Melahirkan Guru Pakar
loading...
A
A
A
Jejen Musfah
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Sekjen Pengurus Besar PGRI
SEBAGIAN sekolah di berbagai daerah di Tanah Air memulai pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas pada Senin, 30 Agustus 2021. Banyak harapan dari pemerintah dan masyarakat bahwa pembukaan sekolah tersebut bisa meningkatkan hasil belajar siswa. Terbukti pembelajaran jarak jauh (PJJ) kurang efektif karena kendala literasi digital, internet, dan laptop.
Solusi atas masalah efektivitas PJJ adalah PTM terbatas atau pembelajaran bauran. Siswa bertemu langsung dengan guru meski hanya dua hari dalam seminggu. Pembelajaran bauran diharapkan meningkatkan hasil belajar siswa secara bertahap.
Apa pun model pembelajaran di era pandemi ini, guru kompeten menjadi kunci efektivitas pembelajaran. Sebaik dan selengkap apa pun fasilitas internet dan laptop, tanpa guru kompeten, hasil belajar akan rendah. Kesiapan guru penting, di samping fasilitas protokol kesehatan di sekolah.
Maka yang diperlukan saat ini adalah lahirnya guru-guru pembelajar sehingga pengetahuan mereka senantiasa terbarukan. Mereka menguasai literasi digital dan memiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Pandemi bukan halangan, tapi kesempatan untuk meningkatkan kapasitas. Carol S Dweck (2019: 9) menulis, semangat untuk mengembangkan diri sekalipun keadaan tidak berjalan dengan baik, merupakan tanda mindset tumbuh.
Guru Pembelajar
Selama pelaksanaan kebijakan belajar dari rumah (BDR), guru punya waktu luang untuk membaca buku, bahkan berkarya. BDR merupakan momen refleksi guru tentang tugasnya. Apakah sudah memberikan yang terbaik bagi siswa? Apakah menjadi guru biasa, guru baik, atau guru hebat? Apakah memahami dengan baik apa yang diajarkan kepada siswa?
Guru bisa memilih belajar mandiri atau belajar terbimbing. Guru belajar mandiri melalui Google, YouTube, atau buku. Bahkan guru bisa belajar dari media sosial. Caranya mengikuti akun-akun pendidikan seperti GTK Kemendukbud-Ristek, GTK Kementerian Agama, atau Perpustakaan Nasional. Adapun belajar terbimbing bisa melalui seminar atau pelatihan, berbayar atau gratis.
Guru harus terbiasa dan menikmati membaca buku. Ciri rumah guru hebat adalah ada koleksi buku-buku baru dan lama. Kecintaannya terhadap buku melebihi kecintaannya pada pakaian. Tung Desem Waringin menulis, membaca adalah sebuah aktivitas yang memulai semua kesuksesan (Raharjo, 2019: 145). Guru yang tidak membaca akan jauh dari kesuksesan.
Saat ini sebagian guru di Indonesia tengah melakukan serangkaian pelatihan melalui program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Ini merupakan upaya pemerintah untuk terpenuhinya pengembangan kompetensi berkelanjutan (PKB) pendidik Indonesia. Program merdeka belajar ini semoga mengubah cara berpikir guru-guru Indonesia.
Di sekolah-sekolah bagus-hebat, pelatihan guru merupakan hal wajib, khususnya di era pandemi yang menuntut keterampilan-keterampilan baru dalam pembelajaran. Mereka tidak mengandalkan program pemerintah untuk meningkatkan kapasitas guru-guru mereka. Ada dana khusus yang mereka siapkan setiap tahun untuk memanggil pakar-pakar pembelajaran dan pendidikan.
Dalam hal pelatihan, bukan soal lamanya waktu yang penting, tetapi efektivitasnya. Pelatihan yang lama akan mengganggu kinerja guru. Pelatihan guru bisa dinilai gagal karena tidak melahirkan guru-guru yang pembelajar mandiri atau autodidak. Menurut Daoed Joesoef (2017: 226), yang ada hanya sejumlah penyandang gelar kesarjanaan tanpa semangat ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif.
