Mengulik Dimensi Srawung
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Penyuka baca buku tinggal di Klaten, Jateng
Kitab tipis ini memiliki energi letup begitu dahsyat. Bukan sekadar say hello Gubernur Jateng H Ganjar Pranowo dan sembah Berkah Dalem Uskup Semarang Mgr R Rubiyatmoko, melainkan oase toleransi iman yang menyegarkan di tengah gempuran cerita-cerita palsu, destruktif, dan provokatif.
baca juga: Ini Dia Model Unik Toleransi Beragama Temuan Mahasiswa UNY
Siapa pun pemikir Indonesia di masa depan, perlu menyandang ciri kapabilitas politis. Di hadapan selubung korupsi, radikalisme, dan terorisme yang berkedok agama, pemikir Indonesia wajib menjadi petarung yang bernyali. Di hadapan kesalahpahaman yang memecah persatuan bangsa, pemikir menjadi penyatu yang lembut dan penuh welas asih. Pemikir yang bijaksana menari antara keutamaan petarung dan penyatu. Pemikir memainkan peran yang dibungkus keadaan. Sikap terbuka, jernih berpikir, dan jeli melihat keadaan sangat dibutuhkan.
Kompulsif! Betapa tidak! Membaca kitab Beda Tak Jadi Sekat memperoleh simpulan tentang hidup kompulsif. Abad XXI menggeser hidup seperti menari. Tarian selalu bergerak tak berpola. Tarian tanpa arah. Intinya hidup terus bergerak. Terus bekerja selalu menjalin hubungan dengan liyan. Bahagia dan derita diramu. Namun, klimaksnya tarian berubah menjadi gerak kematian.
baca juga: Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi
Pemikir menari bukan untuk merayakan kehidupan, melainkan merusak dan menebarkan petaka. Di berbagai lini kehidupan, pemikir bergerak, gaduh, tidak ke arah kebaikan bersama, tetapi ke arah kehancuran bersama. Di banyak sendi kehidupan, kehancuran terjadi perlahan, tetapi pasti. Mengapa hidup kompulsif lebih unggul? Ya, karena gagal menerapkan makna hidup yang senyatanya, yaitu gagal srawung.
Ini semua terjadi karena kita hidup tanpa kesadaran. Kita hidup dalam kompulsivitas. Artinya, kita melakukan sesuatu tanpa pertimbangan matang. Tanpa disadari, kita selalu menari menuju liang kematian beralaskan semua keputusan yang kita buat sendiri. Hidup kompulsif adalah hidup yang dijajah oleh kebiasaan diri sendiri dan digiring aneka bentuk derita yang sia-sia.
Kitab ini merupakan gerilya (catatan reflektif lintas agama lintas iman) untuk ikut merayakan berpikir kritis dan kreatif dari ribuan konteks hidup manusia agar mampu menghadirkan sudut pandang terbaru yang lebih mencerahkan. Seberapa cakap atau kapabelkah para pemikir Indonesia ini sudah srawung ilmu, srawung agama, srawung iman, srawung hidup yang bijak, dan srawung nalar yang bineka?
baca juga: As-Samhah (1): Jangan Keliru Memahami Makna Toleransi
Penyuka baca buku tinggal di Klaten, Jateng
Kitab tipis ini memiliki energi letup begitu dahsyat. Bukan sekadar say hello Gubernur Jateng H Ganjar Pranowo dan sembah Berkah Dalem Uskup Semarang Mgr R Rubiyatmoko, melainkan oase toleransi iman yang menyegarkan di tengah gempuran cerita-cerita palsu, destruktif, dan provokatif.
baca juga: Ini Dia Model Unik Toleransi Beragama Temuan Mahasiswa UNY
Siapa pun pemikir Indonesia di masa depan, perlu menyandang ciri kapabilitas politis. Di hadapan selubung korupsi, radikalisme, dan terorisme yang berkedok agama, pemikir Indonesia wajib menjadi petarung yang bernyali. Di hadapan kesalahpahaman yang memecah persatuan bangsa, pemikir menjadi penyatu yang lembut dan penuh welas asih. Pemikir yang bijaksana menari antara keutamaan petarung dan penyatu. Pemikir memainkan peran yang dibungkus keadaan. Sikap terbuka, jernih berpikir, dan jeli melihat keadaan sangat dibutuhkan.
Kompulsif! Betapa tidak! Membaca kitab Beda Tak Jadi Sekat memperoleh simpulan tentang hidup kompulsif. Abad XXI menggeser hidup seperti menari. Tarian selalu bergerak tak berpola. Tarian tanpa arah. Intinya hidup terus bergerak. Terus bekerja selalu menjalin hubungan dengan liyan. Bahagia dan derita diramu. Namun, klimaksnya tarian berubah menjadi gerak kematian.
baca juga: Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi
Pemikir menari bukan untuk merayakan kehidupan, melainkan merusak dan menebarkan petaka. Di berbagai lini kehidupan, pemikir bergerak, gaduh, tidak ke arah kebaikan bersama, tetapi ke arah kehancuran bersama. Di banyak sendi kehidupan, kehancuran terjadi perlahan, tetapi pasti. Mengapa hidup kompulsif lebih unggul? Ya, karena gagal menerapkan makna hidup yang senyatanya, yaitu gagal srawung.
Ini semua terjadi karena kita hidup tanpa kesadaran. Kita hidup dalam kompulsivitas. Artinya, kita melakukan sesuatu tanpa pertimbangan matang. Tanpa disadari, kita selalu menari menuju liang kematian beralaskan semua keputusan yang kita buat sendiri. Hidup kompulsif adalah hidup yang dijajah oleh kebiasaan diri sendiri dan digiring aneka bentuk derita yang sia-sia.
Kitab ini merupakan gerilya (catatan reflektif lintas agama lintas iman) untuk ikut merayakan berpikir kritis dan kreatif dari ribuan konteks hidup manusia agar mampu menghadirkan sudut pandang terbaru yang lebih mencerahkan. Seberapa cakap atau kapabelkah para pemikir Indonesia ini sudah srawung ilmu, srawung agama, srawung iman, srawung hidup yang bijak, dan srawung nalar yang bineka?
baca juga: As-Samhah (1): Jangan Keliru Memahami Makna Toleransi