AH Nasution, Jenderal Besar Anti-PKI Kebanggaan TNI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Abdul Haris Nasution adalah nama besar. Bukan saja bagi kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tapi juga militer dunia. Peninggalan berupa konsep pemikiran mengenai perang, khususnya perang gerilya, tetap lestari hingga kini, diajarkan di sekolah-sekolah militer dunia, bahkan AS.
Dikutip dari sejarah-tni.mil.id,AHNasution dilahirkan di Huta Pungkut, Kecamatan Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 3 Desember 1918. Dia merupakan anak dari pasangan H Abdul Halim Nasution dan Zahara Lubis.
Sebelum masuk dunia militer, Pak Nas, begitu sang jenderal biasa disapa, adalah seorang guru. Latar belakangnya yang seorang guru inilah yang menggumpalkan jiwa pendidik Pak Nas begitu berkarier di dunia militer. Jiwa tersebut terus disemainya hingga menduduki posisi puncak dalam hirarki TNI.
Karier militer Pak Nas baru dimulai setelah menyelesaikan pendidikan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) KNIL atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung pada 1940-1942. Nasutio diangkat menjadi pembantu letnan calon perwira dan ditempatkan di Batalyon 3 Surabaya yang bertempat di Kebalen.
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Pak Nas kembali ke Bandung. Hingga menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, Pak Nas adalah pegawai Kotapraja di Bandung dan pimpinan Seinendan. Setelah Indonesia Merdeka, Pak Nas aktif dalam kepemimpinan pemuda dan menjadi penasihat Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bandung.
Ketika Tentara Keamanan Ralyat (TKR) dibentuk pada 5 Oktober 1945, Pak Nas ditunjuk sebagai Kepala Staf Komandemen TKR I/Jawa Barat hingga 1948 dengan pangkat kolonel. Tugasnya menyusun organisasi dan administrasi.
Setelah itu, Pak Nas diangkat menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pangkatnya pun naik menjadi jenderal mayor. Pak lalu dipercaya menjabat sebagai Panglima Divisi III/TKR Priangan yang menjadi Divisi I/Siliwangi.
Posisi sebagai Kepala Staf Angatan Darat dijabat Pak Nas pada 10 Desember 1949, setelah agresi militer Belanda II. Pangkatnya waktu itu diturunkan lagi menjai kolonel, imbas dari kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) tahun 1948.Sempat dicopot karena peristiwa unjuk rasa pembubaran DPR pada 17 Oktober 1952, Pak Nas kembali menempati posisi KSAD pada 1955. Dua tahun berselang, tanggung jawab Pak Nas ditambah dengan memangku jabatan sebagai Ketua Gabungan Kepala-Kepala Staf Angkatan Perang (GKS).
Pada tahun-tahun itulah, situasi politik yang sangat dinamis hinggap pada pemikiran Pak Nas yang mengungkapkan ide agar kembali kepada UUD 1945. Dia melihat berbagai pemberontakan juga kabinet yang jatuh bangun gagal membentuk konstitusi.Ide itulah yang akhirnya disambut Presiden Soekarno dengan menerbitkan dekrit 5 Juli 1959, yang menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Pak Nas lalu diangkat sebagai Menteri Koordinator (Menko) Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata pada 1962.
Pada masa ini, Pak Nas melihat PKI yang pernah mengadakan pemberontakan di Madiun pada 1948 kembali menguat. Orang-orang PKI menempati posisi-posisi strategis sipil dan militer.Inilah yang membuat Pak Nas memutuskan untuk mengambil jarak dengan PKI. Dia bersikap offensif terhadap PKI. Pak Nas menolak berbagai gagasan yang diajukan PKI di banyak bidang mulai pers, budaya, teritorial, sampai pembentukan angkatan kelima di militer.
Tetapi hal ini pula yang menyebabkan dia menjadi salah satu target dalam rencana penculikan dan pembunuhan pada jenderal TNI AD pada 30 September 1965 oleh PKI. Enam jenderal dan seorang perwira menengah menjadi korban. Pak Nas selamat setelah lolos dari tembakan dan berhasil kabur melalui jendela kamarnya. Bersama Jenderal Soeharto dan Letkol Sarwo Edhie Wibowo, Pak Nas lalu menyusun rencana penumpasan G30S/PKI.
Memasuki Orde Baru, Pak Nas dipilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang memberhentikan Soekarno sebagai presiden dan melantik Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden.
Sebesar namanya, Pak Nas adalah jenderal besar dengan lima bintang di pundak sejajar dengan Jenderal Besar Soedirman. Bintang lima tersebut adalah pangkat kehormatan yang diberikan pemerintah atas jasa-jasa yang telah diberikan Pak Nas selama bertugas di TNI.
Pak Nas memang banyak memberikan sumbangsih bagi TNI. Selain pemikiran soal konsep perang gerilya dan dwifungsi, Pak Nas adalah otak di balik sejumlah keberhasilan operasi militer TNI. Sebut saja operasi penumpasan PKI Madiun pada 1948 dan Operasi Pembebasan Irian Barat. Pak Nas wafat di Jakarta, 6 September 2000 pada usia 81 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.
