Gowok, Mentor Ulung Bersenggama Para Calon Pengantin

Rabu, 08 Desember 2021 - 18:46 WIB
loading...
Gowok, Mentor Ulung Bersenggama Para Calon Pengantin
Gowok, Mentor Ulung Bersenggama Para Calon Pengantin
A A A
Handoko Widagdo
Pencinta Buku

Ada upaya serius untuk melupakan kedudukan karya-karya tulisan para penulis peranakan dalam dunia sastra di Indonesia. Karya-karya yang jumlahnya sangat banyak itu ā€“ menurut Claudine Salmon (1985) setidaknya ada lebih dari 3.000 karya, diposisikan sebagai karya bermutu rendah dan tidak layak dimasukkan ke kategori sastra.

baca juga: Kuwait Tangkap Pasangan Asia karena Bercinta di Mobil hingga Bergoyang

Balai Pustakalah yang mula-mula membuat definisi karya yang dianggap sastrawi. Balai Pustaka menggunakan kriteria bahasa yang digunakan sebagai salah satu kriteria untuk menilai karya sastra. Karya-karya yang menggunakan bahasa Melayu rendah dianggap tidak sastrawi. Menurut kriteria Balai Pustaka tersebut, karya-karya penulis peranakan dikategorikan sebagai karya liar.

Sebenarnya bukan hanya karya-karya penulis peranakan yang dianggap karya liar. Karya-karya Semaun (Hikayat Kadiroen), Mas Marco (Studen Hidjo, Mata Gelap, Rasa Merdeka) dan penulis-penulis bumi putera lainnya juga dimasukkan ke kategori karya liar. Sebab karya-karya tersebut sering bersisi kritik sosial serta membangkitkan semangat perlawanan kepada penguasa.

Padahal ada alasan lain dari Pemerintah Hindia Belanda dalam mengkategorikan karya tulisan tersebut; yaitu untuk memberangus penulis-penulis yang melakukan kritik sosial dan memunculkan rasa kebangsaan. Jadi sesungguhnya, upaya penyingkiran karya-karya penulis peranakan dan penulis di luar Balai Pustaka bukan murni alasan kesusastraan saja.

baca juga: Ini Dia Mobil-mobil yang Paling Sering Digunakan Pasangan untuk Bercinta

Sampai saat ini, karya-karya penulis peranakan tersebut belumlah sepenuhnya diterima oleh beberapa pihak sebagai sebuah karya sastra dan karya yang penting yang ikut serta membangkitkan rasa nasionalisme. Namun upaya-upaya untuk membuktikan sumbangan karya para penulis peranakan ini bagi perkembangan sastra di Indonesia mulai marak. Nama-nama Njo Djoe Lan, Markus AS, Myra Sidharta dan Claudine Salmon adalah sebagian nama orang-orang yang sangat serius menekuni pokok ini. Tentu masih banyak lagi orang-orang yang peduli tentang sastra Melayu Tionghoa dan sumbangannya kepada perkembangan sastra di Indonesia.

Selain dari penelitian, upaya untuk menerbitkan ulang karya-karya Melayu ā€“ Tionghoa telah diupayakan. Di antaranya adalah oleh Gramedia. Penerbih Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) telah menerbitkan 10 jilid karya-karya Melayu Tionghoa. Selain dari penerbit besar, ada juga upaya perseorangan dalam penerbitan ulang karya-karya penulis peranakan. Salah satunya adalah penerbitan ulang oleh Wahyu Wibisana, yang menerbitkan ulang dengan menyesuaikan ejaan supaya mudah dibaca oleh pembaca masa kini. Upaya Wahyu Wibisana ini patut didukung sehingga kalangan muda saat ini bisa menikmati karya-karya luar biasa yang mulai menghilang.

Karya-karya penulis peranakan tidak hanya berisi tentang tradisi Cina atau hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan orang Tionghoa di Indonesia. Mereka juga menulis tentang kehidupan sosial dan tradisi-tradisi setempat. Contohnya adalah ā€œGawokā€ karya Lim Khing Hoo ini. Gawok adalah tradisi di sekitar Banyumas yang memberikan pelatihan bagi pemuda tentang seks menjelang pernikahannya. Tradisi ini konon berasal dari tradisi yang dibawa oleh orang Tionghoa di masa Ceng Ho, pada 1415. Tradisi ini dikenalkan oleh seorang perempuan Tionghoa bernama Goo Wok Niang (hal. viii).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2971 seconds (0.1#10.140)