Teddy Tjokro Tersangka, Praktisi Hukum Ingatkan Jaksa Agung Anggaran Dasar Asabri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus dugaankorupsipengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang hingga kini terus diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai tidak merugikan negara.
Praktisi Hukum, Ricky Vinando menilai kasus Asabri bukan sebagai kasus tindak pidana korupsi. Sebab menurutnya kasus Asabri tidak ada unsur pidananya.
"Saya heran kenapa kasus Asabri dijadikan kasus korupsi yang merugikan negara hingga kerugian Rp23 triliun di rentang 2012-2019. Apa dasarnya ini jadi kasus tindak pidana korupsi? Bapak Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jampidsus Ali Mukartono apakah Bapak tahu bahwa sejak era Menteri BUMN Mustafa Abubakar (2009-2011), Anggaran Dasar Asabri sudah direvisi dengan menghilangkan kewajiban Asabri menyetorkan dividen kepada negara?" ujar Ricky dalam siaran persnya, Minggu (29/8/2021).
"Lalu dengan Anggaran Dasar Asabri sudah tidak lagi mewajibkan setor dividen dan itu sudah menjadi kebijakan resmi yang berlaku sejak Kementerian BUMN era Mustafa Abubakar, jadi bagaimana bisa negara tetap rugi?" sambungnya.
Menurutnya, dengan adanya kebijakan sejak era Menteri BUMN Mustafa Abubakar bahkan masih berlaku hingga saat ini termasuk pula pada Taspen tak wajib membayar dividen kepada negara maka sangat salah dan keliru menjadikan Asabri sebagai kasus pidana korupsi. Sebab kasus Asabri tidak ada unsur pidananya apabila kewajiban dividen sudah dihilangkan atau dihapus.
"Tidak ada unsur pidananya, ini bukan tindak pidana. Sehingga, tidak ada negara rugi 1 rupiah pun karena di dalam Anggaran Dasar Asabri sudah dihilangkan kewajiban Asabri menyetor dividen sebelum terjadinya kasus Asabri yang baru mulai terjadi pada 2012. Pak Teddy Tjokro dan Pak Benny Tjokro bisa menghadirkan mantan Menteri BUMN Mustafa Abubakar sebagai saksi yang merigankan saat kasus Asabri disidangkan."
"Karena di era Menteri BUMN Mustafa Abubakar sudah ditetapkan kebijakan bahwa Asabri bahkan Taspen sudah tidak lagi memiliki kewajiban setor dividen kepada negara, sehingga apabila Asabri rugi otomatis tidak merugikan negara jadi bukan kasus korupsi in," imbuhnya.
Dia melanjutkan harusnya mantan Dirut Asabri, Adam Damiri yang juga jadi tersangka kasus Asabri bisa membuka semuanya terutama soal Anggaran Dasar Asabri. Dia tidak mengetahui apakah Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jampidsus Ali Mukartono dan Ketua BPK Agung Firman Sampurna tidak tahu atau benar-benar lupa bahwa negara sendiri melalui Kementerian BUMN era Mustafa Abubakar memiliki kebijakan negara tidak lagi mewajibkan Asabri setor dividen.
"Anggaran Dasar tentang tak wajib dividen itu masih berlaku sampai saat ini. Jadi dengan demikian kenapa bisa masih rugi? Harusnya Menteri BUMN, Pak Erick Thohir buka ini ke publik soal Anggaran Dasar Asabri tersebut, bagaimana ini Pak Erick Thohir," tambahnya.
Dirinya mengatakan kasus Asabri ini terkait adanya penurunan harga saham termasuk saham-saham yang mengisi reksadana dan ini malah jadi kasus pidana sehingga berbahaya bagi kelangsungan investasi di Tanah Air ke depannya.
"Terlalu bahaya bagi dunia pasar modal Tanah Air. Tidak bagus buat kesehatan investasi Indonesia karena sejak adanya putusan kasasi kasus Jiwasraya dimana 2 swasta dihukum seumur hidup, maka sudah lahir Yurisprudensi Mahkamah Agung di mana beli saham lalu turun dan kebetulan yang beli adalah perusahaan BUMN maka jadi kasus korupsi. Ini bahaya. Sudah menganggu psikologi investor swasta karena ngeri juga kalau saham perusahaan swastanya dimiliki perusahaan BUMN lalu harga saham turun dianggap kasus korupsi," tandasnya.
Dirinya pun juga mempertanyakan apakah beberapa aksi korporasi yang biasa dilakukan perusahaan swasta yang berkaitan dengan peredaran saham di pasar bursa yang berakibat pada nilai saham turun apakah dapat dikategorikan merugikan negara jika ada BUMN yang memiliki saham swasta tersebut.
"Bagaimana kalau stock split awalnya harga saham 30.000/lot menjadi 6.000/lot dan di dalamnya ada PT BUMN? Apakah itu Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor? Kalau iya, sungguh mengerikan bagi swasta yang saham-sahamnya ada dimiliki PT BUMN. Padahal stock split itu kan hanya pemecahan saham yang tujuannya agar jumlah saham yang beredar menjadi bertambah dan harganya jadi lebih murah."
"Ibaratnya uang pecahan 100.000 dipecah sebanyak 10 lembar tetap sama dengan 100.000. Jadi kasus Jiwasraya kemarin mau tak mau sudah jadi Yurisprudensi Mahkamah Agung karena semua terdakwa dinyatakan melakukan Tipikor yang merugikan negara gegara harga saham turun. Bahaya ini. Harusnya penegakkan hukum kasus Jiwasraya dan Asabri lebih hati-hati," sambungnya.
