Melahirkan Guru Pakar
loading...
A
A
A
Dalam hal pelatihan, bukan soal lamanya waktu yang penting, tetapi efektivitasnya. Pelatihan yang lama akan mengganggu kinerja guru. Pelatihan guru bisa dinilai gagal karena tidak melahirkan guru-guru yang pembelajar mandiri atau autodidak. Menurut Daoed Joesoef (2017: 226), yang ada hanya sejumlah penyandang gelar kesarjanaan tanpa semangat ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif.
Guru Kompeten
Hasil belajar mandiri dan terbimbing di atas akan meningkatkan literasi digital dan pengetahuan guru. Literasi digital akan menjadi kebutuhan guru saat ini dan di masa mendatang. Misalnya ia akan menjawab masalah kelangkaan atau kekurangan guru di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Guru-guru di kota bisa mengajar anak-anak daerah 3T tanpa harus datang ke sana. Literasi digital cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia dan literasi digital cocok saat belajar harus tak tatap muka.
Guru-guru yang menguasai literasi digital akan mengajar PJJ sama baiknya dengan mengajar PTM. Pelatihan literasi digital menjadi fenomena baru dan tersedia begitu banyak bagi guru-guru yang mau belajar. Kemauan guru menerapkan metode-metode baru hasil pelatihan menjadi tantangan tersendiri.
Demikian pula seharusnya pengetahuan guru-guru bertambah di era pandemi karena punya kesempatan membaca buku-buku baru dan lama. Bisa jadi selama ini bukunya sekadar pajangan dan berdebu. Guru tak sempat membaca karena harus ke sekolah setiap hari. Energi untuk membaca buku habis di sekolah dan perjalanan.
Pandemi seharusnya berkorelasi positif dengan peningkatan penguasan materi guru. Saat-saat di rumah merupakan saat guru dekat dengan buku-buku yang selama ini mungkin terabaikan. Menurut Hafid Abbas (2019: 43), tingkat penguasaan guru terhadap bidang studi yang diajarkan sangat rendah. Dalam UU Guru dan Dosen Tahun 2005 disebutkan, guru wajib memiliki kualifikasi akademik S-1/ D-4, kompetensi, dan sertifikat pendidik.
Guru Pakar
Guru yang cepat belajar akan bisa menyenangkan siswa, apa pun model pembelajarannya. Guru-guru menjadi kreatif dalam PJJ atau pembelajaran bauran. Alih-alih menyerah pada pandemi, sebagian guru malah menjadi kreatif dan produktif. Inilah guru-guru yang memiliki mindset tumbuh atau berkepribadian climbers.
Menjadi guru yang baik saja tidak cukup. Guru-guru harus berani berubah dari guru baik ke guru hebat. Guru hebat adalah guru yang berkreasi tanpa henti untuk mendampingi belajar anak dengan menyenangkan. Guru yang bisa menyampaikan materi dengan keceriaan dan sukacita, tanpa beban. Suhardono dkk (2016: xxii) menulis “your passion without creation is nothing” dan hasil kreasi guru adalah siswa-siswa yang tumbuh sesuai dengan bakat masing-masing.
Guru harus ingin mencapai tingkat pakar dalam bidangnya. Farid Poniman, Indrawan Nugroho, dan Jamil Azzaini (2018: 56) menulis, dari profesional ke expert. Dia adalah orang yang terus-menerus ingin menambah prestasi dalam profesi. Pada saat yang sama ia terus meningkatkan keahliannya dalam bidang tersebut.
Kepakaran bukan sesuatu yang diperoleh secara instan. Ia merupakan proses panjang dan berliku yang harus dijalani dengan penuh ketekunan, keja keras, kerja cerdas, keikhlasan, dan kesabaran. Itu sebabnya tak banyak guru yang bisa mencapainya. Seorang guru yang membaca buku dan menulis di setiap kesempatan merupakan pemandangan langka. Sebaliknya guru yang berprofesi ganda malah ada banyak.
