Vaksin Nusantara (Lagi)

Jum'at, 10 September 2021 - 17:27 WIB
loading...
Vaksin Nusantara (Lagi)
Iqbal Mochtar (Foto: Ist)
A A A
Iqbal Mochtar
Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan kesehatan, Pemerhati Masalah Kesehatan

ISU vaksin Nusantara menyeruak lagi. Padahal isu ini sempat menghilang beberapa bulan setelah pertama kali muncul pada April 2021. Pemicunya adalah pernyataan juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa vaksin ini telah dapat diakses masyarakat. Kontan masyarakat bertanya-tanya. Dikiranya vaksin tersebut kini telah tersedia dan boleh digunakan, seperti vaksin Sinovac, Astra Zeneca, atau Moderna. Bahkan sempat heboh bahwa vaksin ini telah dipesan Turki sebanyak 5 juta unit.

Setidaknya ada lima isu terkait vaksin ini. Pertama, status vaksin Nusantara saat ini masih tahap penelitian. Masih ongoing trial. Belum ada persetujuan penggunaannya pada masyarakat umum. Kasarnya, belum ada approval-nya. Tapi kalau ada masyarakat berminat dan bersedia dijadikan subjek penelitian vaksin ini, ya bisa saja. Silakan. Tapi karena statusnya masih penelitian, maka keterlibatan mereka terbatas sebagai subjek uji coba. Artinya, mereka harus siap menerima semua konsekuensi penelitian; bisa menguntungkan dan bisa berbahaya bagi tubuh. Jadi pernyataan juru bicara Kemenkes perlu diperjelas bahwa memang vaksin ini telah dapat diakses oleh masyarakat tetapi dalam kapasitas subjek uji coba.

Keterlibatan sebagai subjek uji coba vaksin bukan hal istimewa. Di berbagai penelitian, masyarakat memang bebas bila ingin menjadi subjek penelitian. Tidak ada larangan. Sepanjang memenuhi syarat penelitian dan setuju dengan konsekuensinya.

Kedua, sangat absurd menyatakan bahwa vaksin Nusantara ini dapat dikomersilkan seperti vaksin lain. Apalagi mau diimpor. Kenapa? Karena sel dendritik yang digunakan dalam vaksin ini sifatnya autolog. Artinya, sel dendrit diambil dari darah pasien, digabung dengan rekombinan antigen Covid-19, diinkubasi, kemudian dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Prinsipnya, dari seorang pasien dan untuk pasien itu saja. Jadi bahan yang diambil dari seseorang tidak dapat digunakan untuk orang lain. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin bahan yang diambil dari orang Indonesia dapat diekspor dan digunakan pada orang lain? Bagaimana mungkin dapat diimpor?

Ketiga, minim nilai komersial. Beda dengan vaksin lain yang ada saat ini, kalaupun vaksin Nusantara terbukti hasilnya baik, kecil kemungkinan dapat diperjualbelikan seperti vaksin lain yang beredar saat ini. Kalaupun ada, commercial value-nya paling terletak pada transfer of knowledge atau teknologi. Yaitu, kita mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan ke negara lain dan kita mendapat imbalan fulus. Itu pun dengan catatan bahwa negara lain belum paham pengetahuan dan ketrampilan pembuatan ini. Kalau mereka paham, ngapain minta Indonesia mengajarkan?

Keempat, merupakan euforia berlebihan bila menganggap vaksin ini karya anak bangsa. Konsep sel dendritik yang digunakan pada vaksin ini telah dipelajari sejak 1973. Bukan hal baru. Bahkan konsep ini telah diujicobakan terhadap penderita kanker dengan hasil yang belum memuaskan. Terkait efeknya terhadap Covid-19 juga telah pernah diteliti sebuah perusahaan di China. Namanya Celartics Biopharma. Namun, sekarang perusahaan tersebut tidak eksis, entah mengapa. Konsep sel dendritik bagi Covid-19 ini juga diklaim oleh perusahaan-perusahaan Aivita Biomedical Amerika sebagai konsep mereka. Setidaknya, itu yang tersebut di website mereka. Sebagian bahan, alat dan penelitinya juga dari Amerika. Kalau konsep dan bahan yang digunakan bukan punya kita, lantas apa dasarnya menyebutkan ini karya anak bangsa?

Kelima, mesti terdapat sejumlah drawbacks terkait vaksin ini. Kita patut menghargai upaya tim untuk meneliti vaksin ini. Karena ini bagian dari upaya memperbaiki kesehatan dan keselamatan manusia. Siapa tahu nanti hasilnya baik; who knows. Selain itu, dalam dunia ilmiah medis, semua harus didasarkan pada bukti-bukti medis. Berdasar evidence-based medicine. Bukan berdasar suka atau tidak suka. Karena dalam dunia ilmiah medis, batas fakta dan hoaks dipisahkan oleh uji atau bukti klinis.

Terkait dengan keharusan mengedepankan bukti klinis, hendaknya jangan ada exagerating atau over-claim terkait vaksin ini. Baik oleh peneliti maupun anggota masyarakat. Karena kondisi ini sangat memengaruhi masyarakat dan pengambil kebijakan. Jangan sampai penelitian belum masuk fase 3 lantas telah diklaim bahwa vaksin ini bermanfaat seumur hidup. Atau jangan ujug-ujug lempar isu vaksin ini akan dibeli atau diimpor negara lain sementara vaksin ini jenisnya autolog. Kan aneh kedengarannya.

Semua harus disampaikan sebenarnya, apa adanya, tanpa bombastis dan exageration. Karena dalam sebuah tatanan ilmiah dan akademis, apalagi terkait studi strategis, prinsip-prinsip kejujuran, kebenaran dan keadilan harus dijunjung tinggi. Yaitu prinsip-prinsip probitas, veritas, iustitia. Dalam kondisi apapun, semua tatanan ilmiah harus berada dalam koridor probitas, veritas dan iustitia. Bila tidak, nilai-nilai ilmiah dan akademis akan runtuh dan tidak lagi bisa dibedakan antara fakta dan hoaks.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1539 seconds (0.1#10.140)