Guru Kompeten
Hasil belajar mandiri dan terbimbing di atas akan meningkatkan literasi digital dan pengetahuan guru. Literasi digital akan menjadi kebutuhan guru saat ini dan di masa mendatang. Misalnya ia akan menjawab masalah kelangkaan atau kekurangan guru di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Guru-guru di kota bisa mengajar anak-anak daerah 3T tanpa harus datang ke sana. Literasi digital cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia dan literasi digital cocok saat belajar harus tak tatap muka.
Guru-guru yang menguasai literasi digital akan mengajar PJJ sama baiknya dengan mengajar PTM. Pelatihan literasi digital menjadi fenomena baru dan tersedia begitu banyak bagi guru-guru yang mau belajar. Kemauan guru menerapkan metode-metode baru hasil pelatihan menjadi tantangan tersendiri.
Demikian pula seharusnya pengetahuan guru-guru bertambah di era pandemi karena punya kesempatan membaca buku-buku baru dan lama. Bisa jadi selama ini bukunya sekadar pajangan dan berdebu. Guru tak sempat membaca karena harus ke sekolah setiap hari. Energi untuk membaca buku habis di sekolah dan perjalanan.
Pandemi seharusnya berkorelasi positif dengan peningkatan penguasan materi guru. Saat-saat di rumah merupakan saat guru dekat dengan buku-buku yang selama ini mungkin terabaikan. Menurut Hafid Abbas (2019: 43), tingkat penguasaan guru terhadap bidang studi yang diajarkan sangat rendah. Dalam UU Guru dan Dosen Tahun 2005 disebutkan, guru wajib memiliki kualifikasi akademik S-1/ D-4, kompetensi, dan sertifikat pendidik.
Guru Pakar
Guru yang cepat belajar akan bisa menyenangkan siswa, apa pun model pembelajarannya. Guru-guru menjadi kreatif dalam PJJ atau pembelajaran bauran. Alih-alih menyerah pada pandemi, sebagian guru malah menjadi kreatif dan produktif. Inilah guru-guru yang memiliki mindset tumbuh atau berkepribadian climbers.
Menjadi guru yang baik saja tidak cukup. Guru-guru harus berani berubah dari guru baik ke guru hebat. Guru hebat adalah guru yang berkreasi tanpa henti untuk mendampingi belajar anak dengan menyenangkan. Guru yang bisa menyampaikan materi dengan keceriaan dan sukacita, tanpa beban. Suhardono dkk (2016: xxii) menulis “your passion without creation is nothing” dan hasil kreasi guru adalah siswa-siswa yang tumbuh sesuai dengan bakat masing-masing.
Guru harus ingin mencapai tingkat pakar dalam bidangnya. Farid Poniman, Indrawan Nugroho, dan Jamil Azzaini (2018: 56) menulis, dari profesional ke expert. Dia adalah orang yang terus-menerus ingin menambah prestasi dalam profesi. Pada saat yang sama ia terus meningkatkan keahliannya dalam bidang tersebut.
Kepakaran bukan sesuatu yang diperoleh secara instan. Ia merupakan proses panjang dan berliku yang harus dijalani dengan penuh ketekunan, keja keras, kerja cerdas, keikhlasan, dan kesabaran. Itu sebabnya tak banyak guru yang bisa mencapainya. Seorang guru yang membaca buku dan menulis di setiap kesempatan merupakan pemandangan langka. Sebaliknya guru yang berprofesi ganda malah ada banyak.
Maka gerakan guru pembelajar di atas harus didukung oleh kepala sekolah dan pemerintah daerah. Melahirkan guru hebat atau pakar harus menjadi program prioritas pemerintah daerah dan kepala sekolah. Jika ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu daerah, harus meningkatkan mutu guru di daerah tersebut. Guru berkualitas akan tetap menyenangkan siswa dalam model pembelajaran apa pun.
