Bertemu Firli Bahuri, LaNyalla Bahas PT 20% dan Calon Boneka

Selasa, 14 Desember 2021 - 18:25 WIB
loading...
Bertemu Firli Bahuri, LaNyalla Bahas PT 20% dan Calon Boneka
Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, saat bertemu Ketua KPK Firli Bahuri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/12/2021). Foto/Felldy Utama
A A A
JAKARTA - Presidential threshold (PT) sebesar 20 persen justru hanya akan melahirkan calon boneka. Hal ini dikatakan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Baca Juga: Presidential thresholdLaNyalla saat bertemu Ketua KPK Firli Bahuri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/12/2021).

Baca juga: Soal Presidential Threshold, Politikus PAN Amini Pernyataan Firli Bahuri

Dalam kesempatan itu, LaNyalla menyampaikan kepada Firli, bahwa lembaganya sedang menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, dalam hal ini soal presidential threshold 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam gugatannya, DPD ingin agar ambang batas itu diturunkan menjadi 0 persen. LaNyalla meyakini hal itu, karena faktanya sudah ada tujuh partai politik berkoalisi, yang jumlahnya sudah menguasai 82 persen kursi di DPR.

"Tentu saja tidak mungkin akan muncul calon presiden selain yang mereka ajukan. Bisa jadi kemudian yang ada calon boneka. Yang kalah pada akhirnya dapat posisi, Menteri Pertahanan atau Parekraf. Kayak gitulah," kelakar LaNyalla.

Selain kompromi tak sehat, yang ada kemudian PT 20 persen menyebabkan konflik yang tajam di masyarakat. Belum lagi dengan ambang batas yang tinggi, semakin sedikit juga calon pemimpin yang bisa diusung.

"Padahal banyak sekali anak-anak bangsa yang mampu sebagai pemimpin. Tapi karena ada ambang batas itu jadi tidak bisa. Jadi tertutup sudah," ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua KPK Firli Bahuri, sepakat soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Namun KPK memandang dari sisi tindak korupsi.

"Kalau saya memandangnya begini, di alam demokrasi saat ini dengan Presidential Threshold 20 persen itu biaya politik menjadi tinggi. Sangat mahal," tegasnya.

"Biaya politik tinggi menyebabkan adanya politik transaksional. Ujung-ujungnya adalah korupsi. Kalau PT 0 persen artinya tidak ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi," tutupnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1791 seconds (0.1#10.140)