Dikutip dari sejarah-tni.mil.id,AHNasution dilahirkan di Huta Pungkut, Kecamatan Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 3 Desember 1918. Dia merupakan anak dari pasangan H Abdul Halim Nasution dan Zahara Lubis.
Sebelum masuk dunia militer, Pak Nas, begitu sang jenderal biasa disapa, adalah seorang guru. Latar belakangnya yang seorang guru inilah yang menggumpalkan jiwa pendidik Pak Nas begitu berkarier di dunia militer. Jiwa tersebut terus disemainya hingga menduduki posisi puncak dalam hirarki TNI.
Karier militer Pak Nas baru dimulai setelah menyelesaikan pendidikan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) KNIL atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung pada 1940-1942. Nasutio diangkat menjadi pembantu letnan calon perwira dan ditempatkan di Batalyon 3 Surabaya yang bertempat di Kebalen.
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Pak Nas kembali ke Bandung. Hingga menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, Pak Nas adalah pegawai Kotapraja di Bandung dan pimpinan Seinendan. Setelah Indonesia Merdeka, Pak Nas aktif dalam kepemimpinan pemuda dan menjadi penasihat Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bandung.
Ketika Tentara Keamanan Ralyat (TKR) dibentuk pada 5 Oktober 1945, Pak Nas ditunjuk sebagai Kepala Staf Komandemen TKR I/Jawa Barat hingga 1948 dengan pangkat kolonel. Tugasnya menyusun organisasi dan administrasi.
Setelah itu, Pak Nas diangkat menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pangkatnya pun naik menjadi jenderal mayor. Pak lalu dipercaya menjabat sebagai Panglima Divisi III/TKR Priangan yang menjadi Divisi I/Siliwangi.
Posisi sebagai Kepala Staf Angatan Darat dijabat Pak Nas pada 10 Desember 1949, setelah agresi militer Belanda II. Pangkatnya waktu itu diturunkan lagi menjai kolonel, imbas dari kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) tahun 1948.Sempat dicopot karena peristiwa unjuk rasa pembubaran DPR pada 17 Oktober 1952, Pak Nas kembali menempati posisi KSAD pada 1955. Dua tahun berselang, tanggung jawab Pak Nas ditambah dengan memangku jabatan sebagai Ketua Gabungan Kepala-Kepala Staf Angkatan Perang (GKS).
Pada tahun-tahun itulah, situasi politik yang sangat dinamis hinggap pada pemikiran Pak Nas yang mengungkapkan ide agar kembali kepada UUD 1945. Dia melihat berbagai pemberontakan juga kabinet yang jatuh bangun gagal membentuk konstitusi.Ide itulah yang akhirnya disambut Presiden Soekarno dengan menerbitkan dekrit 5 Juli 1959, yang menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Pak Nas lalu diangkat sebagai Menteri Koordinator (Menko) Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata pada 1962.
Pada masa ini, Pak Nas melihat PKI yang pernah mengadakan pemberontakan di Madiun pada 1948 kembali menguat. Orang-orang PKI menempati posisi-posisi strategis sipil dan militer.Inilah yang membuat Pak Nas memutuskan untuk mengambil jarak dengan PKI. Dia bersikap offensif terhadap PKI. Pak Nas menolak berbagai gagasan yang diajukan PKI di banyak bidang mulai pers, budaya, teritorial, sampai pembentukan angkatan kelima di militer.
Tetapi hal ini pula yang menyebabkan dia menjadi salah satu target dalam rencana penculikan dan pembunuhan pada jenderal TNI AD pada 30 September 1965 oleh PKI. Enam jenderal dan seorang perwira menengah menjadi korban. Pak Nas selamat setelah lolos dari tembakan dan berhasil kabur melalui jendela kamarnya. Bersama Jenderal Soeharto dan Letkol Sarwo Edhie Wibowo, Pak Nas lalu menyusun rencana penumpasan G30S/PKI.
Memasuki Orde Baru, Pak Nas dipilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang memberhentikan Soekarno sebagai presiden dan melantik Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden.
Sebesar namanya, Pak Nas adalah jenderal besar dengan lima bintang di pundak sejajar dengan Jenderal Besar Soedirman. Bintang lima tersebut adalah pangkat kehormatan yang diberikan pemerintah atas jasa-jasa yang telah diberikan Pak Nas selama bertugas di TNI.
Pak Nas memang banyak memberikan sumbangsih bagi TNI. Selain pemikiran soal konsep perang gerilya dan dwifungsi, Pak Nas adalah otak di balik sejumlah keberhasilan operasi militer TNI. Sebut saja operasi penumpasan PKI Madiun pada 1948 dan Operasi Pembebasan Irian Barat. Pak Nas wafat di Jakarta, 6 September 2000 pada usia 81 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.
(muh)