Pengamat Intelijen Pertanyakan Simpatisan KKB Tak Ditangkap, Termasuk Veronica Koman

Jum'at, 24 September 2021 - 07:24 WIB
loading...
Pengamat Intelijen Pertanyakan...
Polisi menempelkan stiker Daftar Pencarian Orang di Pintu keluar masuk Pelabuhan Laut Kota Sorong, Papua Barat, Kamis (16/9/2021). FOTO/ANTARA/Olha Mulalinda
A A A
JAKARTA - Pengamat Intelijen Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib mengatakan, ada 4 hal yang perlu disoroti dalam penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang kini semakin sering menyerang warga sipil Papua.

Pertama, kata Ridlwan, terkait permasalahan gelar pasukan, di mana mekanisme pergerakan pasukan TNI di Papua terkendala dengan beberapa peraturan.

"Sebenarnya wewenang siapa pergerakan pasukan itu sampai ke ranah terdepan? memberantas KKB, teroris ini pertanyaan penting, karena kalau kemudian KKB sudah menjadi teroris, maka kalau kita menggerakkan TNI harus ada payung hukumnya. Saat ini peraturan presiden, TNI mengatasi terorisme itu belum ditandatangani bapak presiden sampai hari ini dan belum di keluarkan perpresnya, sehingga kemudian mekanisme pergerakan pasukan ini nggak bisa leluasa," kata Ridlwan dalam Dialektika Demokrasi yang bertajuk "Jalan Terjal Pemberantasan KKB di Papua" di Media Center DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/9/2021).

Baca juga: 1 Prajurit TNI Gugur Saat Hendak Evakuasi Jenazah Suster Gabriela, Pelakunya KKB Ngalum Kupel

Ridlwan menjelaskan, jika TNI salah salah bertindak, Komisi I bisa memanggil Panglima TNI bahkan Presiden Jokowi karena pergerakan pasukan militer itu adalah keputusan politik pemerintah dan keputusan politik presiden. Sebab, KKB ini sebenarnya kecil, seperti Lekagak Telenggen di Kabupaten Puncak yang estimasinya sekitar 100-150 personel. Namun mereka punya kemampuan bertahan hidup di vegetasi di hutan-hutan Papua yang sangat dalam dan lebat, karena merupakan lingkungannya sejak kecil. Jadi, jika pasukan yang didatangkan berasal dari Jember, Malang atau Bandung, maka akan sulit beradaptasi.

"Untuk memudahkan gelar pasukan misalnya Pangkostrad misalnya Bapak Dudung mau menggerakkan pasukan 1 batalyon dari Bogor, Divisi 1 ke Kabupaten puncak, itu harus ada landasan hukumnya. Karena itu mari kita pertanyakan kenapa Perpres TNI, mengatasi terorisme belum juga keluar," ujarnya.

Kedua, Ridlwan melanjutkan, operasi opini media, khususnya di media sosial yang sangat masif dilakukan oleh KKB. Selama tiga hari terakhir ini ada broadcast WhatsApp dari orang yang mengaku juru bicara TPN/OPM, Sebby Sambom yang berisi memperingatkan bagi siapa pun orang Indonesia yang masih ada di Papua apapun profesinya, tidak keluar dari Papua akan dihabisi. Anehnya, pesan ini justru beredar di Jakarta dan di Papua sendiri terlambat menerima pesan itu.

Baca juga: Komisi I Minta Aparat Tindak Pejabat Daerah yang Diduga Sokong KKB Papua

"Ini berarti ada operasi media sosial yang sangat masif, ada dukungan yang sangat-sangat direncanakan oleh kelompok ini, termasuk juga kita soroti Veronica Koman. Veronica Koman dengan asyiknya dia bisa memainkan Twitter, menggalang opini, tanpa kemudian ada semacam tindakan hukum," katanya.

Ketiga, sambung dia, pendukung KKB di luar Papua cukup banyak, bahkan ada di hampir semua kota-kota besar melalui kelompok-kelompok mahasiswa Papua. Beberapa dari mereka adalah simpatisan dari KKB teroris, termasuk Veronica Koman yang berada di Australia.

Untuk itu, ia mempertanyakan kenapa para simpatisan KKB ini tidak ditangkap, padahal jelas label mereka teroris.

"Permasalahannya kenapa itu tidak ditangkap, padahal dengan label dia sebagai teroris, maka Pasal 13A Udang-Undang 5 Tahun 2018 bisa digunakan. Jadi siapa pun yang turut serta menyebarkan, pemufakatan jahat, mempropagandakan organisasi teroris itu dapat dipidana," kata Ridlwan.

Terakhir, Ridlwan mengatakan, penggalangan tokoh lokal. Beberapa kali muncul adanya oknum pejabat daerah memberikan dukungan dana kepada kelompok-kelompok tersebut, bahkan ada oknum tokoh agama yang ditangkap polisi karena terbukti menyembunyikan anggota KKB. Ini sekaligus bukti bahwa kinerja intelijen di sana perlu dievaluasi.

Karena itu, Ridlwan mempertanyakan langkah pemerintah pusat terhadap Papua, apakah akan terus terbawa propaganda KKB? Apakah benar bahwa warga Papua ingin merdeka atau dengan dibangunnya infrastruktur di Papua sebenarnya banyak suara dari orang asli yang juga merasa menjadi bagian NKRI.

"Permasalahannya yang merasa satu bagian ini tertutupi dengan propaganda kampanye yang masif, operasi media sosial, bahkan kemungkinan besar dibantu oleh intelijen asing dari kelompok-kelompok KKB teroris di situ. Berarti harus ada Kominfo yang harus terlibat, ada BIN di situ, mungkin yang bisa menanyakan ini tentu anggota DPR, yang punya mitra kerja dengan pemerintah," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0969 seconds (0.1#10.140)