Tangkal Radikalisme, Pengamat Sarankan Keamanan Siber Diperkuat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ancaman radikalisme di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil penelitian berbagai lembaga survei, ideologi radikalisme telah masuk ke dalam institusi pendidikan dan keagamaan.
Hal itu disampaikan Ketua DPP Partai Perindo Bidang Hankam & Cyber Security Susaningtyas Kertopati dalam webinar Partai Perindo dengan tema 'Tantangan, Radikalisme & Konsolidasi Demokrasi' pada Selasa (23/11/2021).
"Saat ini, kelompok radikal mengembangkan metode enabling environment sebagai upaya menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi jaringan terorisme tetap eksis dan berkembang tanpa bersentuhan langsung dengan jaringan-jaringan yang ada, khususnya dalam menyasar kaum remaja di institusi pendidikan," ujar Nuning sapaan akrab Susaningtyas Kertopati.
Menurut Nuning, sel terorismememiliki keahlian baru khususnya para foreign fighter ex combatan ISIS dalam pola narko terorisme termasuk kemampuan menggunakan elemen nuklir, biologi dan kimia (Nubika). Untuk itu, perlu upaya penangkalan. Di antaranya, mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM). ”TNI, Polri dan BNPT saat ini dituntut inovatif mengembangkan SDM anggotanya baik secara akademis dan praktik dalam menutup dan menghadapi ideology radikalisme,”ujarnya.
Selain itu, memperkuat keamanan siber (cyber security). Menurut Nuning, seiring perkembangan Internet of Things (IoT) peretasan infrastruktur kritis, pencurian data strategis, spionase, dan propaganda radikalisasi di media sosial telah berlangsung di berbagai belahan dunia karena itu keamanan siber harus diperkuat.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menyebut, saat ini banyak negara di dunia tengah merumuskan strategi untuk menghadapi ancaman di atas dan mendorong terjadinya Revolutionary in Military Affairs (RMA) gelombang kedua dengan berfokus pada ancaman hybrid warfare. "Perlu adanya task force lintas stakeholders untuk mengoptimalisasi pencegahan radikalisme di institusi pendidikan, baik formal, non formal dan informal, dengan muatan pendidikan yang bhineka, terbuka, dan toleran, serta berorientasi pada penguatan ideologi Pancasila dan UUD 1945," jelasnya.
Selain itu, kata Nuning, upaya lainnya dalam menangkal radikalisme adalah dengan meningkatkan upaya-upaya internalisasi terhadap keadilan dan kesetaraan gender kepada kaum perempuan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan institusi lainnya seperti lembaga, badan, pemerintah daerah, organisasi keagamaan, dan komunitas serta organisasi sosial kemasyarakatan.
"Civil society khususnya organisasi keagamaan moderat seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas keagamaan sebagainya, perlu memperbanyak narasi positif dan melakukan counter narasi radikalisme yang menyasar institusi pendidikan, anak muda dan perempuan melalui berbagai medium untuk membenamkan narasi intoleransi dan radikalisme," ucapnya.
Pembatasan di media sosial bukanlah hal yang efektif tangkal narasi radikalisme. Menurut Nuning, yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan literasi antiradikalisme di media sosial pada masyarakat Indonesia. "Bukan hanya sekadar baca-tulis, namun mampu bernalar untuk merespons propaganda radikalisme. Serta perlunya penelusuran kembali (review) ketentuan hukum positif untuk meminimalisasi celah tindakan radikalisme dan antidemokrasi," kata Nuning.
Tidak hanya itu, partai politik (parpol) sebagai pilar utama demokrasi juga perlu berperan lebih substansial dalam konsolidasi demokrasi untuk memastikan kader-kader mereka yang menduduki jabatan strategis serius bekerja untuk mengatasi problem-problem struktural di masyarakat.
"Seperti kemiskinan, kebodohan, ketimpangan, ketidakadilan dan lain sebagainya. Hal ini penting untuk menghilangkan enabling environment yang dieksploitasi kelompok radikal untuk melakukan proses radikalisasi di masyarakat luas," tegasnya.
