Fatayat NU Dorong Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU) lewat Fatayat NU , mendorong disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah dinanti-nantikan. Hal ini dikatakan Ketua Umum Fatayat NU , Anggia Ermarini dalam seminar nasional dan pengajian.
Baca juga: LBH Sebut Ada 45 Mahasiswi Jadi Korban Kekerasan Seksual di Bali
Acara bertajuk Urgensi Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk Proteksi dan Perlindungan Perempuan dan Anak Menuju Keluarga Maslahah ini digelar di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu 24 November 2021.
"Fatayat NU memiliki keinginan besar memberikan edukasi kepada masyarakat dan juga menggalang dukungan dari segala komponen masayarakat agar terus merapatkan barisan untuk mendukung RUU TPKS ini," kata Anggia dalam keterangan resminya, Kamis (25/11/2021).
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor mengatakan, acara ini merupakan momentum yang sangat tepat karena besok pagi, Kamis, 25 November 2021 dalam agenda DPR akan ada rapat pleno Badan Legislasi untuk mengesahkan RUU TPKS sebagai Rancangan Undang-Undang inisiatif DPR RI.
Kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan dengan damai, melalui restorative justice karena termasuk tindak pidana. Kekerasan seksual buat isu moralitas. Pihaknya berharap Fatayat NU mampu mendorong seluruh elemen masyarakat untuk menyetujui pengesahan RUU TPKS.
"Fatayat NU perlu terus mengadvokasi tokoh agama, tokoh masyarakat, media NU khususnya untuk mendukung dan mendorong agar RUU TP-KS ini segera dibahas dan disahkan oleh DPR," ucapnya.
Sementara Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Nyai Badriyah Fayumi mengatakan, meski RUU P-KS berganti nama menjadi RUU TP-KS, mudah-mudahan tidak menghilangkan substansi.
Kata dia, diharapkan dari penyusunan sebelumnya yang mencakup aspek pencegahan, pemidanaan, pemulihan korban, dan rehabilitasi pelaku, sebab kekerasan seksual lebih kompleks dari tindak pidana.
Terkait RUU TPKS yang mengancam ketahanan keluarga, Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) NU itu menegaskan bahwa RUU TPKS berkolerasi langsung dengan penguatan keluarga maslahah dan sesuai dengan maqashid syariah.
Bahkan, LKK NU telah merumuskan konsep keluarga maslahah yang cukup utuh dan komprehensif, dimana penghapusan kekerasan seksual dalam lingkup keluarga merupakan bagian terpenting.
Narasumber lain yaitu Ketua Kelompok Kerja (Panja) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual DPR RI, Willy Aditya menegaskan, salah satu hambatan dari pengesahan RUU TP-KS ini karena baru 4 Fraksi yang menyetujui, sedangkan yang lainnya masih menentang.
"Saya melihat ada gender phobia di DPR, isu yang menyangkut kesetaraan gender masih belum dipahami dengan baik oleh anggota DPR. Tantangan lain adalah kuatnya narasi dari kelompok yang menentang perlu diimbangi dengan narasi-narasi positif terkait RUU TP-KS," ungkapnya.
Anggota Badan Legislatif DPR RI, Nur Nadlifah menekankan, anggapan bahwa RUU TPKS ini akan melegalkan hal-hal yang yang dilarang oleh nilai-nilai agama, budaya dan norma yang berkembang di Indonesia tidak berdasar sama sekali.
"Justru spirit utama RUU TP-KS ini adalah untuk memberikan perlindungan harkat dan martabat siapapun baik laki-laki maupun perempuan. Untuk itu Fatayat NU perlu melakukan pendekatan kepada para ketua partai, melakukan sosialisasi di masing-masing wilayah, dan menggencarkan narasi keagamaan yang mendukung pasal-pasal di RUU TP-KS," tutupnya.
Baca juga: LBH Sebut Ada 45 Mahasiswi Jadi Korban Kekerasan Seksual di Bali
Acara bertajuk Urgensi Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk Proteksi dan Perlindungan Perempuan dan Anak Menuju Keluarga Maslahah ini digelar di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu 24 November 2021.
"Fatayat NU memiliki keinginan besar memberikan edukasi kepada masyarakat dan juga menggalang dukungan dari segala komponen masayarakat agar terus merapatkan barisan untuk mendukung RUU TPKS ini," kata Anggia dalam keterangan resminya, Kamis (25/11/2021).
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor mengatakan, acara ini merupakan momentum yang sangat tepat karena besok pagi, Kamis, 25 November 2021 dalam agenda DPR akan ada rapat pleno Badan Legislasi untuk mengesahkan RUU TPKS sebagai Rancangan Undang-Undang inisiatif DPR RI.
Kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan dengan damai, melalui restorative justice karena termasuk tindak pidana. Kekerasan seksual buat isu moralitas. Pihaknya berharap Fatayat NU mampu mendorong seluruh elemen masyarakat untuk menyetujui pengesahan RUU TPKS.
"Fatayat NU perlu terus mengadvokasi tokoh agama, tokoh masyarakat, media NU khususnya untuk mendukung dan mendorong agar RUU TP-KS ini segera dibahas dan disahkan oleh DPR," ucapnya.
Sementara Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Nyai Badriyah Fayumi mengatakan, meski RUU P-KS berganti nama menjadi RUU TP-KS, mudah-mudahan tidak menghilangkan substansi.
Kata dia, diharapkan dari penyusunan sebelumnya yang mencakup aspek pencegahan, pemidanaan, pemulihan korban, dan rehabilitasi pelaku, sebab kekerasan seksual lebih kompleks dari tindak pidana.
Terkait RUU TPKS yang mengancam ketahanan keluarga, Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) NU itu menegaskan bahwa RUU TPKS berkolerasi langsung dengan penguatan keluarga maslahah dan sesuai dengan maqashid syariah.
Bahkan, LKK NU telah merumuskan konsep keluarga maslahah yang cukup utuh dan komprehensif, dimana penghapusan kekerasan seksual dalam lingkup keluarga merupakan bagian terpenting.
Narasumber lain yaitu Ketua Kelompok Kerja (Panja) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual DPR RI, Willy Aditya menegaskan, salah satu hambatan dari pengesahan RUU TP-KS ini karena baru 4 Fraksi yang menyetujui, sedangkan yang lainnya masih menentang.
"Saya melihat ada gender phobia di DPR, isu yang menyangkut kesetaraan gender masih belum dipahami dengan baik oleh anggota DPR. Tantangan lain adalah kuatnya narasi dari kelompok yang menentang perlu diimbangi dengan narasi-narasi positif terkait RUU TP-KS," ungkapnya.
Anggota Badan Legislatif DPR RI, Nur Nadlifah menekankan, anggapan bahwa RUU TPKS ini akan melegalkan hal-hal yang yang dilarang oleh nilai-nilai agama, budaya dan norma yang berkembang di Indonesia tidak berdasar sama sekali.
"Justru spirit utama RUU TP-KS ini adalah untuk memberikan perlindungan harkat dan martabat siapapun baik laki-laki maupun perempuan. Untuk itu Fatayat NU perlu melakukan pendekatan kepada para ketua partai, melakukan sosialisasi di masing-masing wilayah, dan menggencarkan narasi keagamaan yang mendukung pasal-pasal di RUU TP-KS," tutupnya.
(maf)