Disrupsi Data Perikanan

Kamis, 09 Desember 2021 - 10:11 WIB
loading...
Disrupsi Data Perikanan
Yonvitner (Ist)
A A A
Yonvitner
Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University

SALAH satu syarat keberhasilan pembangunan perikanan adalah tersedianya data yang presisi. Data presisi akan menghasilkan skenario aksi yang presisi, kelembagaan presisi, dan kebijakan presisi. Kebijakan pengelolaan perikanan yang dilakukan saat ini tidak boleh lagi berselimut dalam pepatah "best available data", tapi harus move on pada "best precision data". Untuk itu sudah saatnya kita melakukan pembenahan atas seluruh data perikanan, terutama dengan rencana penerapan praktik usaha melalui konsesi. Pembenahan harus dilakukan mulai dari data stok, data daya dukung biomass di daerah produksi, kebutuhan pengawas perikanan, pelabuhan layak landing bagi ikan produk premium. Mekanisme pengumpulan data yang saat ini dilakukan, sudah tidak relevan untuk mengukur manfaat perikanan bagi nelayan, masyarakat dan bangsa secara presisi.

Pembenahan
Pembenahan data perikanan tangkap sudah sangat mendesak dilakukan di tengah rencana investasi melalui konsesi yang diluncurkan. Situasi yang mendasari pentingnya pembenahan dilakukan yalni, pertama, disrupsi tata kelola perikanan pascarevisi Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 menjadi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengamputasi peran kabupaten menjadi provinsi dalam pengumpulan data di pelabuhan perikanan.

Kedua, basis data stok tangkap yang dipakai untuk perencanaan dan rencana konsesi yang tidak update selama lebih 5 tahun lebih bisa menimbulkan bias besar dalam penyusunan program. Ketiga, prinsip dasar pengumpulan data secara sampling sudah tidak relevan lagi saat ini, seiring tumbuhnya industri 4.0 yang sudah berbasis pencatatan real time.

Disrupsi terjadi karena implementasi UU Nomor 1 Tahun 2014 terkait data bersumber dari pengelolaan aset pelabuhan perikanan, dan sumber daya manusia pengelola pelabuhan. Pemindahan aset pelabuhan dari kabupaten/kota ke provinsi menyisakan persoalan pembiayaan tenaga lapangan. Pembiayaan yang selama ini menjadi tanggungjawab kabupaten/kota, ketika berpindah ke provinsi tidak langsung mendapat dukungan anggaran. Akibatnya, perawatan aset pelabuhan terbengkalai, biaya dan tenaga pengganti pengelola dari provinsi juga tidak berjalan. Sehingga, proses pelelangan dan pencatatan pendaratan terhenti. Walaupun kemudian diantisipasi dengan tenaga penyuluh dan pengumpul data, namun proses pengumpulan berubah menjadi bersifat sampling. Ada yang menerapkan sampling acak pada bulan tertentu, dan ada juga yang sampling tahunan. Akibatnya realisasi dan dinamika tangkapan harian dan bulanan tidak tergambar dengan baik. Proses verifikasi yang juga tidak dilakukan setiap bulan karena alasan biaya makin memperlebar jarak akurasi data. Biaya pengumpulan data yang tidak memadai juga berdampak pada tidak memadainya proses pengumpulan data yang diperoleh. Secara global data dapat diperoleh, tetapi ketika ditelaah lebih dalam, dinamika karena pengaruh musim, perubahan pola penangkapan dan alat tangkap, tidak terjelaskan dengan tepat. Akibatnya interpretasi yang kemudian timbul seolah-olah produk perikanan selalu flat dan sama sepanjang waktu, bahkan cenderung data mengikuti indeks kinerja utama (IKU).

Akibat disrupsi tata kelola aset pelabuhan dan sumber daya manusia kemudian berpengaruh pada pencatatan data produksi tangkapan. Penetapan data stok berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 50 Tahun 2016 sebesar 12,5 juta ton sudah tidak relevan saat ini. Karena data basis 2016 tersebut berasal dari sumber pencatatan tahun sebelumnya. Selama kegiatan perikanan 2017-2021 seharusnya kita mempunyai data yang baru. Data baru tersebutlah yang seharusnya kemudian dijadikan sebagai dasar perencanaan saat ini dan estimasi potensi stok baru. Ketika kita memaksakan menggunakan data 2016 untuk perencanaan sistem konsesi ini, berarti kita tidak memercayai data yang dikumpulkan pada 2017 sampai 2021.

