Energi Bersih Jadi Pokok Bahasan di G20
loading...
A
A
A
Isu energi bersih menjadi salah satu pembahasan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, akhir pekan lalu. Dalam ajang tahunan tersebut negara-negara yang merupakan 20 besar ekonomi terkaya di dunia itu membahas pentingnya dunia yang lebih bersih dari emisi.
Seperti dilansir Reuters, pada pertemuan puncak G20 akhir pekan lalu, pimpinan G20 Italia melalui Perdana Menteri Mario Draghi menyatakan negara-negara di dunia harus mempercepat penghapusan batu bara dan berinvestasi lebih banyak dalam energi terbarukan.
Menurut Draghi, keputusan yang diambil kami tersebut akan berdampak langsung pada keberhasilan KTT Iklim di Glasgow pada awal November ini. Menurutnya, konsensus tersebut juga akan mendorong kemampuan negara-negara G20 dalam upaya mengatasi krisis iklim.
Selain menghapus batu bara dari daftar sumber energi primer secara bertahap, G20 juga mendorong ada investasi yang lebih banyak di energi terbarukan (EBT). Meski demikian, G20 juga mengamanatkan agar otoritas pemerintahan memastikan untuk dapat menggunakan sumber daya yang tersedia dengan bijak.
Apa yang disampaikan oleh Draghi yang mewakili kelompok G20 menjadi pengingat bagi negara-negara yang selama ini mengandalkan batu bara sebagai bahan baku energi. Maklum, sudah lama batu bara dianggap sebagai biang kerok meningkatnya emisi gas buang di tataran global. Kendati demikian, opini tersebut sebenarnya masih bisa diperdebatkan mengingat sumber emisi tidak juga datang dari sektor kehutanan, industri, dan lainnya.
Bahkan, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, sektor energi menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 453,2 juta ton CO2, di bawah sektor kehutanan yang sebesar 647 juta ton CO2.
Pemerintah telah menargetkan akan menurunkan emisi GRK sektor energi menjadi sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030. Beberapa strategi dilakukan di antaranya dengan mengembangkan EBT, konservasi energi, dan penerapan teknologi bersih.
Dari sisi pasokan, saat ini bauran energi nasional masih didominasi oleh bahan bakar fosil yakni batu bara yang di antaranya untuk menyuplai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan porsi 38%, kemudian minyak bumi (31,6%), EBT (11,2%), dan gas alam (19,2%).
Nah, dengan komposisi bauran energi seperti di atas, maka “bola” kini ada di pemerintah. Bagaimanapun, batu bara sampai saat ini masih menjadi andalan untuk memproduksi listrik nasional karena secara keekonomian mampu berkontribusi pada biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang rendah dibanding sumber listrik dari EBT.
Selain itu, pasokan batu bara yang melimpah juga bisa menjadi pertimbangan bagaimana komoditas ini bisa menjadi andalan untuk menggerakkan perekonomian. Jika dianggap sebagai sumber emisi, maka harus dicarikan teknologi yang bisa memungkinkan proses pembangkitan listrik dari batu bara dengan emisi yang seminimal mungkin.
Seperti dilansir Reuters, pada pertemuan puncak G20 akhir pekan lalu, pimpinan G20 Italia melalui Perdana Menteri Mario Draghi menyatakan negara-negara di dunia harus mempercepat penghapusan batu bara dan berinvestasi lebih banyak dalam energi terbarukan.
Menurut Draghi, keputusan yang diambil kami tersebut akan berdampak langsung pada keberhasilan KTT Iklim di Glasgow pada awal November ini. Menurutnya, konsensus tersebut juga akan mendorong kemampuan negara-negara G20 dalam upaya mengatasi krisis iklim.
Selain menghapus batu bara dari daftar sumber energi primer secara bertahap, G20 juga mendorong ada investasi yang lebih banyak di energi terbarukan (EBT). Meski demikian, G20 juga mengamanatkan agar otoritas pemerintahan memastikan untuk dapat menggunakan sumber daya yang tersedia dengan bijak.
Apa yang disampaikan oleh Draghi yang mewakili kelompok G20 menjadi pengingat bagi negara-negara yang selama ini mengandalkan batu bara sebagai bahan baku energi. Maklum, sudah lama batu bara dianggap sebagai biang kerok meningkatnya emisi gas buang di tataran global. Kendati demikian, opini tersebut sebenarnya masih bisa diperdebatkan mengingat sumber emisi tidak juga datang dari sektor kehutanan, industri, dan lainnya.
Bahkan, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, sektor energi menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 453,2 juta ton CO2, di bawah sektor kehutanan yang sebesar 647 juta ton CO2.
Pemerintah telah menargetkan akan menurunkan emisi GRK sektor energi menjadi sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030. Beberapa strategi dilakukan di antaranya dengan mengembangkan EBT, konservasi energi, dan penerapan teknologi bersih.
Dari sisi pasokan, saat ini bauran energi nasional masih didominasi oleh bahan bakar fosil yakni batu bara yang di antaranya untuk menyuplai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan porsi 38%, kemudian minyak bumi (31,6%), EBT (11,2%), dan gas alam (19,2%).
Nah, dengan komposisi bauran energi seperti di atas, maka “bola” kini ada di pemerintah. Bagaimanapun, batu bara sampai saat ini masih menjadi andalan untuk memproduksi listrik nasional karena secara keekonomian mampu berkontribusi pada biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang rendah dibanding sumber listrik dari EBT.
Selain itu, pasokan batu bara yang melimpah juga bisa menjadi pertimbangan bagaimana komoditas ini bisa menjadi andalan untuk menggerakkan perekonomian. Jika dianggap sebagai sumber emisi, maka harus dicarikan teknologi yang bisa memungkinkan proses pembangkitan listrik dari batu bara dengan emisi yang seminimal mungkin.