Mulai dari PSBB hingga New Normal, Penanganan Corona di Indonesia Simpang Siur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jumlah orang yang terpapar virus Corona (Covid-19) di Indonesia masih fluktuatif. Sementara belum ditemukan vaksin, memerlukan penanganan dari hulu hingga hilir. Berdasarkan data pemerintah, jumlah positif Corona sebanyak 25.216 orang, sembuh 6.492 orang dan 1.520 meninggal dunia.
(Baca juga: Penanganan Covid-19, Indonesia Minta Dunia Buka Lebar Akses Vaksin)
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif menerangkan, penanganan di hulu dilakukan oleh individu dan keluarga. Pada bagian tengah, ada intervensi dalam bentuk pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
(Baca juga: Mendagri Sebut Perlu Ada Intervensi Agar Masyarakat Terapkan Protokol Kesehatan)
Pada bagian hilir itu bentuknya manajemen terhadap kasus positif dan kelompok berisiko, yakni orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (ODP). Ini untuk menghindari beban besar pada pelayanan kesehatan.
"Indonesia satu-satunya negara di Asean yang mengalami fluktuasi. Dapat dikatakan respon Indonesia termasuk lambat, strategi komunikasi kurang baik, dan regulasi yang simpang siur," kata Syahrizal Syarif, Sabtu (30/5/2020).
"Sedangkan, dari aspek peraturan sendiri yang digunakan undang-undang (UU) karantina, bencana alam, darurat sipil, darurat kesmas, dan bencana nasional nonalam tanpa menyinggung sedikitpun tentang UU wabah," tambahnya.
Syahrizal menilai, Indonesia belum mencapai puncak pandemi. Jakarta menjadi provinsi yang paling berisiko dengan pergerakan manusia yang besar. Kasus yang terus meningkat, tapi sudah ada wacana pelonggaran PSBB tentu ini terlalu dini.
Dia menjelaskan, pelonggaran PSBB memerlukan pengendalian dengan protokol baru. Namun, ada risiko penambahan kasus positif.
"Wacana kenormalan baru di semua bidang kehidupan bukan berarti pandemi Covid-19 ini berakhir. Justru membutuhkan kesiapsiagaan dalam menghadapinya, seperti dalam belajar, ibadah, dan bekerja, harus menggunakan masker," ucapnya.
Menurut Syahrizal, uiu untuk mencegah infeksi, masyarakat harus tetap menjaga jarak, serta menghindari kerumunan. Syahrizal memberikan perhatian pada rencana pembukaan sekolah pada masa kenormalan baru. Karenanya memerlukan protokol yang tepat dan dukungan psikososial anak.
"Anak-anak selama pandemi ini mengalami stres di rumah. Di sisi lain, ada ketakutan untuk masuk sekolah. Pemerintah seharusnya tidak hanya melihat aktivitas di mall dan transportasi publik, seperti moda raya terpadu (MRT). Penting juga melihat kondisi pesantren, sekolah, dan pasar tradisional," jeasnya.
Dia pun menyinggung kenormalan baru yang dikaitkan dengan herd imunity. Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengatakan tidak relevan menghubungkan dua hal itu. Herd imunity hanya bisa dibangun dengan cara vaksinasi.
"Herd imunity cocok untuk penyakit, seperti campak atau rubella yang ketika terkena akan memberikan kekebalan permanen. Sedangkan, Covid-19 tidak memberikan dapat kekebalan permanen," pungkasnya.
(Baca juga: Penanganan Covid-19, Indonesia Minta Dunia Buka Lebar Akses Vaksin)
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif menerangkan, penanganan di hulu dilakukan oleh individu dan keluarga. Pada bagian tengah, ada intervensi dalam bentuk pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
(Baca juga: Mendagri Sebut Perlu Ada Intervensi Agar Masyarakat Terapkan Protokol Kesehatan)
Pada bagian hilir itu bentuknya manajemen terhadap kasus positif dan kelompok berisiko, yakni orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (ODP). Ini untuk menghindari beban besar pada pelayanan kesehatan.
"Indonesia satu-satunya negara di Asean yang mengalami fluktuasi. Dapat dikatakan respon Indonesia termasuk lambat, strategi komunikasi kurang baik, dan regulasi yang simpang siur," kata Syahrizal Syarif, Sabtu (30/5/2020).
"Sedangkan, dari aspek peraturan sendiri yang digunakan undang-undang (UU) karantina, bencana alam, darurat sipil, darurat kesmas, dan bencana nasional nonalam tanpa menyinggung sedikitpun tentang UU wabah," tambahnya.
Syahrizal menilai, Indonesia belum mencapai puncak pandemi. Jakarta menjadi provinsi yang paling berisiko dengan pergerakan manusia yang besar. Kasus yang terus meningkat, tapi sudah ada wacana pelonggaran PSBB tentu ini terlalu dini.
Dia menjelaskan, pelonggaran PSBB memerlukan pengendalian dengan protokol baru. Namun, ada risiko penambahan kasus positif.
"Wacana kenormalan baru di semua bidang kehidupan bukan berarti pandemi Covid-19 ini berakhir. Justru membutuhkan kesiapsiagaan dalam menghadapinya, seperti dalam belajar, ibadah, dan bekerja, harus menggunakan masker," ucapnya.
Menurut Syahrizal, uiu untuk mencegah infeksi, masyarakat harus tetap menjaga jarak, serta menghindari kerumunan. Syahrizal memberikan perhatian pada rencana pembukaan sekolah pada masa kenormalan baru. Karenanya memerlukan protokol yang tepat dan dukungan psikososial anak.
"Anak-anak selama pandemi ini mengalami stres di rumah. Di sisi lain, ada ketakutan untuk masuk sekolah. Pemerintah seharusnya tidak hanya melihat aktivitas di mall dan transportasi publik, seperti moda raya terpadu (MRT). Penting juga melihat kondisi pesantren, sekolah, dan pasar tradisional," jeasnya.
Dia pun menyinggung kenormalan baru yang dikaitkan dengan herd imunity. Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengatakan tidak relevan menghubungkan dua hal itu. Herd imunity hanya bisa dibangun dengan cara vaksinasi.
"Herd imunity cocok untuk penyakit, seperti campak atau rubella yang ketika terkena akan memberikan kekebalan permanen. Sedangkan, Covid-19 tidak memberikan dapat kekebalan permanen," pungkasnya.
(maf)