Hal itu disampaikan Ketua DPP Partai Perindo Bidang Hankam & Cyber Security Susaningtyas Kertopati dalam webinar Partai Perindo dengan tema 'Tantangan, Radikalisme & Konsolidasi Demokrasi' pada Selasa (23/11/2021).
"Saat ini, kelompok radikal mengembangkan metode enabling environment sebagai upaya menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi jaringan terorisme tetap eksis dan berkembang tanpa bersentuhan langsung dengan jaringan-jaringan yang ada, khususnya dalam menyasar kaum remaja di institusi pendidikan," ujar Nuning sapaan akrab Susaningtyas Kertopati.
Menurut Nuning, sel terorismememiliki keahlian baru khususnya para foreign fighter ex combatan ISIS dalam pola narko terorisme termasuk kemampuan menggunakan elemen nuklir, biologi dan kimia (Nubika). Untuk itu, perlu upaya penangkalan. Di antaranya, mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM). ”TNI, Polri dan BNPT saat ini dituntut inovatif mengembangkan SDM anggotanya baik secara akademis dan praktik dalam menutup dan menghadapi ideology radikalisme,”ujarnya.
Selain itu, memperkuat keamanan siber (cyber security). Menurut Nuning, seiring perkembangan Internet of Things (IoT) peretasan infrastruktur kritis, pencurian data strategis, spionase, dan propaganda radikalisasi di media sosial telah berlangsung di berbagai belahan dunia karena itu keamanan siber harus diperkuat.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menyebut, saat ini banyak negara di dunia tengah merumuskan strategi untuk menghadapi ancaman di atas dan mendorong terjadinya Revolutionary in Military Affairs (RMA) gelombang kedua dengan berfokus pada ancaman hybrid warfare. "Perlu adanya task force lintas stakeholders untuk mengoptimalisasi pencegahan radikalisme di institusi pendidikan, baik formal, non formal dan informal, dengan muatan pendidikan yang bhineka, terbuka, dan toleran, serta berorientasi pada penguatan ideologi Pancasila dan UUD 1945," jelasnya.
Selain itu, kata Nuning, upaya lainnya dalam menangkal radikalisme adalah dengan meningkatkan upaya-upaya internalisasi terhadap keadilan dan kesetaraan gender kepada kaum perempuan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan institusi lainnya seperti lembaga, badan, pemerintah daerah, organisasi keagamaan, dan komunitas serta organisasi sosial kemasyarakatan.
"Civil society khususnya organisasi keagamaan moderat seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas keagamaan sebagainya, perlu memperbanyak narasi positif dan melakukan counter narasi radikalisme yang menyasar institusi pendidikan, anak muda dan perempuan melalui berbagai medium untuk membenamkan narasi intoleransi dan radikalisme," ucapnya.
Pembatasan di media sosial bukanlah hal yang efektif tangkal narasi radikalisme. Menurut Nuning, yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan literasi antiradikalisme di media sosial pada masyarakat Indonesia. "Bukan hanya sekadar baca-tulis, namun mampu bernalar untuk merespons propaganda radikalisme. Serta perlunya penelusuran kembali (review) ketentuan hukum positif untuk meminimalisasi celah tindakan radikalisme dan antidemokrasi," kata Nuning.
Tidak hanya itu, partai politik (parpol) sebagai pilar utama demokrasi juga perlu berperan lebih substansial dalam konsolidasi demokrasi untuk memastikan kader-kader mereka yang menduduki jabatan strategis serius bekerja untuk mengatasi problem-problem struktural di masyarakat.
"Seperti kemiskinan, kebodohan, ketimpangan, ketidakadilan dan lain sebagainya. Hal ini penting untuk menghilangkan enabling environment yang dieksploitasi kelompok radikal untuk melakukan proses radikalisasi di masyarakat luas," tegasnya.
(cip)