Terdakwa Kasus Asabri Dituntut Hukuman Mati, Begini Penilaian Pakar Hukum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menuntut hukuman mati terhadap Heru Hidayat, terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Terkait hal itu, pakar Hukum Administrasi Negara Dian Puji Nugraha Simatupang menilai, metode perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus PT Asabri dapat dilihat dengan sedikit menoleh ke belakang dari sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri yang digelar beberapa waktu lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan agenda pemeriksaan Saksi Ahli, Senin, 29 November 2021 dan dilanjutkan, pada Selasa, 30 November 2021.
Persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi Ahli tersebut dihadiri oleh para saksi ahli ternama di bidangnya yang memberikan pendapat mereka untuk para terdakwa dalam kasus tersebut. "Penghitungan kerugian negara harus berdasarkan nilai buku atau nilai nyata yang catatan laporan keuangannya ada pada CaLK” tegasnya, Kamis (9/12/2021).
Dalam persidangan sebelumnya, BPK memberikan keterangan perkara terkait investasi menggunakan metode total lost. Menurut Dian, total lost tidak dikenal sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016, kedua untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola investasi mengacu Pasal 4 ayat (1) PMK No. 248 Tahun 2016 untuk mengidentifikasi apakah dari nilai ada kekurangan atau tidak.
"Metode perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh BPK seharusnya menggunakan metode baku yang diatur dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan harus mengaplikasikan prinsip - prinsip akuntansi, apabila keluar dari aturan dan prinsip - prinsip akuntansi tersebut artinya BPK telah melanggar peraturan yang menjadi acuan BPK sendiri,” ungkapnya.
Hal ini tentu akan menjadi pertanyaan apakah perhitungan kerugian negara tersebut layak untuk dijadikan dasar tuntutan bagi para terdakwa. Terlebih lagi tuntutan mati. Metode perhitungan kerugian negara yang digunakan BPK yang menurut ahli telah melanggar Peraturan BPK itu sendiri tentu dapat menimbulkan argumenasi sengit dari para terdakwa mengenai jumlah kerugian negara yang diduga disebabkan oleh mereka. Bukan tidak mungkin dapat berakhir dengan upaya hukum dari para terdakwa untuk melakukan gugatan hukum atas hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK tersebut.
Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara ini menjelaskan juga apabila dalam suatu negara terjadi kekeliruan dalam investasi saham dengan kata lain naik turunnya harga saham tidak dapat dikatakan merugikan negara atau kerugian nilai investasi. “Jadi apabila terdapat kerugian nilai investasi yang merujuk kepada Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan No. 248 Tahun 2016 maka perlu adanya teguran tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing satu bulan dan penyelesaiannya dalam jangka waktu satu tahun”, tegasnya.
Ahli Hukum Pasar Modal Indra Safitri yang menjadi saksi ahli dari terdakwa Lukman Purnomosidi mengatakan, turun dan naiknya harga saham ditentukan oleh pergerakan harga yang terbentuk di bursa efek. “Dalam hal terjadi naik turunnya harga saham, emiten tidak bisa diminta pertanggung jawaban,” ujarnya.
Terkait dengan pertanyaan JPU mengenai ada atau tidaknya ketentuan di pasar modal yang mengatur transaksi yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Indra menjawab dengan tegas bahwa aturan itu tidak ketentuannya. “Tidak ada,” tegas Indra.
Sementara Miftahul Huda yang memberikan keterangan dalam perkara terdakwa Lukman Purnomosidi menyatakan, apabila ada kesepakatan antar badan hukum korporasi dan terbit surat efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum jatuh tempo (maturity date) maka hukum pidana tidak bisa diterapkan. “Jadi perjanjian yang belum due, maka tidak dapat dikatakan wanprestasi dan atau melakukan perbuatan melawan hukum,” tegas Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Keterangan Miftahul tersebut setidaknya dapat meluruskan bahwa salah satu dasar kerugian negara yang dinyatakan BPK disebabkan oleh terdakwa bisa jadi tidak tepat karena fakta bahwa “Perjanjian yang belum due (jatuh tempo) maka hukum pidana tidak dapat diterapkan. Belum jatuh tempo dapat diartikan belum terjadi kerugian. Sedangkan mengutip kembali keterangan dari Dian sebagai ahli dalam persidangan tersebut juga mengatakan bahwa memaknai sifat dari kerugian negara itu harus nyata dan pasti,” ucapnya.
Ahli Hukum Pidana Mahmud Mulyadi mengatakan untuk membuktikan adanya suatu dugaan tindak pidana korupsi perlu dianutnya asas dualistis. “Asas dualistis dianut dengan memisahkan perbuatan pidana (unsur objektif) dengan pertanggung jawaban pidana (unsur subjektif), maka untuk menemukan suatu dugaan tindak pidana korupsi perlu dibuktikan terlebih dahulu objektif dan setelah itu unsur subjektifnya,” ucapnya.
Bagaimana bila ketentuan Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Administrasi dan lain-lain dan kemudian ditarik dalam UU Tipikor. “Apabila terdapat UU Pidana Khusus yang berhadapan, perlu diterapkan asas leq specialis systematic deroqate leq generalis, jadi aturan UU khusus yang lebih sistematis yang akan diterapkan. Tidak sedikit - sedikit harus ditarik ke Tipikor,” tegasnya.
