Menyoal Keterbukaan China

Rabu, 22 April 2020 - 06:14 WIB
loading...
Menyoal Keterbukaan...
Dinna Prapto Raharja, Ph.D. Foto/Istimewa
A A A
Dinna Prapto Raharja, Ph.D
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional

Seiiring dengan semakin menurunnya jumlah warga yang terinfeksi virus corona (Covid-19) maka semakin besar juga tekanan kepada China untuk membuka selebar-lebarnya informasi tentang wabah yang pertama kali merebak di Kota Wuhan itu.

Tekanan ini wajar karena para pemimpin di beberapa negara menghadapi pertanyaan besar tentang apa syarat bahwa wabah ini dinyatakan telah berakhir? Apakah menurunnya kasus baru sudah dapat dianggap sebagai keadaan sudah kembali normal? Namun bagaimana dengan orang yang sudah sembuh, apakah mereka masih bisa kembali terinfeksi? Apakah mereka bisa tetap menjadi carrier bagi kelompok-kelompok yang rentan seperti lansia, balita dan kelompok orang yang memiliki penyakit bawaan? Apakah cukup jika diambil kesimpulan dari penilaian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saja?

Banyak pertanyaan dari ahli epidemologis di seluruh dunia yang masih belum dijawab karena mereka masih belum memahami kapan, siapa dan bagaimana wabah ini terjadi pada awalnya? Secara politik dan ekonomi, penduduk beberapa negara yang mengalami karantina wilayah, juga sudah mulai melakukan protes dan unjuk rasa menuntut dinormalisasinya kehidupan sosial dan ekonomi karena mereka sudah kehabisan uang.

Sebagian warga di beberapa negara bagian di Amerika Serikat (AS), terutama dari kelompok kanan yang menjadi pendukung Trump, melakukan mobilisasi dengan menggunakan senjata laras panjang menuntut gubernur mereka untuk mencabut karantina wilayah. Hal ini juga terjadi di Kanada, Brasil, Kolumbia dan negara-negara lainnya.

Apakah dunia bisa menekan China?

Para ahli epidemologis di dunia dan pemimpin negara masih meragukan bahwa China benar-benar jujur dalam menginformasikan wabah Covid-19 ini. Mereka juga ragu terhadap netralitas WHO yang dianggap tidak benar-benar kritis menjalankan pemantauan terkait wabah ini di China. WHO mengunjungi China, atau dengan pengertian lain baru diizinkan datang berkunjung, di tanggal 10 Februari di saat jumlah warga yang terpapar virus sudah mencapai 40.000 orang. Artinya WHO sendiri tidak cepat datang menginvestigasi kasus ini. Mereka juga menganggap WHO terlalu berlebihan dalam memuji China dalam menangani kasus wabah ini.

Sebuah video investigasi di dunia maya yang viral dari Wayne Dupree mendokumentasikan dan menginvestigasi asal wabah ini di China. Ia menemukan bahwa beberapa penelitian dari peneliti China telah mengungkapkan kasus-kasus yang mirip dengan gejala Covid-19 ini telah terjadi di pertengahan 2019, jauh sebelum wabah ini meledak pada Januari 2020. Ia juga mengungkapkan keheranan dari ahli virus tentang bagaimana mutasi virus ini sehingga dapat membentuk corona sedemikian rupa sehingga dapat masuk ke tubuh manusia dengan begitu mudah. Beberapa ahli mengatakan hal itu sangat sulit terjadi secara alamiah dan cepat kecuali direkayasa dalam sebuah laboratorium.

Pemerintah Daerah di Kota Wuhan sendiri mengatakan. minggu lalu telah memperbaharui data jumlah warga mereka yang meninggal menjadi 4.600 dari 3.898 orang. Angka warga yang terinfeksi juga meningkat 50% dari angka yang dilaporkan sebelumnya. China mengatakan pembaharuan data ini disebabkan karena data yang terkumpul dari orang-orang yang meninggal baru masuk.

Beberapa kasus kematian ditambahkan karena ada kematian di rumah sakit yang belum didaftarkan di sistem informasi pengendalian penyakit dan beberapa kasus telah dilaporkan terlambat atau tidak dilaporkan sama sekali oleh beberapa lembaga medis. WHO sendiri mengatakan bahwa pembaharuan data ini wajar dan bisa terjadi di semua negara.

Meskipun China telah memperbaiki data mereka, beberapa kepala negara masih bersikap skeptis. Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam wawancara dengan Financial Times Inggris mengatakan, “there are clearly things that have happened that we don’t know about” (“jelaslah ada hal-hal yang terjadi yang tidak kita ketahui”). Sikap yang lebih persuasif dan diplomatis ditunjukkan oleh Kanselir Jerman Angela Merkel yang menyerukan bahwa dunia akan belajar lebih banyak dari China apabila China lebih transparan tentang asal mula virus.

Saya melihat bahwa tekanan-tekanan kepada China ini akan semakin besar dengan menjelang menurunnya kasus-kasus baru di beberapa negara namun saya juga tidak yakin apakah tekanan itu akan membuka ruang transparansi yang lebih lebar dari pemerintah China. Alasannya, karena setelah krisis wabah Covid 19 ini berakhir, dunia akan menghadapi krisis ekonomi yang membutuhkan pemulihan yang cepat. Pemulihan ini secara sederhana adalah mengisi kembali uang negara yang sudah dihabiskan sebagian besar untuk menyelesaikan wabah ini dan juga kerugian-kerugian lain akibat terhentinya proses produksi. Beberapa negara, seperti Indonesia, mungkin juga perlu mengatur kembali jadwal pembayaran utangnya selain juga mungkin membutuhkan pinjaman baru. China sebagai salah satu negara yang memiliki likuiditas keuangan terbesar di dunia tergolong masih kuat dan menjadi tempat bagi negara-negara lain sebagai dewa penyelamat.

Ketergantungan ekonomi negara-negara terhadap China dapat mengkompromikan tekanan mereka untuk mencari kebenaran di balik wabah yang telah menyebabkan kematian lebih dari 170.000 orang lebih dan menginfeksi 2,5 juta manusia.
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1412 seconds (0.1#10.140)