Permendikbudristek 30/2021 Tuai Polemik, Jubir PAN: Tolong Direvisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Permendikbudristek Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) menulai polemik. Juru Bicara Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi pun meminta aturan itu direvisi.
Menurut Yoga, lembaga pendidikan, kampus, sumbernya ilmu pengetahuan, kebajikan, dan kemanusiaan, tidak bersih dari praktik pelecehan dan kekerasan seksual. Asusila dan amoralitas terjadi di lembaga pengajar susila dan moralitas.
Dia menambahkan, harus ada kebijakan pemerintah yang bersendikan pada Pancasila, UUD 1945, dan UU Pendidikan: yaitu Indonesia sebagai bangsa religius, percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, yang menjaga moral etik, tetapi rakyatnya harus pinter, cerdas, inovatif, mandiri, dan cinta Tanah Air.
Menurutnya, Permendikbudristek Nomor 30/2021 oleh sebagian masyarakat ditafsirkan mengusung nilai liberalisme-sekulerisme (libsek). Jauh dari nilai Pancasila, UUD 1945, dan spirit UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
"Mengapa begitu? Begini ya penjelasannya. Paradigma seks bebas yang berbasis persetujuan (sexual-consent), yaitu standar dan pedoman benar dan salah dari aktivitas seksual tidak didasarkan pada nilai-nilai dan ajaran agama, melainkan dari persetujuan para pihak. Jika tidak ada pemaksaan, sudah dewasa, & ada persetujuan, maka aktivitas seksual diperbolehkan meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Suka sama suka. Senang sama senang. Lalu, sah. Ini kan sama saja Permendikbudristek
melegalisasi free sex di kampus," demikian dikutip dari utas akun Twitter @vivayogamauladi, Senin (15/11/2021). Yoga mempersilakan SINDOnews mengutip utas tersebut.
Wakil Ketua Umum DPP PAN ini menambahkan, paradigma berpikir libsek ini lazim diterapkan di negara liberal, yang memiliki sejarah, budaya, nilai sosial, dan karakter masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.
"Indonesia bukan negara libsek ya. Tapi negara religius. Mempertahankan adat dan budaya timur, yg religius, beretika itu bukan tindakan primitif, kuno, atau ketinggalan zaman. Tapi hal itu adalah menunaikan amanat Pancasila, Konstitusi, UU, dan jiwa rakyat Indonesia. Modernitas harus dibangun di atas moralitas bangsa. Tidak lalu menjadi westernized. Jadi, tolong ya direvisi," jelas Yoga yang juga Presidium Majelis Nasional KAHMI.
Menurut Yoga, lembaga pendidikan, kampus, sumbernya ilmu pengetahuan, kebajikan, dan kemanusiaan, tidak bersih dari praktik pelecehan dan kekerasan seksual. Asusila dan amoralitas terjadi di lembaga pengajar susila dan moralitas.
Dia menambahkan, harus ada kebijakan pemerintah yang bersendikan pada Pancasila, UUD 1945, dan UU Pendidikan: yaitu Indonesia sebagai bangsa religius, percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, yang menjaga moral etik, tetapi rakyatnya harus pinter, cerdas, inovatif, mandiri, dan cinta Tanah Air.
Menurutnya, Permendikbudristek Nomor 30/2021 oleh sebagian masyarakat ditafsirkan mengusung nilai liberalisme-sekulerisme (libsek). Jauh dari nilai Pancasila, UUD 1945, dan spirit UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
"Mengapa begitu? Begini ya penjelasannya. Paradigma seks bebas yang berbasis persetujuan (sexual-consent), yaitu standar dan pedoman benar dan salah dari aktivitas seksual tidak didasarkan pada nilai-nilai dan ajaran agama, melainkan dari persetujuan para pihak. Jika tidak ada pemaksaan, sudah dewasa, & ada persetujuan, maka aktivitas seksual diperbolehkan meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Suka sama suka. Senang sama senang. Lalu, sah. Ini kan sama saja Permendikbudristek
melegalisasi free sex di kampus," demikian dikutip dari utas akun Twitter @vivayogamauladi, Senin (15/11/2021). Yoga mempersilakan SINDOnews mengutip utas tersebut.
Wakil Ketua Umum DPP PAN ini menambahkan, paradigma berpikir libsek ini lazim diterapkan di negara liberal, yang memiliki sejarah, budaya, nilai sosial, dan karakter masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.
"Indonesia bukan negara libsek ya. Tapi negara religius. Mempertahankan adat dan budaya timur, yg religius, beretika itu bukan tindakan primitif, kuno, atau ketinggalan zaman. Tapi hal itu adalah menunaikan amanat Pancasila, Konstitusi, UU, dan jiwa rakyat Indonesia. Modernitas harus dibangun di atas moralitas bangsa. Tidak lalu menjadi westernized. Jadi, tolong ya direvisi," jelas Yoga yang juga Presidium Majelis Nasional KAHMI.
(zik)