Cermati Dulu Kondisinya, Daerah Jangan Buru-buru Terapkan New Normal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Era tatanan baru atau new normal harus disikapi dengan hati-hati. Khusus pemerintah daerah diminta tidak perlu terburu-buru menerapkan kebijakan tersebut meski pemerintah pusat sudah memulai langkah menuju era kelaziman baru tersebut.
Pemerintah daerah perlu mencermati kondisi real daerahnya. Jika memang penularan Covid-19 masih menjadi ancaman dan penularan masih terus terjadi, kebijakan pembatasan sosial harus tetap dilanjutkan.
Data yang dingkap Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, daerah di Indonesia yang masuk kategori zona hijau sebanyak 102 kabupaten/kota. Hanya daerah ini yang diperkenankan untuk melonggarkan pembatasan.
“Saya pikir kita membutuhkan masa transisi terlebih dulu sebelum masuk ke new normal. Kalau langsung dijalankan, saya rasa itu terlalu cepat,” kata Direktur Eksekutif Robert Endi Jaweng, kemarin.
Dia mengingatkan bahwa pemerintah pusat harus melihat berbagai indikator sebelum memutuskan suatu daerah dapat menjalankan new normal. Menurutnya hal ini tidak bisa diputuskan hanya dengan pertimbangan epidemologinya saja. Seperti diketahui syarat untuk menerapkan normal baru jika daya penularan suatu daerah di bawah 1. (Baca: Gatot Nurmantyo: Perlakukan Adil Dan Beradab Siapapun Warga Indonesia)
“Daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu bisa daya tularnya di bawah 1. Tapi 1 orang yang kena di NTT beda sekali maknanya dengan 1 orang yang terkena di Pulau Jawa. Jadi memang harus dilihat lebih dalam lagi,” ungkapnya.
Endi mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah pusat untuk pelaksanaan normal baru di daerah. Pertama adalah sistem layanan kesehatannya harus siap. Baik dalam infrastrukturnya, rumah sakitnya maupun anggaran.
“Kedua adalah masalah efektivitas pemerintah daerahnya. Ini harus dilihat benar apakah pemda ini mampu bekerja. Bukan saja menjalankan program pusat tapi harus inovatif. Seperti Bali dan Jateng. Mereka tidak ada perdebatan PSBB atau engga,” ungkapnya.
Ketiga adalah tingkat adaptasi warga di daerah tersebut. Dia mengatakan bahwa sadar atau tidak, normal baru menempatkan masyarakat di garda depan.
“Ini berkaitan dengan kesiapan masyarakat di daerah tersebut dalam menjalankan kenormalan baru. Dengan protokol-protokol kesehatan. Jika tidak siap akan percuma dan bisa menimbulkan sumber penyebaran baru,” paparnya. (Baca juga: Perketat Protokol New Normal di Perusahaan dengan Tes Serologi Massal)
Dia meminta agar pemerintah pusat selektif dalam memberikan izin pelonggaran kepada pemda. Hal ini sebagaimana usulan pembatasan sosial berhala besar (PSBB) yang harus memenuhi berbagai syarat, hal serupa juga berlaku untuk pelonggaran.
“Tentu keputusan tetap harus di pemerintah pusat. Pemda tidak bisa jalan sendiri. Usulan bisa saja dari pemda tapi pusat yang memutuskan. Seperti PSBB yang cukup sulit prosedurnya, begitu juga pelonggaran. Jangan PSBB sulit, pelonggaran mudah. Ini bisa berbahaya,” tuturnya.
Juru Bicara Pemerintah Penanganan virus Corona (Covid-19), Achmad Yurianto mengatakan new normal di daerah akan disesuaikan dengan hasil kajian epidemologi Gugus Tugas Pusat.
“Pertama kami akan memberikan masukan melalui Gugus Tugas, memberikan masukan kepada pemerintah daerah. Setelah itu kita melakukan kajian tentang aspek epidemiologi penyakit ini (Covid-19) di wilayah itu,” kata Yuri di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta kemarin.