Kalau mau berdalih bahwa stok tidak berkurang, karena ada pandemi, dan banyak yang berhenti menangkap ikan, semestinya data baru tetap ada dengan kuantitas yang lebih besar. Rencana investasi dan konsesi serta kenaikan PHP sudah tidak relevan menggunakan data yang tidak dapat diandalkan dan tidak update. Jadi, sebelum kebijakan tersebut ada, maka perbaiki dulu dan tampilkan dulu data baru ke publik. Sehingga publik dapat mengukur minat investasi dari informasi yang disajikan dari data yang up to date.

Jika pemerintah mau membuka diri terhadap teknologi, keberadaan teknologi industri 4.0 dapat dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengumpulan data. Teknologi survei biomass ikan, pendugaan mengunakan satelit dan pencatatan berbasis android seharusnya mempermudah pengumpulan data perikanan. Data loogbook yang sudah ada dan dikelola bisa dijadikan modalitas untuk memperbaiki data perikanan lebih baik. Pendekatan sampling selama ini sudah tidak relevan untuk budaya perikanan yang maju.

Amnesti Data
Mengingat peran vital dari data yang berkualitas bagi pembangunan perikanan, penulis menyarankan segera dilakukan amnesti data perikanan saat ini sebelum penerapan konsesi. Alasan mendasar pentingnya amnesti data, adalah pertama, Indeks Kinerja KP yang capaiannya diukur berdasarkan data stok ikan. Capaian produksi, capaian konsumsi, dan capaian produk olahan dan bahan baku sangat tergantung pada sedian biomass ikan. Ketika menetapkan kenaikan IKU terhadap stok layak tangkap, kesannya bahwa produksi biomass perikanan juga akan selalu naik. Padahal dinamika stok ikan terjadi karena fluktuasi kebijakan serta iklim telah menyebabkan dinamika yang sangat tinggi, dan bahkan dapat menurunkan stok ikan. Menjadi tidak relevan menawarkan konsesi dengan data stok yang sudah berusia lebih dari lima tahun.

Kedua, dampak dari pandemi Covid-19 terhadap data juga sangat terasa. Pembiayaan pengumpulan data sebagian besar hilang karena refocusing. Ketika tata kelola data dari one data dikembalikan pada direktorat jenderal, serta hilangnya dukungan pembiayaan, bisa dibayangkan data dari sumber mana yang akan dipakai sebagai capaian IKU. Apakah rata-rata sampling kemudian akan dijadikan dasar penetapan capaian IKU nasional? Atau one data yang tingkat cakupannya masih rendah atau juga data Badan Pusat Statistik (BPS).

Ketika referensi berbeda, maka sungguh potensi bias yang akan dihasilkan juga besar. Dampak Covi19 sebenarnya potensial menyebabkan potensi IKU turun, tapi budaya IKU turun sebagai sikap wan-prestasi bisa menyebabkan penyimpangan makin besar dari data aktual.

Ketiga, amnesti data diperlukan untuk meletakkan kembali fondasi pendataan aktual operasional sebagai basis perencanaan perikanan. Data aktual dari loogbook, aktual dari one data untuk pengolahan seharusnya dapat dimanfaatkan. Sebagai contoh bidang pengolahan ikan, jumlah unit pengolahan ikan (UPI) pada one data yang lebih rendah dari UPI data BPS. Perbedaan jumlah ini potensial menyebabkan perbedaan penentuan bahan baku dan produk olahan yang menjadi IKU lembaga. Amnesti data dapat dilakukan, sembari menyiapkan semua instrumen pengelolaan data yang lebih presisi.

Tidak tabu untuk memperbaiki data dengan melakukan amnesti jika mau memperbaiki perikanan. Terburu-buru dengan sistem konsesi dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) potensial menyebabkan kerusakan yang lebih besar di masa mendatang dan kerugian terhadap anak cucu kita. Mundur selangkah mungkin lebih baik (baca: perbaiki data), daripada melompat tapi akhirnya tenggelam karena data investasi terdisrupsi.

(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1503 seconds (0.1#10.140)