Wacana Pelabelan AMDK Plastik Bebas BPA oleh BPOM Dipertanyakan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) dikabarkan bakal mengeluarkan kebijakan soal pelabelan air minum dalam kemasan (AMDK) plastik yang mengandung BPA . BPOM akan mewajibkan kemasan galon Polikarbonat (PC) yang mengandung BPA untuk mencantumkan keterangan "Bebas BPA dan turunannya" atau "Lolos Batas BPA" atau kata semakna.
Kabar ini disampaikan Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Sutopo, Rabu (15/9/2021). Menurut informasi yang ia dapatkan, BPOM telah mengadakan pertemuan dengan sejumlah pihak pada Senin (13/9/2021) di kantornya untuk membicarakan mengenai wacana perubahan batas toleransi migrasi Bisfenol A (BPA) dalam kemasan makanan dan minuman dari sebelumnya 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg) menjadi 0,1 bpj. Pertemuan itu juga membahas mengenai pelabelan AMDK.
"Terus terang saja kami kaget, karena kami tidak diundang pada rapat tersebut," kata Edy.
Baca juga: Bahayakan Ibu Hamil dan Bayi, Komnas PA dan YLKI Dukung Pelabelan Kemasan Plastik Mengandung BPA
Menurutnya, seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu. Misalnya, melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia atau pun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
"Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, di mana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?" ujarnya.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang. "Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengan dampak psikologis masyarakat yang selama ini mengonsumsi kemasan guna ulang?" katanya.
Baca juga: Isu BPA Galon Guna Ulang, Praktisi Media Minta Semua Pihak Berkomunikasi dengan BPOM
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. "Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain," ujarnya.
Desakan label peringatan konsumen pada kemasan galon isi ulang yang mengandung BPA mulai dimunculkan sejak tahun lalu. Pertama kali dilontarkan Perkumpulan Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL). Desakan ini juga bersamaan dengan munculnya air kemasan galon sekali pakai di pasar yang dijual secara masif.
Menanggapi isu tersebut, BPOM mengadakan pertemuan dengan mengundang sejumlah pihak untuk membahasnya. BPOM lalu mengklarifikasi bahwa BPA berbahaya bagi kesehatan apabila terkonsumsi melebihi batas maksimal yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg) sesuai ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
Hasil sampling dan pengujian laboratorium terhadap kemasan galon AMDK jenis polikarbonat yang dilakukan pada 2021, menunjukkan adanya migrasi BPA dari kemasan galon sebesar rata-rata 0,033 bpj. Nilai ini jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan Badan POM, yaitu sebesar 0,6 bpj. Selain itu, Badan POM juga melakukan pengujian cemaran BPA dalam produk AMDK. Hasil uji laboratorium (dengan batas deteksi pengujian sebesar 0,01 bpj) menunjukkan cemaran BPA dalam AMDK tidak terdeteksi.
"Jadi sebuah keanehan, hanya dalam waktu 3 bulan, BPOM membuat lagi wacana baru untuk merevisi lagi apa yang telah mereka tetapkan dalam rilisnya yang disampaikan pada 29 Juni 2021 itu," kata Edy.
Sebelumnya, Kemenperin menegaskan bahwa air kemasan galon baik yang berbahan PET maupun PC aman untuk digunakan oleh industri.
Kabar ini disampaikan Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Sutopo, Rabu (15/9/2021). Menurut informasi yang ia dapatkan, BPOM telah mengadakan pertemuan dengan sejumlah pihak pada Senin (13/9/2021) di kantornya untuk membicarakan mengenai wacana perubahan batas toleransi migrasi Bisfenol A (BPA) dalam kemasan makanan dan minuman dari sebelumnya 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg) menjadi 0,1 bpj. Pertemuan itu juga membahas mengenai pelabelan AMDK.
"Terus terang saja kami kaget, karena kami tidak diundang pada rapat tersebut," kata Edy.
Baca juga: Bahayakan Ibu Hamil dan Bayi, Komnas PA dan YLKI Dukung Pelabelan Kemasan Plastik Mengandung BPA
Menurutnya, seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu. Misalnya, melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia atau pun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
"Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, di mana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?" ujarnya.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang. "Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengan dampak psikologis masyarakat yang selama ini mengonsumsi kemasan guna ulang?" katanya.
Baca juga: Isu BPA Galon Guna Ulang, Praktisi Media Minta Semua Pihak Berkomunikasi dengan BPOM
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. "Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain," ujarnya.
Desakan label peringatan konsumen pada kemasan galon isi ulang yang mengandung BPA mulai dimunculkan sejak tahun lalu. Pertama kali dilontarkan Perkumpulan Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL). Desakan ini juga bersamaan dengan munculnya air kemasan galon sekali pakai di pasar yang dijual secara masif.
Menanggapi isu tersebut, BPOM mengadakan pertemuan dengan mengundang sejumlah pihak untuk membahasnya. BPOM lalu mengklarifikasi bahwa BPA berbahaya bagi kesehatan apabila terkonsumsi melebihi batas maksimal yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg) sesuai ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
Hasil sampling dan pengujian laboratorium terhadap kemasan galon AMDK jenis polikarbonat yang dilakukan pada 2021, menunjukkan adanya migrasi BPA dari kemasan galon sebesar rata-rata 0,033 bpj. Nilai ini jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan Badan POM, yaitu sebesar 0,6 bpj. Selain itu, Badan POM juga melakukan pengujian cemaran BPA dalam produk AMDK. Hasil uji laboratorium (dengan batas deteksi pengujian sebesar 0,01 bpj) menunjukkan cemaran BPA dalam AMDK tidak terdeteksi.
"Jadi sebuah keanehan, hanya dalam waktu 3 bulan, BPOM membuat lagi wacana baru untuk merevisi lagi apa yang telah mereka tetapkan dalam rilisnya yang disampaikan pada 29 Juni 2021 itu," kata Edy.
Sebelumnya, Kemenperin menegaskan bahwa air kemasan galon baik yang berbahan PET maupun PC aman untuk digunakan oleh industri.
(abd)