Tekad PA GMNI Perkuat Nasionalisme Lewat Kedaulatan Pangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) bertekad untuk memperkuat nasionalisme. Dan kedaulatan pangan menjadi suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh segenap pemangku kepentingan dan seluruh elemen bangsa.
Hal ini disampaikan Ketua Umum DPP PA GMNI Ahmad Basarah saat membuka webinar bertajuk “Mewujudkan Nasionalisme Melalui Kedaulatan Pangan Nasional”, Jumat (19/11/2021). Baca juga: 12 Brevet, Wing, dan Badge Hiasi Seragam Jenderal Andika, Ini Penjelasannya
“Kita akan terus memperkuat konstruksi nasionalisme, menjawab tantangan zaman dengan memperkuat kedaulatan pangan nasional,” ujar Basarah dalam keterangan persnya kepada wartawan, yang diterima Sabtu (20/11/2021).
Wakil Ketua MPR RI ini optimistis nasionalisme bukan hanya jawaban untuk melawan kolonialisme asing pada saat Indonesia menjadi negeri jajahan. “Kami meyakini sepenuh hati bahwa nasionalisme Indonesia juga jawaban atas upaya dan ikhtiar kita untuk terus mengisi kemerdekaan, melanjutkan jalannya pembangunan nasional di tengah arus globalisasi,” jelasnya.
Pada kesempatan itu, Dewan Kehormatan PA GMNI Siswono Yudho Husodo mengatakan Indonesia telah menjadi negara importir pangan yang sangat terbesar di dunia. Sejak 2013 hingga saat ini, Indonesia menjadi negara importir gula paling tinggi menggeser Tiongkok dan Rusia.
Tak hanya gula, Siswono juga menyebut 50% garam Indonesia merupakan hasil impor. Impor gandum pun terus meningkat akibat konsumsi mi instan dan roti.
“Kita sudah tak berdaulat dalam masalah ini. Impor gandum terus naik, karena ada pembatasan impor jagung. Ternyata gandum impor itu juga dipakai buat pakan ternak, lantaran pakan ternak kita tak bisa dicukupi oleh produksi jagung dalam negeri,” kata Siswono.
Mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini menambahkan Indonesia masih mengimpor 70% kebutuhan kedelai nasional. Padahal, bahan baku tempe itu termasuk makanan pokok sehari-hari. Lebih lanjut disampaikan, 16% kebuthan kacang tanah dari impor, bahkan 90% bawang putih dalam negeri adalah impor.
“Sungguh kita telah menjadi negara importir pangan yang besar. Belum lagi sayur mayur dan buah buahan. Masih impor. Kita perlu introspeksi bahwa produk pertanian kita harus ditingkatkan kualitasnya. Rasanya tidak pantas kita menjadi pengimpor pangan, mengingat lokasi kita di daerah tropis dengan luas lahan hampir 2 juta km persegi. Kita harus bertekad untuk membangun kemandirian pangan, memenuhi sendiri kebutuhan pangan kita,” sesal Siswono.
Di kesempatan sama, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mendukung pernyataan Siswono. Menurut Dwi, impor pangan memang makin lama melonjak tinggi. Impor komoditas berupa beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah melonjak dari 8 juta ton pada 2008, menjadi 20 juta ton pada 2018.
Hal ini disampaikan Ketua Umum DPP PA GMNI Ahmad Basarah saat membuka webinar bertajuk “Mewujudkan Nasionalisme Melalui Kedaulatan Pangan Nasional”, Jumat (19/11/2021). Baca juga: 12 Brevet, Wing, dan Badge Hiasi Seragam Jenderal Andika, Ini Penjelasannya
“Kita akan terus memperkuat konstruksi nasionalisme, menjawab tantangan zaman dengan memperkuat kedaulatan pangan nasional,” ujar Basarah dalam keterangan persnya kepada wartawan, yang diterima Sabtu (20/11/2021).
Wakil Ketua MPR RI ini optimistis nasionalisme bukan hanya jawaban untuk melawan kolonialisme asing pada saat Indonesia menjadi negeri jajahan. “Kami meyakini sepenuh hati bahwa nasionalisme Indonesia juga jawaban atas upaya dan ikhtiar kita untuk terus mengisi kemerdekaan, melanjutkan jalannya pembangunan nasional di tengah arus globalisasi,” jelasnya.
Pada kesempatan itu, Dewan Kehormatan PA GMNI Siswono Yudho Husodo mengatakan Indonesia telah menjadi negara importir pangan yang sangat terbesar di dunia. Sejak 2013 hingga saat ini, Indonesia menjadi negara importir gula paling tinggi menggeser Tiongkok dan Rusia.
Tak hanya gula, Siswono juga menyebut 50% garam Indonesia merupakan hasil impor. Impor gandum pun terus meningkat akibat konsumsi mi instan dan roti.
“Kita sudah tak berdaulat dalam masalah ini. Impor gandum terus naik, karena ada pembatasan impor jagung. Ternyata gandum impor itu juga dipakai buat pakan ternak, lantaran pakan ternak kita tak bisa dicukupi oleh produksi jagung dalam negeri,” kata Siswono.
Mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini menambahkan Indonesia masih mengimpor 70% kebutuhan kedelai nasional. Padahal, bahan baku tempe itu termasuk makanan pokok sehari-hari. Lebih lanjut disampaikan, 16% kebuthan kacang tanah dari impor, bahkan 90% bawang putih dalam negeri adalah impor.
“Sungguh kita telah menjadi negara importir pangan yang besar. Belum lagi sayur mayur dan buah buahan. Masih impor. Kita perlu introspeksi bahwa produk pertanian kita harus ditingkatkan kualitasnya. Rasanya tidak pantas kita menjadi pengimpor pangan, mengingat lokasi kita di daerah tropis dengan luas lahan hampir 2 juta km persegi. Kita harus bertekad untuk membangun kemandirian pangan, memenuhi sendiri kebutuhan pangan kita,” sesal Siswono.
Di kesempatan sama, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mendukung pernyataan Siswono. Menurut Dwi, impor pangan memang makin lama melonjak tinggi. Impor komoditas berupa beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah melonjak dari 8 juta ton pada 2008, menjadi 20 juta ton pada 2018.