Teror Panitia Diskusi Pemberhentian Presiden, YLBHI: Pemberangusan Pendapat

Sabtu, 30 Mei 2020 - 21:43 WIB
loading...
Teror Panitia Diskusi...
Kebebasan berpendapat kembali dibungkam di Negeri ini. Diskusi bertajuk Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan dibatalkan. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Diskusi bertajuk Persoalan Pemberhentian Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan dibatalkan karena panitia dan narasumber mendapatkan berbagai ancaman. Tak main-main, ancaman yang diterima oleh salah satu panitia dan keluarganya adalah akan dibunuh

(Baca juga: Teror ke Panitia Diskusi di UGM, Demokrat Prihatin Demokrasi di Indonesia)

Constitutional Law Society (CLS) Universitas Gadjah Mada (UGM) selaku panitia membatalkan diskusi daring yang sedianya akan dilaksanakan pada Jumat (29/5/2020). Bukan hanya panitia yang mendapatkan ancaman, Nimatul Huda yang akan menjadi narasumber pun mengalami hal serupa.

(Baca juga: Teror terhadap Diskusi Pemberhentian Presiden Telah Mencederai Kebebasan Akademik)

Ketua Umum YLBHI, Asfinawati mengatakan, ini merupakan bentuk pemberangusan pendapat. Dia menyayangkan belum ada tindakan dari kepolisian untuk mengusut teror yang menimpa panitia dan Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Nimatul Huda.

Aneka macam teror diterima panitia, mulai dari pengiriman pemesanan lewat ojek online, akun media sosial diretas, dan rumah didatangi orang tak dikenal. Bahkan, ancaman pembunuhan dialami keluarga panitia.

"Harusnya kepolisian tanpa menunggu laporan, langsung menindaklanjuti. Karena kalau kami lihat pemberangusan pendapat sampai ancaman itu selalu pada yang kritis terhadap pemerintah," ucapnya saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (30/5/2020).

Jika tak ada tindakan serius dari aparat, menurut Asfinawati, publik akan bertanya-tanya kenapa ada perbedaan perlakuan terhadap orang-orang yang kritis. Kebebasan menyatakan pendapat seperti dibatasi. Dia mencontohkan penangkapan mantan tentara, Ruslan Buton.

Menurutnya, yang dilakukan Ruslan Buton itu bagian dari kebebasan berpendapat. Alasannya, Ruslan hanya bicara menyuruh Presiden Joko Widodo (Jokowi) mundur.

"Apa masalahnya? Ini sudah seperti zaman Soeharto. Jokowi kok seperti Soeharto. Untuk orang sekelilingnya, tidak boleh diusik sama sekali," tutur perempuan kelahiran Bitung, Sulawesi Utara itu.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengecam sikap dan tindakan intimidatif terhadap rencana diskusi itu. "Hal ini merupakan ancaman nyata bagi mimbar kebebasan akademik," pungkasnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1607 seconds (0.1#10.140)