Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, RUU PKS Mendesak Disahkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hingga saat ini permasalahan kekerasan seksual masih marak terjadi namun belum memiliki payung hukum yang jelas. Hal ini dikatakan Wakil Ketua Komisi III DPR RI asal Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni. Baca juga: Cak Imin Desak RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disahkan
Ahmad Sahroni pun memberikan tanggapan tentang terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Permen tersebut dinilai sejumlah pihak melegalkan zina dan menjadi celah seks bebas karena terdapat frasa 'tanpa persetujuan korban' pada Pasal 5 Ayat (2) Huruf L dan M. Meski begitu, banyak pihak yang menilai aturan ini sangat dibutuhkan mengingat tingginya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Saya menilai bahwa ini sangat baik, karena merupakan jawaban dari keresahan mahasiswa hingga dosen. Perihal masih maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dan ketiadaan hukum yang jelas terkait penanganan kekerasan seksual tersebut," kata Ahmad Sahroni, Jumar (12/11/2021).
Ditegaskan Sahroni, dirinya mendukung aturan ini, karena memang dibutuhkan para korban untuk membela diri. Apalagi diketahui, hasil survei oleh Mendikbud Ristek di tahun 2019, kekerasan seksual di kampus ini terbanyak ketiga setelah di jalanan dan transportasi umum.
"Jadi memang urgensinya sangat mendesak. Sebelum RUU PKS disahkan, ya Permen ini diharapkan bisa memberi perlindungan hukum yang dibutuhkan," ujarnya.
Kemudian, Sahroni juga menampik pandangan yang menyebut bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini memiliki pasal yang terkesan melegalkan seks bebas. Menurutnya hal itu tak tepat, mengingat dalam aturan lanjutan ada penjelasan tentang 'tanpa persetujuan korban' dengan lebih mendetail.
"Kalau yang dipermasalahkan terdapat frasa 'tanpa persetujuan korban' menurut saya hanya mispersepsi saja, karena kan selanjutnya ada penjelasan lebih detail soal apa saja sih, persetujuan korban itu maksudnya," jelasnya.
"Jadi saya rasa kurang tepat jika dianggap melegalkan seks bebas. Karena kan sebetulnya sudah dijelaskan pada pasal selanjutnya, bahwa persetujuan korban yang dimaksud adalah yang dianggap sah oleh hukum, ada itu poin-poinnya," tutupnya.
Ahmad Sahroni pun memberikan tanggapan tentang terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Permen tersebut dinilai sejumlah pihak melegalkan zina dan menjadi celah seks bebas karena terdapat frasa 'tanpa persetujuan korban' pada Pasal 5 Ayat (2) Huruf L dan M. Meski begitu, banyak pihak yang menilai aturan ini sangat dibutuhkan mengingat tingginya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Saya menilai bahwa ini sangat baik, karena merupakan jawaban dari keresahan mahasiswa hingga dosen. Perihal masih maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dan ketiadaan hukum yang jelas terkait penanganan kekerasan seksual tersebut," kata Ahmad Sahroni, Jumar (12/11/2021).
Ditegaskan Sahroni, dirinya mendukung aturan ini, karena memang dibutuhkan para korban untuk membela diri. Apalagi diketahui, hasil survei oleh Mendikbud Ristek di tahun 2019, kekerasan seksual di kampus ini terbanyak ketiga setelah di jalanan dan transportasi umum.
"Jadi memang urgensinya sangat mendesak. Sebelum RUU PKS disahkan, ya Permen ini diharapkan bisa memberi perlindungan hukum yang dibutuhkan," ujarnya.
Kemudian, Sahroni juga menampik pandangan yang menyebut bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini memiliki pasal yang terkesan melegalkan seks bebas. Menurutnya hal itu tak tepat, mengingat dalam aturan lanjutan ada penjelasan tentang 'tanpa persetujuan korban' dengan lebih mendetail.
"Kalau yang dipermasalahkan terdapat frasa 'tanpa persetujuan korban' menurut saya hanya mispersepsi saja, karena kan selanjutnya ada penjelasan lebih detail soal apa saja sih, persetujuan korban itu maksudnya," jelasnya.
"Jadi saya rasa kurang tepat jika dianggap melegalkan seks bebas. Karena kan sebetulnya sudah dijelaskan pada pasal selanjutnya, bahwa persetujuan korban yang dimaksud adalah yang dianggap sah oleh hukum, ada itu poin-poinnya," tutupnya.
(maf)