali ke Kopassus menjadi Komandan Kompi Group 4 Kopassus. Selanjutnya, diangkat menjadi Danki 5 Group 4.
Menyandang pangkat Kapten, Wismoyo kembali mendapat tugas dalam Operasi Wibawa di Papua pada 1969. Operasi ini bertujuan untuk memulihkan keamanan di wilayah tersebut setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera). Selesai penugasan di Papua, Wismoyo kembali ditugaskan menumpas pemberontakan PGRS/Paraku di pedalaman Kalimantan berbatasan dengan Malaysia. Dalam operasi ini, Wismoyo berhasil menemukan Death Letter Box (DLB) sistem informasi milik pemberontak. Selain menggunakan sandi, pengoperasian alat komunikasi ini juga menggunakan bahasa Cina. Hal inilah yang membuat pergerakan para pemberontak sulit terdeteksi. Penemuan ini membuka jalan bagi TNI untuk menumpas kelompok bersenjata di Kalimantan.
Mulai dari penumpasan pemberontak bersenjata PGRS/Paraku di Kalimantan, G30S/PKI, Operasi Guntur dan Operasi Kilat 1 menumpas komplotan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan hingga Operasi Wibawa di Irian Barat sekarang bernama Papua.
Keberanian dan patriotisme putra bungsu dari pasangan R Arismunandar dan Sri Wuryan ini memang sudah terlihat sejak kecil. Wismoyo dikenal suka berkelahi demi membela teman-temannya yang lemah. Bahkan, Wismoyo yang memiliki tubuh besar juga kerap dimintai bantuan oleh kakak-kakaknya jika berkelahi dengan orang lain. Keberanian dan loyalitasnya terhadap teman dan orang terdekatnya itu terus terbawa hingga Wismoyo dewasa dan memimpin pasukan.
Selepas SMA, Wismoyo memutuskan untuk menjadi tentara. Keinginannya menjadi prajurit TNI tidak lepas dari lingkunganya. Selain pernah tinggal di dekat asrama tentara saat di Madiun, rumah Wismoyo juga seringkali didatangi pamannya bersama Bambang Sugeng, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke 3 saat tengah bergerilya melawan Belanda. Hal itulah yang membulatkan tekad Wismoyo untuk terjun ke dunia militer.
Lulus Akademi Militer Nasional (AMN) kini Akademi Militer (Akmil) 1960 dengan pangkat Letnan Dua (Letda), Wismoyo langsung bergabung dengan Korps Baret Merah, pasukan elite TNI Angkatan Darat (AD). Belum lama bergabung dengan Kopassandha, Wismoyo langsung mendapat tugas menumpas pemberontakan bersenjata DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan yang dilanjutkan dengan menumpas G30S/PKI di sejumlah daerah. Keberhasilannya di medan operasi, membuat Wismoyo diangkat menjadi Komandan Pengawal Pribadi (Danwalpri) Presiden Soeharto.
Sebuah tugas yang hanya diberikan kepada prajurit-prajurit pilihan. Sebagai Danwalpri, Wismoyo bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan presiden dan keluarganya. Karenanya, dalam melaksanakan tugas pengamanan, Wismoyo selalu melekat di mana pun Presiden Soeharto berada. Setahun menjadi pengawal pribadi, Wismoyo kembali ke Kopassus menjadi Komandan Kompi Group 4 Kopassus. Selanjutnya, diangkat menjadi Danki 5 Group 4.
Menyandang pangkat Kapten, Wismoyo kembali mendapat tugas dalam Operasi Wibawa di Papua pada 1969. Operasi ini bertujuan untuk memulihkan keamanan di wilayah tersebut setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera). Selesai penugasan di Papua, Wismoyo kembali ditugaskan menumpas pemberontakan PGRS/Paraku di pedalaman Kalimantan berbatasan dengan Malaysia. Dalam operasi ini, Wismoyo berhasil menemukan Death Letter Box (DLB) sistem informasi milik pemberontak. Selain menggunakan sandi, pengoperasian alat komunikasi ini juga menggunakan bahasa Cina. Hal inilah yang membuat pergerakan para pemberontak sulit terdeteksi. Penemuan ini membuka jalan bagi TNI untuk menumpas kelompok bersenjata di Kalimantan.