Semoga kembalinya guru ke sekolah tidak menyurutkan budaya baca dan belajar guru-guru Indonesia. Guru-guru tetap punya energi membaca dan belajar meski seharian di sekolah dan lelah di perjalanan. Pengalaman guru mengajar, ditambah hasil bacaan, merupakan bahan berharga untuk melahirkan kreasi dan, pada akhirnya, akan mengantarkan guru pada kepakaran.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Sekjen Pengurus Besar PGRI
SEBAGIAN sekolah di berbagai daerah di Tanah Air memulai pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas pada Senin, 30 Agustus 2021. Banyak harapan dari pemerintah dan masyarakat bahwa pembukaan sekolah tersebut bisa meningkatkan hasil belajar siswa. Terbukti pembelajaran jarak jauh (PJJ) kurang efektif karena kendala literasi digital, internet, dan laptop.
Solusi atas masalah efektivitas PJJ adalah PTM terbatas atau pembelajaran bauran. Siswa bertemu langsung dengan guru meski hanya dua hari dalam seminggu. Pembelajaran bauran diharapkan meningkatkan hasil belajar siswa secara bertahap.
Apa pun model pembelajaran di era pandemi ini, guru kompeten menjadi kunci efektivitas pembelajaran. Sebaik dan selengkap apa pun fasilitas internet dan laptop, tanpa guru kompeten, hasil belajar akan rendah. Kesiapan guru penting, di samping fasilitas protokol kesehatan di sekolah.
Maka yang diperlukan saat ini adalah lahirnya guru-guru pembelajar sehingga pengetahuan mereka senantiasa terbarukan. Mereka menguasai literasi digital dan memiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Pandemi bukan halangan, tapi kesempatan untuk meningkatkan kapasitas. Carol S Dweck (2019: 9) menulis, semangat untuk mengembangkan diri sekalipun keadaan tidak berjalan dengan baik, merupakan tanda mindset tumbuh.
Guru Pembelajar
Selama pelaksanaan kebijakan belajar dari rumah (BDR), guru punya waktu luang untuk membaca buku, bahkan berkarya. BDR merupakan momen refleksi guru tentang tugasnya. Apakah sudah memberikan yang terbaik bagi siswa? Apakah menjadi guru biasa, guru baik, atau guru hebat? Apakah memahami dengan baik apa yang diajarkan kepada siswa?
Guru bisa memilih belajar mandiri atau belajar terbimbing. Guru belajar mandiri melalui Google, YouTube, atau buku. Bahkan guru bisa belajar dari media sosial. Caranya mengikuti akun-akun pendidikan seperti GTK Kemendukbud-Ristek, GTK Kementerian Agama, atau Perpustakaan Nasional. Adapun belajar terbimbing bisa melalui seminar atau pelatihan, berbayar atau gratis.
Guru harus terbiasa dan menikmati membaca buku. Ciri rumah guru hebat adalah ada koleksi buku-buku baru dan lama. Kecintaannya terhadap buku melebihi kecintaannya pada pakaian. Tung Desem Waringin menulis, membaca adalah sebuah aktivitas yang memulai semua kesuksesan (Raharjo, 2019: 145). Guru yang tidak membaca akan jauh dari kesuksesan.
Saat ini sebagian guru di Indonesia tengah melakukan serangkaian pelatihan melalui program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Ini merupakan upaya pemerintah untuk terpenuhinya pengembangan kompetensi berkelanjutan (PKB) pendidik Indonesia. Program merdeka belajar ini semoga mengubah cara berpikir guru-guru Indonesia.
Di sekolah-sekolah bagus-hebat, pelatihan guru merupakan hal wajib, khususnya di era pandemi yang menuntut keterampilan-keterampilan baru dalam pembelajaran. Mereka tidak mengandalkan program pemerintah untuk meningkatkan kapasitas guru-guru mereka. Ada dana khusus yang mereka siapkan setiap tahun untuk memanggil pakar-pakar pembelajaran dan pendidikan.
Dalam hal pelatihan, bukan soal lamanya waktu yang penting, tetapi efektivitasnya. Pelatihan yang lama akan mengganggu kinerja guru. Pelatihan guru bisa dinilai gagal karena tidak melahirkan guru-guru yang pembelajar mandiri atau autodidak. Menurut Daoed Joesoef (2017: 226), yang ada hanya sejumlah penyandang gelar kesarjanaan tanpa semangat ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif.
