Kotak Pandora Amendemen Terbatas UUD 1945

Selasa, 31 Agustus 2021 - 07:29 WIB
loading...
Kotak Pandora Amendemen Terbatas UUD 1945
Asrizal Nilardin (Foto: Ist)
A A A
Asrizal Nilardin
Anggota Tim Lembaga Bantuan Hukum Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta

AMANDEMEN terbatas UUD 1945 kini memasuki fase penting dan monumental seusai pidato Ketua MPR dan Ketua DPD pada peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI beberapa waktu lalu yang menyinggung pentingnya menghadirkan kembali haluan negara sebagai bintang penuntun arah pembangunan bangsa.

Amendemen UUD 1945 pada dasarnya amat penting untuk dilakukan guna merespons perkembangan kebutuhan konstitusional negara yang kini semakin kompleks. Amendemen Kelima UUD 1945 juga penting sebagai respons atas kebutuhan bangsa pascapandemi Covid-19. Namun, hadirnya wacana amendemen seharusnya merupakan inisiasi dan aspirasi publik sebagai pemegang dan pemilik kedaulatan. Itu penting agar legalitas serta legitimasi UUD 1945 pasca-Amendemen Kelima diterima oleh publik. Jika amendemen diarahkan hanya terbatas pada upaya menghidupkan kembali kewenangan MPR dalam menetapkan haluan negara, hal itu suatu tindakan yang tidak berarti karena tidak lagi relevan dengan kebutuhan struktur tata negara Indonesia.

Wacana liar mengenai amendemen terbatas UUD 1945 telah lama muncul, jauh hari sebelum masifnya wacana MPR yang akan menghidupkan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Secara informal, wacana ini muncul di luar parlemen yang diprakarsai oleh para elite politik. Wacana amendemen terbatas UUD 1945 di luar perlemen tersebut yakni menyangkut ketentuan Pasal 7 tentang Masa Jabatan Presiden. Wacana tersebut dimaksudkan untuk memberikan legitimasi konstitusional kepada Presiden Joko Widodo yang sudah menjabat dua periode untuk dapat mencalonkan diri kembali pada Pemilihan Presiden 2024. Pretensi tersebut datang dari golongan yang mungkin tidak siap untuk kehilangan status quo. Tidak main-main, secara struktural mereka membentuk sebuah tim loyalis dengan maksud serius untuk menyukseskan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Pretensi Elite Politik
Ironis karena keinginan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode datang dari elite politik, bukan atas kehendak publik atau masyarakat awam. Padahal, elite politik sebenarnya mengerti alasan fundamental mengenai perlunya pembatasan masa jabatan presiden hanya dua periode.

Kendati Presiden dan Ketua MPR telah sama-sama menyetujui untuk melakukan amendemen terbatas kelima UUD 1945, yakni hanya menyangkut penambahan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN, serta menolak adanya perubahan pada ketentuan lain, khususnya menyinggung soal periodisasi jabatan presiden, kekhawatiran tetap saja muncul. Amendemen terbatas tidak tertutup kemungkinan akan menjadi pintu masuk untuk membuka Kotak Pandora perihal masa jabatan presiden yang diperpanjang menjadi tiga periode sebagaimana sebelumnya telah menguat dan kerap diwacanakan oleh sejumlah elite politik.

Wacana Amendemen Kelima UUD 1945 yang akan dilakukan oleh MPR, entah itu menyangkut dengan kewenangan MPR soal PPHN, atau pembahasan perihal periodisasi masa jabatan presiden, itu hal yang tidak kontekstual dengan kebutuhan perkembangan konstitusionalitas tata negara Indonesia saat ini.

Amendemen memang penting untuk dilakukan, namun harus secara komprehensif dengan tujuan untuk mengatasi berbagai masalah konstitusionalitas yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Karena UUD 1945 pada setiap pasalnya merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga apabila satu pasal yang disentuh maka akan merembet pada pasal-pasal lain dan harus dilakukan penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan fundamental bangsa dalam Pembukaan UUD 1945.

Amendemen seharusnya diarahkan pada usaha konkret untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas struktur organisasi negara agar lebih kompeten dan kompatibel. Wacana amendemen terbatas oleh MPR sekarang ini justru tidak urgen dan tidak relevan untuk dilakukan, mengingat situasi dan kondisi bangsa yang tengah menghadapi pandemi Covid-19. Seharusnya para elite politik bangsa ini lebih memfokuskan perhatian pada upaya penyelamatan rakyat dari dampak pandemi.

Wacana menghidupkan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan haluan negara bertentangan dengan konstitusi itu sendiri, selain tidak lagi relevan dengan kebutuhan struktur tata negara Indonesia dewasa ini. Tidak ada urgensi bagi MPR untuk memiliki kewenangan menetapkan PPHN apabila presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Demikian pula status hukum PPHN yang ditetapkan oleh MPR tidak mengikat dan memaksa kepada presiden untuk melaksanakannya.

Relasi Kedudukan MPR dan Presiden
Jika acuannya adalah GBHN di zaman Orde Baru, dan itu yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai kesuksesan pembangunan nasional, hal itu pun merupakan kekeliruan mengingat kedudukan MPR dan kedudukan presiden di zaman Orde Baru adalah sebuah keadaan yang berbeda dengan kedudukan MPR dan presiden setelah Reformasi. Kedudukan MPR di zaman Orde Baru adalah sebagai lembaga tertinggi negara yang diberikan kewenangan secara konstitusional untuk memilih presiden dan sewaktu-waktu dapat memberhentikan presiden dari masa jabatannya apabila MPR menilai bahwa presiden tidak menjalankan GBHN secara efektif dan maksimal.

Begitu pula kedudukan presiden sebagai mandataris MPR dipilih oleh MPR, dan berkewajiban secara konstitusional untuk melaksanakan GBHN yang ditetapkan oleh MPR sebagai pelaksana utama kedaulatan rakyat berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 (sebelum perubahan).

Namun, setelah amendemen UUD 1945, struktur tata negara dan relasi antarlembaga negara telah mengalami perubahan yang sangat fundamental dari keadaan dan kedudukan struktur dan relasi lembaga negara di era Orde Baru. Setelah amendemen UUD 1945, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi diubah menjadi lembaga tinggi yang memiliki derajat yang sama dengan keberadaan lembaga tinggi negara lain.

Demikian pula kedudukan presiden sebagai mandataris MPR di zaman Orde Baru, melalui amendemen UUD telah dihilangkan, sehingga presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Akibat perubahan kedudukan MPR dan presiden tersebut, kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN menjadi hilang karena tidak lagi relevan dan konstitusional dengan kedudukan struktur kelembagaan dan hubungan kelembagaan MPR dengan presiden. Akibatnya, presiden tidak lagi berkewajiban menjalankan GBHN dan tidak bertanggung jawab kepada MPR.

MPR tidak lagi dapat mewajibkan presiden untuk menjalankan GBHN karena presiden bukan mandataris MPR dan tidak bertanggung jawab kepada MPR. Karena itu, wacana untuk menghidupkan kembali haluan negara yang menjadi tambahan kewenangan MPR adalah hal yang sia-sia dan, tidak relevan, serta tidak kontekstual untuk kebutuhan perkembangan tata negara Indonesia.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1648 seconds (0.1#10.140)