Gugus Tugas juga akan menyampaikan data-data tentang sistem kesehatan yang ada di daerah yang bisa menerapkan new normal. Termasuk juga sistem survailance kesehatan.
“Atas dasar inilah maka kita akan bisa melihat bahwa memang ada beberapa kabupaten/kota di Tanah Air kita yang tidak terdampak Covid-19. Dengan cara inilah yang kemudian semestinya sudah bisa melaksanakan tata kehidupan yang baru,” ungkap Yuri.
New normal lanjut Yuri juga akan menjadi keputusan dari pemerintah daerah untuk menetapkannya. “Tentu ini harus menjadi keputusan pemerintah daerah. Sudah menjadi keputusan yang diambil bersama-sama dengan seluruh pemangku kepentingan, seluruh pihak yang terkait dan seluruh tokoh yang ada di kabupaten/kota tersebut,” kata dia. (Lihat Videonya: Sembuh dari Corona, Satu Keluarga Ucapkan Terima Kasih ke Tim Medis)
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengkritik pemerintah yang menerapkan kebijakan new normal di tengah pandemi Covid-19. Menurut dia, akibat rencana itu pemda pun menjadi tidak fokus menangani pandemi karena ikut-ikutan kebijakan new normal di daerah masing-masing.
Untuk itu, Mardani meminta kepada pemda untuk fokus terlebih dulu menjalankan kebijakan PSBB serta mencegah persebaran korona di daerah masing-masing. “Baiknya daerah biar fokus PSBB dan menyelesaikan Covid-19,” kata Mardani kemarin.
Kemudian, Mardani pun menyoroti soal keputusan pemerintah melibatkan TNI-Polri untuk mengawal program new normal ini. Pelibatan TNI-Polri disebutnya perlu kehati-hatian.
“Melihat penggunaan Satpol PP seperti yang selama ini dilakukan, ada beberapa yang menimbulkan konflik horizontal. Pastikan semua memahami prosedur dan tetap menggunakan pendekatan yang humanis,” pintanya. (Dita Angga/Binti Mufarida/Kiswondari)
Pemerintah daerah perlu mencermati kondisi real daerahnya. Jika memang penularan Covid-19 masih menjadi ancaman dan penularan masih terus terjadi, kebijakan pembatasan sosial harus tetap dilanjutkan.
Data yang dingkap Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, daerah di Indonesia yang masuk kategori zona hijau sebanyak 102 kabupaten/kota. Hanya daerah ini yang diperkenankan untuk melonggarkan pembatasan.
“Saya pikir kita membutuhkan masa transisi terlebih dulu sebelum masuk ke new normal. Kalau langsung dijalankan, saya rasa itu terlalu cepat,” kata Direktur Eksekutif Robert Endi Jaweng, kemarin.
Dia mengingatkan bahwa pemerintah pusat harus melihat berbagai indikator sebelum memutuskan suatu daerah dapat menjalankan new normal. Menurutnya hal ini tidak bisa diputuskan hanya dengan pertimbangan epidemologinya saja. Seperti diketahui syarat untuk menerapkan normal baru jika daya penularan suatu daerah di bawah 1. (Baca: Gatot Nurmantyo: Perlakukan Adil Dan Beradab Siapapun Warga Indonesia)
“Daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu bisa daya tularnya di bawah 1. Tapi 1 orang yang kena di NTT beda sekali maknanya dengan 1 orang yang terkena di Pulau Jawa. Jadi memang harus dilihat lebih dalam lagi,” ungkapnya.
Endi mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah pusat untuk pelaksanaan normal baru di daerah. Pertama adalah sistem layanan kesehatannya harus siap. Baik dalam infrastrukturnya, rumah sakitnya maupun anggaran.