Terkait hal itu, pakar Hukum Administrasi Negara Dian Puji Nugraha Simatupang menilai, metode perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus PT Asabri dapat dilihat dengan sedikit menoleh ke belakang dari sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri yang digelar beberapa waktu lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan agenda pemeriksaan Saksi Ahli, Senin, 29 November 2021 dan dilanjutkan, pada Selasa, 30 November 2021.
Persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi Ahli tersebut dihadiri oleh para saksi ahli ternama di bidangnya yang memberikan pendapat mereka untuk para terdakwa dalam kasus tersebut. "Penghitungan kerugian negara harus berdasarkan nilai buku atau nilai nyata yang catatan laporan keuangannya ada pada CaLK” tegasnya, Kamis (9/12/2021).
Dalam persidangan sebelumnya, BPK memberikan keterangan perkara terkait investasi menggunakan metode total lost. Menurut Dian, total lost tidak dikenal sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016, kedua untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola investasi mengacu Pasal 4 ayat (1) PMK No. 248 Tahun 2016 untuk mengidentifikasi apakah dari nilai ada kekurangan atau tidak.
"Metode perhitungan kerugian negara yang digunakan oleh BPK seharusnya menggunakan metode baku yang diatur dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan harus mengaplikasikan prinsip - prinsip akuntansi, apabila keluar dari aturan dan prinsip - prinsip akuntansi tersebut artinya BPK telah melanggar peraturan yang menjadi acuan BPK sendiri,” ungkapnya.
Hal ini tentu akan menjadi pertanyaan apakah perhitungan kerugian negara tersebut layak untuk dijadikan dasar tuntutan bagi para terdakwa. Terlebih lagi tuntutan mati. Metode perhitungan kerugian negara yang digunakan BPK yang menurut ahli telah melanggar Peraturan BPK itu sendiri tentu dapat menimbulkan argumenasi sengit dari para terdakwa mengenai jumlah kerugian negara yang diduga disebabkan oleh mereka. Bukan tidak mungkin dapat berakhir dengan upaya hukum dari para terdakwa untuk melakukan gugatan hukum atas hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK tersebut.
Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara ini menjelaskan juga apabila dalam suatu negara terjadi kekeliruan dalam investasi saham dengan kata lain naik turunnya harga saham tidak dapat dikatakan merugikan negara atau kerugian nilai investasi. “Jadi apabila terdapat kerugian nilai investasi yang merujuk kepada Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan No. 248 Tahun 2016 maka perlu adanya teguran tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing satu bulan dan penyelesaiannya dalam jangka waktu satu tahun”, tegasnya.
Ahli Hukum Pasar Modal Indra Safitri yang menjadi saksi ahli dari terdakwa Lukman Purnomosidi mengatakan, turun dan naiknya harga saham ditentukan oleh pergerakan harga yang terbentuk di bursa efek. “Dalam hal terjadi naik turunnya harga saham, emiten tidak bisa diminta pertanggung jawaban,” ujarnya.
Terkait dengan pertanyaan JPU mengenai ada atau tidaknya ketentuan di pasar modal yang mengatur transaksi yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Indra menjawab dengan tegas bahwa aturan itu tidak ketentuannya. “Tidak ada,” tegas Indra.
Sementara Miftahul Huda yang memberikan keterangan dalam perkara terdakwa Lukman Purnomosidi menyatakan, apabila ada kesepakatan antar badan hukum korporasi dan terbit surat efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum jatuh tempo (maturity date) maka hukum pidana tidak bisa diterapkan. “Jadi perjanjian yang belum due, maka tidak dapat dikatakan wanprestasi dan atau melakukan perbuatan melawan hukum,” tegas Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Keterangan Miftahul tersebut setidaknya dapat meluruskan bahwa salah satu dasar kerugian negara yang dinyatakan BPK disebabkan oleh terdakwa bisa jadi tidak tepat karena fakta bahwa “Perjanjian yang belum due (jatuh tempo) maka hukum pidana tidak dapat diterapkan. Belum jatuh tempo dapat diartikan belum terjadi kerugian. Sedangkan mengutip kembali keterangan dari Dian sebagai ahli dalam persidangan tersebut juga mengatakan bahwa memaknai sifat dari kerugian negara itu harus nyata dan pasti,” ucapnya.
Ahli Hukum Pidana Mahmud Mulyadi mengatakan untuk membuktikan adanya suatu dugaan tindak pidana korupsi perlu dianutnya asas dualistis. “Asas dualistis dianut dengan memisahkan perbuatan pidana (unsur objektif) dengan pertanggung jawaban pidana (unsur subjektif), maka untuk menemukan suatu dugaan tindak pidana korupsi perlu dibuktikan terlebih dahulu objektif dan setelah itu unsur subjektifnya,” ucapnya.
Bagaimana bila ketentuan Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Administrasi dan lain-lain dan kemudian ditarik dalam UU Tipikor. “Apabila terdapat UU Pidana Khusus yang berhadapan, perlu diterapkan asas leq specialis systematic deroqate leq generalis, jadi aturan UU khusus yang lebih sistematis yang akan diterapkan. Tidak sedikit - sedikit harus ditarik ke Tipikor,” tegasnya.
(cip)