Dari PKP, PKPI, Kembali ke PKP, Bagaimana Kans Partai Ini di Pemilu 2024?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejarah mencatat Partai Keadilan dan Persatuan ( PKP ) merupakan salah satu partai peserta pemilu yang beberapa kali ganti nama. Partai ini pernah berubah nama menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia ( PKPI ), lalu kembali menjadi PKP.
Musyawarah luar biasa (Munaslub) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) telah digelar di Jakarta pada 25 Mei 2021. Salah satu yang diputuskan dalam Munaslub itu adalah melakukan perubahan nama dan lambang partai yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Adapun perubahan AD/ART tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Sedangkan nama Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) diganti menjadi Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
PKP merupakan nama awal partai ini yang dideklarasikan pada 15 Januari 1999. Sejumlah nama figur di belakang berdirinya partai ini, diantaranya Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat, mantan Menteri Negara Perumahan Rakyat Siswono Yudo Husodo, dan mantan Menpora Hayono Isman.
Kini, PKP dipimpin oleh mantan Komandan Pasukan Khusus Detasemen Jalamangkara atau Denjaka Mayor Jenderal TNI Marinir (Purn) Yussuf Solichien. Sedangkan posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) kini dijabat oleh Said Salahudin yang sebelumnya dikenal sebagai pengamat politik atau Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma). Lantas, bagaimana kans partai ini?
"Kalau menurut saya, kans partai politik di Indonesia itu ada tiga faktor yang bisa menyebabkan dia mendapatkan kursi atau vote yang banyak," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo kepada SINDOnews, Jumat (3/9/2021).
Pertama, adalah tokoh. "Nah mari kita evaluasi PKP ini dari tokoh. Apakah di dalamnya ada tokoh yang cukup jadi magnet bagi pemilih untuk memilih partai ini seperti misalnya Pak SBY di Demokrat, kemudian Pak Prabowo di Gerindra, atau Bu Mega di PDIP atau Pak Jokowi juga di PDIP. Apakah kemudian PKP ini punya cukup tokoh untuk itu. Kalau enggak, ya susah. Itu yang pertama," kata Kunto.
Kedua, adalah kader. Kunto mengatakan, seberapa militan kader PKP untuk kemudian bisa mengedukasi, memobilisasi dan mengajak massa untuk datang ke tempat pemungutan suara saat Pemilu 2024 nanti untuk memilih partai itu.
"Nah contohnya PKS. PKS punya kader yang kuat. Kemudian, jejaring pesantrennya PKB atau PPP, atau kemudian PDIP, mereka punya jejaring kader yang luar biasa untuk kemudian masuk ke masyarakat dan mengajak masyarakat untuk memilih," katanya.
Ketiga, kekuatan birokrasi dan politik uang yang dinilainya tidak bisa dipungkiri. "Yaitu pengaruh-pengaruh yang besar, yang mungkin tidak masuk perhitungan-perhitungan politik secara akademis di luar tokoh dan kader tadi. Ya di situ ada money politics, kemudian pemanfaatan birokrasi," tuturnya.
Selain itu, dia memberikan contoh Partai Golkar memiliki daya tarik atau magnet. "Mungkin salah satunya ya Golkar punya akar cukup lama pemilihnya, pemilih tradisional, nah itu kan yang enggak dimiliki PKP, apakah PKP banyak mengisi birokrasi untuk kemudian berstrategi melalui birokrasi untuk mendapatkan vote juga enggak," imbuhnya.
Sedangkan politik uang, kata dia, mungkin semua partai politik menggunakannya. "Ini soal kuat-kuatan modal akhirnya. Menurut saya tiga itu bisa menjelaskan kans PKP," katanya.
Kunto menilai mungkin PKP punya potensi untuk mengisi kursi-kursi DPRD. Namun, kata dia, untuk bisa memenuhi syarat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah tantangan bagi PKP.
"Karena kompetitornya ada PPP yang sudah ada, mereka harus bisa down grade salah satu partai yang ada kan atau paling tidak mencuri suara dari partai-partai established sebelumnya," tuturnya.
Dia pun mempertanyakan apakah mungkin PKP mampu mencuri suara dari Partai Gerindra misalnya, karena sama-sama memiliki tokoh militer di baliknya. "Mungkinkah PKP mencuri suara dari Golkar karena sama-sama nasionalis, sama-sama punya background yang lebih tengah, nah itu yang harus diterjemahkan dalam strategi-strategi politik PKP sekarang," pungkasnya.