Maka gerakan guru pembelajar di atas harus didukung oleh kepala sekolah dan pemerintah daerah. Melahirkan guru hebat atau pakar harus menjadi program prioritas pemerintah daerah dan kepala sekolah. Jika ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu daerah, harus meningkatkan mutu guru di daerah tersebut. Guru berkualitas akan tetap menyenangkan siswa dalam model pembelajaran apa pun.
Guru Kompeten
Hasil belajar mandiri dan terbimbing di atas akan meningkatkan literasi digital dan pengetahuan guru. Literasi digital akan menjadi kebutuhan guru saat ini dan di masa mendatang. Misalnya ia akan menjawab masalah kelangkaan atau kekurangan guru di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Guru-guru di kota bisa mengajar anak-anak daerah 3T tanpa harus datang ke sana. Literasi digital cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia dan literasi digital cocok saat belajar harus tak tatap muka.
Guru-guru yang menguasai literasi digital akan mengajar PJJ sama baiknya dengan mengajar PTM. Pelatihan literasi digital menjadi fenomena baru dan tersedia begitu banyak bagi guru-guru yang mau belajar. Kemauan guru menerapkan metode-metode baru hasil pelatihan menjadi tantangan tersendiri.
Demikian pula seharusnya pengetahuan guru-guru bertambah di era pandemi karena punya kesempatan membaca buku-buku baru dan lama. Bisa jadi selama ini bukunya sekadar pajangan dan berdebu. Guru tak sempat membaca karena harus ke sekolah setiap hari. Energi untuk membaca buku habis di sekolah dan perjalanan.
Pandemi seharusnya berkorelasi positif dengan peningkatan penguasan materi guru. Saat-saat di rumah merupakan saat guru dekat dengan buku-buku yang selama ini mungkin terabaikan. Menurut Hafid Abbas (2019: 43), tingkat penguasaan guru terhadap bidang studi yang diajarkan sangat rendah. Dalam UU Guru dan Dosen Tahun 2005 disebutkan, guru wajib memiliki kualifikasi akademik S-1/ D-4, kompetensi, dan sertifikat pendidik.
Guru Pakar
Guru yang cepat belajar akan bisa menyenangkan siswa, apa pun model pembelajarannya. Guru-guru menjadi kreatif dalam PJJ atau pembelajaran bauran. Alih-alih menyerah pada pandemi, sebagian guru malah menjadi kreatif dan produktif. Inilah guru-guru yang memiliki mindset tumbuh atau berkepribadian climbers.
Menjadi guru yang baik saja tidak cukup. Guru-guru harus berani berubah dari guru baik ke guru hebat. Guru hebat adalah guru yang berkreasi tanpa henti untuk mendampingi belajar anak dengan menyenangkan. Guru yang bisa menyampaikan materi dengan keceriaan dan sukacita, tanpa beban. Suhardono dkk (2016: xxii) menulis “your passion without creation is nothing” dan hasil kreasi guru adalah siswa-siswa yang tumbuh sesuai dengan bakat masing-masing.
Guru harus ingin mencapai tingkat pakar dalam bidangnya. Farid Poniman, Indrawan Nugroho, dan Jamil Azzaini (2018: 56) menulis, dari profesional ke expert. Dia adalah orang yang terus-menerus ingin menambah prestasi dalam profesi. Pada saat yang sama ia terus meningkatkan keahliannya dalam bidang tersebut.
Kepakaran bukan sesuatu yang diperoleh secara instan. Ia merupakan proses panjang dan berliku yang harus dijalani dengan penuh ketekunan, keja keras, kerja cerdas, keikhlasan, dan kesabaran. Itu sebabnya tak banyak guru yang bisa mencapainya. Seorang guru yang membaca buku dan menulis di setiap kesempatan merupakan pemandangan langka. Sebaliknya guru yang berprofesi ganda malah ada banyak.
Maka gerakan guru pembelajar di atas harus didukung oleh kepala sekolah dan pemerintah daerah. Melahirkan guru hebat atau pakar harus menjadi program prioritas pemerintah daerah dan kepala sekolah. Jika ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu daerah, harus meningkatkan mutu guru di daerah tersebut. Guru berkualitas akan tetap menyenangkan siswa dalam model pembelajaran apa pun.