Guru Kompeten
Hasil belajar mandiri dan terbimbing di atas akan meningkatkan literasi digital dan pengetahuan guru. Literasi digital akan menjadi kebutuhan guru saat ini dan di masa mendatang. Misalnya ia akan menjawab masalah kelangkaan atau kekurangan guru di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Guru-guru di kota bisa mengajar anak-anak daerah 3T tanpa harus datang ke sana. Literasi digital cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia dan literasi digital cocok saat belajar harus tak tatap muka.
Guru-guru yang menguasai literasi digital akan mengajar PJJ sama baiknya dengan mengajar PTM. Pelatihan literasi digital menjadi fenomena baru dan tersedia begitu banyak bagi guru-guru yang mau belajar. Kemauan guru menerapkan metode-metode baru hasil pelatihan menjadi tantangan tersendiri.
Demikian pula seharusnya pengetahuan guru-guru bertambah di era pandemi karena punya kesempatan membaca buku-buku baru dan lama. Bisa jadi selama ini bukunya sekadar pajangan dan berdebu. Guru tak sempat membaca karena harus ke sekolah setiap hari. Energi untuk membaca buku habis di sekolah dan perjalanan.
Pandemi seharusnya berkorelasi positif dengan peningkatan penguasan materi guru. Saat-saat di rumah merupakan saat guru dekat dengan buku-buku yang selama ini mungkin terabaikan. Menurut Hafid Abbas (2019: 43), tingkat penguasaan guru terhadap bidang studi yang diajarkan sangat rendah. Dalam UU Guru dan Dosen Tahun 2005 disebutkan, guru wajib memiliki kualifikasi akademik S-1/ D-4, kompetensi, dan sertifikat pendidik.
Guru Pakar
Guru yang cepat belajar akan bisa menyenangkan siswa, apa pun model pembelajarannya. Guru-guru menjadi kreatif dalam PJJ atau pembelajaran bauran. Alih-alih menyerah pada pandemi, sebagian guru malah menjadi kreatif dan produktif. Inilah guru-guru yang memiliki mindset tumbuh atau berkepribadian climbers.
Menjadi guru yang baik saja tidak cukup. Guru-guru harus berani berubah dari guru baik ke guru hebat. Guru hebat adalah guru yang berkreasi tanpa henti untuk mendampingi belajar anak dengan menyenangkan. Guru yang bisa menyampaikan materi dengan keceriaan dan sukacita, tanpa beban. Suhardono dkk (2016: xxii) menulis “your passion without creation is nothing” dan hasil kreasi guru adalah siswa-siswa yang tumbuh sesuai dengan bakat masing-masing.
Guru harus ingin mencapai tingkat pakar dalam bidangnya. Farid Poniman, Indrawan Nugroho, dan Jamil Azzaini (2018: 56) menulis, dari profesional ke expert. Dia adalah orang yang terus-menerus ingin menambah prestasi dalam profesi. Pada saat yang sama ia terus meningkatkan keahliannya dalam bidang tersebut.
Kepakaran bukan sesuatu yang diperoleh secara instan. Ia merupakan proses panjang dan berliku yang harus dijalani dengan penuh ketekunan, keja keras, kerja cerdas, keikhlasan, dan kesabaran. Itu sebabnya tak banyak guru yang bisa mencapainya. Seorang guru yang membaca buku dan menulis di setiap kesempatan merupakan pemandangan langka. Sebaliknya guru yang berprofesi ganda malah ada banyak.
Maka gerakan guru pembelajar di atas harus didukung oleh kepala sekolah dan pemerintah daerah. Melahirkan guru hebat atau pakar harus menjadi program prioritas pemerintah daerah dan kepala sekolah. Jika ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu daerah, harus meningkatkan mutu guru di daerah tersebut. Guru berkualitas akan tetap menyenangkan siswa dalam model pembelajaran apa pun.
Semoga kembalinya guru ke sekolah tidak menyurutkan budaya baca dan belajar guru-guru Indonesia. Guru-guru tetap punya energi membaca dan belajar meski seharian di sekolah dan lelah di perjalanan. Pengalaman guru mengajar, ditambah hasil bacaan, merupakan bahan berharga untuk melahirkan kreasi dan, pada akhirnya, akan mengantarkan guru pada kepakaran.
(bmm)