Musyawarah luar biasa (Munaslub) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) telah digelar di Jakarta pada 25 Mei 2021. Salah satu yang diputuskan dalam Munaslub itu adalah melakukan perubahan nama dan lambang partai yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Adapun perubahan AD/ART tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Sedangkan nama Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) diganti menjadi Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
PKP merupakan nama awal partai ini yang dideklarasikan pada 15 Januari 1999. Sejumlah nama figur di belakang berdirinya partai ini, diantaranya Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat, mantan Menteri Negara Perumahan Rakyat Siswono Yudo Husodo, dan mantan Menpora Hayono Isman.
Kini, PKP dipimpin oleh mantan Komandan Pasukan Khusus Detasemen Jalamangkara atau Denjaka Mayor Jenderal TNI Marinir (Purn) Yussuf Solichien. Sedangkan posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) kini dijabat oleh Said Salahudin yang sebelumnya dikenal sebagai pengamat politik atau Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma). Lantas, bagaimana kans partai ini?
"Kalau menurut saya, kans partai politik di Indonesia itu ada tiga faktor yang bisa menyebabkan dia mendapatkan kursi atau vote yang banyak," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo kepada SINDOnews, Jumat (3/9/2021).
Pertama, adalah tokoh. "Nah mari kita evaluasi PKP ini dari tokoh. Apakah di dalamnya ada tokoh yang cukup jadi magnet bagi pemilih untuk memilih partai ini seperti misalnya Pak SBY di Demokrat, kemudian Pak Prabowo di Gerindra, atau Bu Mega di PDIP atau Pak Jokowi juga di PDIP. Apakah kemudian PKP ini punya cukup tokoh untuk itu. Kalau enggak, ya susah. Itu yang pertama," kata Kunto.
Kedua, adalah kader. Kunto mengatakan, seberapa militan kader PKP untuk kemudian bisa mengedukasi, memobilisasi dan mengajak massa untuk datang ke tempat pemungutan suara saat Pemilu 2024 nanti untuk memilih partai itu.
"Nah contohnya PKS. PKS punya kader yang kuat. Kemudian, jejaring pesantrennya PKB atau PPP, atau kemudian PDIP, mereka punya jejaring kader yang luar biasa untuk kemudian masuk ke masyarakat dan mengajak masyarakat untuk memilih," katanya.
Ketiga, kekuatan birokrasi dan politik uang yang dinilainya tidak bisa dipungkiri. "Yaitu pengaruh-pengaruh yang besar, yang mungkin tidak masuk perhitungan-perhitungan politik secara akademis di luar tokoh dan kader tadi. Ya di situ ada money politics, kemudian pemanfaatan birokrasi," tuturnya.
Selain itu, dia memberikan contoh Partai Golkar memiliki daya tarik atau magnet. "Mungkin salah satunya ya Golkar punya akar cukup lama pemilihnya, pemilih tradisional, nah itu kan yang enggak dimiliki PKP, apakah PKP banyak mengisi birokrasi untuk kemudian berstrategi melalui birokrasi untuk mendapatkan vote juga enggak," imbuhnya.
Sedangkan politik uang, kata dia, mungkin semua partai politik menggunakannya. "Ini soal kuat-kuatan modal akhirnya. Menurut saya tiga itu bisa menjelaskan kans PKP," katanya.
Kunto menilai mungkin PKP punya potensi untuk mengisi kursi-kursi DPRD. Namun, kata dia, untuk bisa memenuhi syarat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah tantangan bagi PKP.
"Karena kompetitornya ada PPP yang sudah ada, mereka harus bisa down grade salah satu partai yang ada kan atau paling tidak mencuri suara dari partai-partai established sebelumnya," tuturnya.
Dia pun mempertanyakan apakah mungkin PKP mampu mencuri suara dari Partai Gerindra misalnya, karena sama-sama memiliki tokoh militer di baliknya. "Mungkinkah PKP mencuri suara dari Golkar karena sama-sama nasionalis, sama-sama punya background yang lebih tengah, nah itu yang harus diterjemahkan dalam strategi-strategi politik PKP sekarang," pungkasnya.
(zik)