Jokowi dan Climate Super Power
loading...
A
A
A
Salamuddin Daeng
Ketua Dewan Pakar Transisi Energi
Banyak yang menilai perundingan perubahan iklim sebetulnya telah gagal. Padahal perundingan negara tentang masalah ini menjadi kesepakatan utama dalam berbagai pertemuan multilateral seperti G7, G20, termasuk pertemuan UNFCCC tentang climate change yakni COP 21 Paris.
Mengapa gagal? Karena sampai hari ini belum ada hasil apapun yang berarti dalam mengatasi kerusakan lingkungan global, polusi dan pemanasan global.
Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi! Di tangan kepemimpinan Joko Widodo, Indonesia di G20 dan kepemimpinan Indonesia dalam COP 26 di Glasgow Scotlandia, tampaknya komitmen dunia akan segera menjadi kenyataan, baik dalam hal pendanan, program dan pelaksanaan agenda penurunan emisi secara global dan mengatasi kerusakan lingkungan hidup.
Mengapa? Indonesia telah mendapat julukan climate super power. Dengan demikian Indonesia dengan kepemimpinan Jokowi di G20 dan COP 26 akan mengambil peran utama dan terdepan dalam menyukseskan agenda COP 26.
Di masa lalu Indonesia memang kurang perhatian atas masalah ini, cenderung menganggap diri sebagai objek dari perundingan Internasional. Sekarang Indonesia subjek, bahkan penentu bagi perubahan dunia kepada lingkungan hidup yang lebih baik.
Memang di antara elite Indonesia masih tersisa pikiran traumatik dan apriori atas masalah iklim. Merasa dijadikan objek, merasa sebagai negara berkembang dan miskin. Sehingga mengambil posisi sama dengan negara negara yang selama ini menjadi kontributor utama emisi global seperti China dan India.
Padahal tidak harus membebek kepada negara negara itu, namun mengambil sikap sendiri sebagai pemimpin. Bukankah Jokowi sudah mengatakan Indonesia negara besar dan tak mau lagi duduk di barisan belakang dalam perjamuan global?
Dana Besar di Depan Mata
Sebuah laporan baru-baru ini dari kepresidenan COP26 menunjukkan bahwa dunia akan memenuhi berbagai target ini sampai 2023. Dunia juga akan menyetujui mobilisasi uang dari lembaga keuangan, terutama bank pembangunan, untuk mengisi kesenjangan dan mendanai pemulihan hijau global.
Dunia telah menyediakan dana besar untuk atasi perubahan iklim. Dana itu dikontribusikan oleh anggota negara kaya dari G20 sendiri. Nilainya sebesar USD100 miliar yang akan dicairkan setiap tahun dan akan dimulai tahun depan.
Ketua Dewan Pakar Transisi Energi
Banyak yang menilai perundingan perubahan iklim sebetulnya telah gagal. Padahal perundingan negara tentang masalah ini menjadi kesepakatan utama dalam berbagai pertemuan multilateral seperti G7, G20, termasuk pertemuan UNFCCC tentang climate change yakni COP 21 Paris.
Mengapa gagal? Karena sampai hari ini belum ada hasil apapun yang berarti dalam mengatasi kerusakan lingkungan global, polusi dan pemanasan global.
Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi! Di tangan kepemimpinan Joko Widodo, Indonesia di G20 dan kepemimpinan Indonesia dalam COP 26 di Glasgow Scotlandia, tampaknya komitmen dunia akan segera menjadi kenyataan, baik dalam hal pendanan, program dan pelaksanaan agenda penurunan emisi secara global dan mengatasi kerusakan lingkungan hidup.
Mengapa? Indonesia telah mendapat julukan climate super power. Dengan demikian Indonesia dengan kepemimpinan Jokowi di G20 dan COP 26 akan mengambil peran utama dan terdepan dalam menyukseskan agenda COP 26.
Di masa lalu Indonesia memang kurang perhatian atas masalah ini, cenderung menganggap diri sebagai objek dari perundingan Internasional. Sekarang Indonesia subjek, bahkan penentu bagi perubahan dunia kepada lingkungan hidup yang lebih baik.
Memang di antara elite Indonesia masih tersisa pikiran traumatik dan apriori atas masalah iklim. Merasa dijadikan objek, merasa sebagai negara berkembang dan miskin. Sehingga mengambil posisi sama dengan negara negara yang selama ini menjadi kontributor utama emisi global seperti China dan India.
Padahal tidak harus membebek kepada negara negara itu, namun mengambil sikap sendiri sebagai pemimpin. Bukankah Jokowi sudah mengatakan Indonesia negara besar dan tak mau lagi duduk di barisan belakang dalam perjamuan global?
Dana Besar di Depan Mata
Sebuah laporan baru-baru ini dari kepresidenan COP26 menunjukkan bahwa dunia akan memenuhi berbagai target ini sampai 2023. Dunia juga akan menyetujui mobilisasi uang dari lembaga keuangan, terutama bank pembangunan, untuk mengisi kesenjangan dan mendanai pemulihan hijau global.
Dunia telah menyediakan dana besar untuk atasi perubahan iklim. Dana itu dikontribusikan oleh anggota negara kaya dari G20 sendiri. Nilainya sebesar USD100 miliar yang akan dicairkan setiap tahun dan akan dimulai tahun depan.