Perang Diponegoro: 200.000 Jiwa Penduduk Jawa Tewas Lawan Penjajah

Selasa, 31 Agustus 2021 - 08:07 WIB
loading...
Perang Diponegoro: 200.000 Jiwa Penduduk Jawa Tewas Lawan Penjajah
sosok Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin perlawanan penjajahan di tanah Jawa. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Perang Diponegoro adalah salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Nah, sosok Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin perlawanan penjajahan di tanah Jawa.

Baca Juga: Perang Diponegoro
Baca juga: 26 Hari di Batavia, Jejak Terakhir Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa

Perang itu terjadi karena Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Di samping itu, para petani lokal juga menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman sejak tahun 1821.

Perang ini juga merupakan perang sesama saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro alias antek Belanda. Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tanggal 6 Mei 1823 Van der Capellen mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.

Akan tetapi, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Saat itu, Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa. Tujuannya adalah agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.

Tonggak-tonggak yang dipasang Patih Danureja atas perintah Belanda untuk membuat rel kereta api pun membuat kekecewaan Pangeran Diponegoro semakin memuncak. Sebab, tonggak-tonggak yang dipasang itu melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Saat itu lah Pangeran Diponegoro kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang. Pihak istana pada Rabu 20 Juli 1825 mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah.

Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo, walaupun kediamannya jatuh dan dibakar. Beliau beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan.

Hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Kemudian, Pangeran Diponegoro pindah ke sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya, Selarong. Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul dijadikan Pangeran Diponegoro sebagai basisnya.

Pangeran Diponegoro menempati Goa Kakung, goa sebelah barat yang juga menjadi tempat pertapaannya. Sementara Raden Ayu Retnaningsih beserta pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Raden Ayu Retnaningsih adalah selir yang paling setia menemani Pangeran Diponegoro setelah dua istrinya wafat.

Penyerangan di Tegalrejo menjadi awal perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang. Semangatnya yaitu sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati atau “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”.

Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Diponegoro juga bahkan berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, walaupun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.

Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan juga ikut membantu perjuangan Diponegoro. Pangeran Diponegoro dalam perang ini juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit pada tahun 1827. Kemudian, Kyai Mojo ditangkap pada tahun 1829. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.

Jenderal De Kock akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830 berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro di sana menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa tewas dalam Perang Diponegoro ini. Sedangkan di pihak Belanda, korban tewas berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang tersebut menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.

Pasca Perang Diponegoro, semua raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda pada tahun 1832. Terkecuali, bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III yang justru hendak menyerang seluruh kantor Belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di Jawa Tengah seperti Wonogiri, Karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4953 seconds (0.1#10.140)