“Kedua adalah masalah efektivitas pemerintah daerahnya. Ini harus dilihat benar apakah pemda ini mampu bekerja. Bukan saja menjalankan program pusat tapi harus inovatif. Seperti Bali dan Jateng. Mereka tidak ada perdebatan PSBB atau engga,” ungkapnya.
Ketiga adalah tingkat adaptasi warga di daerah tersebut. Dia mengatakan bahwa sadar atau tidak, normal baru menempatkan masyarakat di garda depan.
“Ini berkaitan dengan kesiapan masyarakat di daerah tersebut dalam menjalankan kenormalan baru. Dengan protokol-protokol kesehatan. Jika tidak siap akan percuma dan bisa menimbulkan sumber penyebaran baru,” paparnya. (Baca juga: Perketat Protokol New Normal di Perusahaan dengan Tes Serologi Massal)
Dia meminta agar pemerintah pusat selektif dalam memberikan izin pelonggaran kepada pemda. Hal ini sebagaimana usulan pembatasan sosial berhala besar (PSBB) yang harus memenuhi berbagai syarat, hal serupa juga berlaku untuk pelonggaran.
“Tentu keputusan tetap harus di pemerintah pusat. Pemda tidak bisa jalan sendiri. Usulan bisa saja dari pemda tapi pusat yang memutuskan. Seperti PSBB yang cukup sulit prosedurnya, begitu juga pelonggaran. Jangan PSBB sulit, pelonggaran mudah. Ini bisa berbahaya,” tuturnya.
Juru Bicara Pemerintah Penanganan virus Corona (Covid-19), Achmad Yurianto mengatakan new normal di daerah akan disesuaikan dengan hasil kajian epidemologi Gugus Tugas Pusat.
“Pertama kami akan memberikan masukan melalui Gugus Tugas, memberikan masukan kepada pemerintah daerah. Setelah itu kita melakukan kajian tentang aspek epidemiologi penyakit ini (Covid-19) di wilayah itu,” kata Yuri di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta kemarin.
Gugus Tugas juga akan menyampaikan data-data tentang sistem kesehatan yang ada di daerah yang bisa menerapkan new normal. Termasuk juga sistem survailance kesehatan.
“Atas dasar inilah maka kita akan bisa melihat bahwa memang ada beberapa kabupaten/kota di Tanah Air kita yang tidak terdampak Covid-19. Dengan cara inilah yang kemudian semestinya sudah bisa melaksanakan tata kehidupan yang baru,” ungkap Yuri.
New normal lanjut Yuri juga akan menjadi keputusan dari pemerintah daerah untuk menetapkannya. “Tentu ini harus menjadi keputusan pemerintah daerah. Sudah menjadi keputusan yang diambil bersama-sama dengan seluruh pemangku kepentingan, seluruh pihak yang terkait dan seluruh tokoh yang ada di kabupaten/kota tersebut,” kata dia. (Lihat Videonya: Sembuh dari Corona, Satu Keluarga Ucapkan Terima Kasih ke Tim Medis)
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengkritik pemerintah yang menerapkan kebijakan new normal di tengah pandemi Covid-19. Menurut dia, akibat rencana itu pemda pun menjadi tidak fokus menangani pandemi karena ikut-ikutan kebijakan new normal di daerah masing-masing.
Untuk itu, Mardani meminta kepada pemda untuk fokus terlebih dulu menjalankan kebijakan PSBB serta mencegah persebaran korona di daerah masing-masing. “Baiknya daerah biar fokus PSBB dan menyelesaikan Covid-19,” kata Mardani kemarin.
Kemudian, Mardani pun menyoroti soal keputusan pemerintah melibatkan TNI-Polri untuk mengawal program new normal ini. Pelibatan TNI-Polri disebutnya perlu kehati-hatian.
“Melihat penggunaan Satpol PP seperti yang selama ini dilakukan, ada beberapa yang menimbulkan konflik horizontal. Pastikan semua memahami prosedur dan tetap menggunakan pendekatan yang humanis,” pintanya. (Dita Angga/Binti Mufarida/Kiswondari)
(ysw)