Environmental Institute: Indonesia Harus Beralih ke Energi Bersih
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia sudah saatnya beralih ke energi bersih. Transisi energi sangat penting mengingat batas kenaikan suhu global saat ini mencapai 1,5 derajat. Bahkan persoalan ini menjadi isu penting setelah Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia.
Hal itu terungkap dalam seminar nasional perubahan iklim bertajuk “Transisi Energi Berkelanjutan” yang diselenggarakan Environmental Institute bersama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU), pada Rabu (30/8/2023).
Founder Environmental Institute Mahawan Karuniasa menyatakan produksi karbon dioksida dunia mencapai rekor pada 2022 dibandingkan volume yang dihasilkan sejak 1900.
Peningkatan tersebut tak lepas dari pulihnya aktivitas masyarakat, industri, hingga transportasi pascapandemi Covid-19 dan lebih banyak kota beralih ke batu bara sebagai sumber listrik berbiaya rendah
“Sektor energi merupakan penyumbang terbesar emisi karbon. Angkanya mencapai 37,5 miliar ton. Penyumbang emisi lainnya berasal dari lahan, limbah, juga perhutanan. Dari sektor energi, penyumbang emisi terbesar berasal dari pembangkit listrik, industri, transportasi dan lainnya," katanya.
Mahawan menyebut, karbon dioksida dilepaskan ketika bahan bakar fosil seperti minyak, batu bara, atau gas alam digunakan sebagai bahan bakar mobil dan pesawat, serta untuk konsumsi rumah tangga, dan pabrik. "Ketika gas memasuki atmosfer, maka karbon-karbon itu memerangkap panas sehingga mempengaruhi pemanasan iklim," katanya.
Peristiwa cuaca ekstrem meningkatkan emisi karbon dioksida pada tahun lalu. Menurut Mahawan, peristiwa tersebut di antaranya bencana kekeringan yang mengurangi debit air yang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan gelombang panas. Kedua hal tersebut mendorong meningkatkan kebutuhan energi fosil.
“Data-data ilmu pengetahuan dan penelitian menunjukkan pengembangan energi mikro hydro bisa mengurangi emisi dan akan mengurangi bencana hidro meteorologi di Indonesia. Pembangunan PLTA menjadi kontributor penting bagi energi hijau sekaligus mengurangi emisi," ucapnya.
Hal itu terungkap dalam seminar nasional perubahan iklim bertajuk “Transisi Energi Berkelanjutan” yang diselenggarakan Environmental Institute bersama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU), pada Rabu (30/8/2023).
Founder Environmental Institute Mahawan Karuniasa menyatakan produksi karbon dioksida dunia mencapai rekor pada 2022 dibandingkan volume yang dihasilkan sejak 1900.
Peningkatan tersebut tak lepas dari pulihnya aktivitas masyarakat, industri, hingga transportasi pascapandemi Covid-19 dan lebih banyak kota beralih ke batu bara sebagai sumber listrik berbiaya rendah
“Sektor energi merupakan penyumbang terbesar emisi karbon. Angkanya mencapai 37,5 miliar ton. Penyumbang emisi lainnya berasal dari lahan, limbah, juga perhutanan. Dari sektor energi, penyumbang emisi terbesar berasal dari pembangkit listrik, industri, transportasi dan lainnya," katanya.
Mahawan menyebut, karbon dioksida dilepaskan ketika bahan bakar fosil seperti minyak, batu bara, atau gas alam digunakan sebagai bahan bakar mobil dan pesawat, serta untuk konsumsi rumah tangga, dan pabrik. "Ketika gas memasuki atmosfer, maka karbon-karbon itu memerangkap panas sehingga mempengaruhi pemanasan iklim," katanya.
Peristiwa cuaca ekstrem meningkatkan emisi karbon dioksida pada tahun lalu. Menurut Mahawan, peristiwa tersebut di antaranya bencana kekeringan yang mengurangi debit air yang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan gelombang panas. Kedua hal tersebut mendorong meningkatkan kebutuhan energi fosil.
“Data-data ilmu pengetahuan dan penelitian menunjukkan pengembangan energi mikro hydro bisa mengurangi emisi dan akan mengurangi bencana hidro meteorologi di Indonesia. Pembangunan PLTA menjadi kontributor penting bagi energi hijau sekaligus mengurangi emisi," ucapnya.
(cip)