Menurutnya kalaupun ada PMN atau penyertaan modal negara yang masuk ke Asabri pun tetap saja tidak merugikan negara karena penyertaan modal negara ketika diterima PT BUMN maka langsung otomatis milik PT BUMN sebagai korporasi, tidak ada lagi kaitan dengan keuangan negara karena PMN sudah dipisahkan dari APBN dan dikelola secara korporasi.
Argumentasi tersebut diperkuat Pasal 1 ayat 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
"Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi. Jadi, tidak seharusnya Kejagung mengusut kasus Asabri sebagai kasus tindak pidana korupsi," kata tandasnya.
Sebelumnya diketahui bahwa pekan ini Kejagung menetapkan tersangka ke-10 dari kasus dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang di PT Asabri (Persero). Tersangka baru ini adalah TT atau Teddy Tjokrosaputro, Presiden Direktur PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO).
Teddy merupakan adik dari tersangka sebelumnya, Benny Tjokrosaputro (Bentjok). Dia diduga turut melakukan upaya yang sama atas perusahaan dana pensiun TNI/Polri ini.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer mengatakan Teddy Tjokrosaputro terlibat dalam kasus pencucian uang Asabri. Ia punya andil pada periode 2012-2019.
Praktisi Hukum, Ricky Vinando menilai kasus Asabri bukan sebagai kasus tindak pidana korupsi. Sebab menurutnya kasus Asabri tidak ada unsur pidananya.
"Saya heran kenapa kasus Asabri dijadikan kasus korupsi yang merugikan negara hingga kerugian Rp23 triliun di rentang 2012-2019. Apa dasarnya ini jadi kasus tindak pidana korupsi? Bapak Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jampidsus Ali Mukartono apakah Bapak tahu bahwa sejak era Menteri BUMN Mustafa Abubakar (2009-2011), Anggaran Dasar Asabri sudah direvisi dengan menghilangkan kewajiban Asabri menyetorkan dividen kepada negara?" ujar Ricky dalam siaran persnya, Minggu (29/8/2021).
"Lalu dengan Anggaran Dasar Asabri sudah tidak lagi mewajibkan setor dividen dan itu sudah menjadi kebijakan resmi yang berlaku sejak Kementerian BUMN era Mustafa Abubakar, jadi bagaimana bisa negara tetap rugi?" sambungnya.
Menurutnya, dengan adanya kebijakan sejak era Menteri BUMN Mustafa Abubakar bahkan masih berlaku hingga saat ini termasuk pula pada Taspen tak wajib membayar dividen kepada negara maka sangat salah dan keliru menjadikan Asabri sebagai kasus pidana korupsi. Sebab kasus Asabri tidak ada unsur pidananya apabila kewajiban dividen sudah dihilangkan atau dihapus.
"Tidak ada unsur pidananya, ini bukan tindak pidana. Sehingga, tidak ada negara rugi 1 rupiah pun karena di dalam Anggaran Dasar Asabri sudah dihilangkan kewajiban Asabri menyetor dividen sebelum terjadinya kasus Asabri yang baru mulai terjadi pada 2012. Pak Teddy Tjokro dan Pak Benny Tjokro bisa menghadirkan mantan Menteri BUMN Mustafa Abubakar sebagai saksi yang merigankan saat kasus Asabri disidangkan."
"Karena di era Menteri BUMN Mustafa Abubakar sudah ditetapkan kebijakan bahwa Asabri bahkan Taspen sudah tidak lagi memiliki kewajiban setor dividen kepada negara, sehingga apabila Asabri rugi otomatis tidak merugikan negara jadi bukan kasus korupsi in," imbuhnya.
Dia melanjutkan harusnya mantan Dirut Asabri, Adam Damiri yang juga jadi tersangka kasus Asabri bisa membuka semuanya terutama soal Anggaran Dasar Asabri. Dia tidak mengetahui apakah Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jampidsus Ali Mukartono dan Ketua BPK Agung Firman Sampurna tidak tahu atau benar-benar lupa bahwa negara sendiri melalui Kementerian BUMN era Mustafa Abubakar memiliki kebijakan negara tidak lagi mewajibkan Asabri setor dividen.
"Anggaran Dasar tentang tak wajib dividen itu masih berlaku sampai saat ini. Jadi dengan demikian kenapa bisa masih rugi? Harusnya Menteri BUMN, Pak Erick Thohir buka ini ke publik soal Anggaran Dasar Asabri tersebut, bagaimana ini Pak Erick Thohir," tambahnya.
Dirinya mengatakan kasus Asabri ini terkait adanya penurunan harga saham termasuk saham-saham yang mengisi reksadana dan ini malah jadi kasus pidana sehingga berbahaya bagi kelangsungan investasi di Tanah Air ke depannya.
"Terlalu bahaya bagi dunia pasar modal Tanah Air. Tidak bagus buat kesehatan investasi Indonesia karena sejak adanya putusan kasasi kasus Jiwasraya dimana 2 swasta dihukum seumur hidup, maka sudah lahir Yurisprudensi Mahkamah Agung di mana beli saham lalu turun dan kebetulan yang beli adalah perusahaan BUMN maka jadi kasus korupsi. Ini bahaya. Sudah menganggu psikologi investor swasta karena ngeri juga kalau saham perusahaan swastanya dimiliki perusahaan BUMN lalu harga saham turun dianggap kasus korupsi," tandasnya.
Dirinya pun juga mempertanyakan apakah beberapa aksi korporasi yang biasa dilakukan perusahaan swasta yang berkaitan dengan peredaran saham di pasar bursa yang berakibat pada nilai saham turun apakah dapat dikategorikan merugikan negara jika ada BUMN yang memiliki saham swasta tersebut.
"Bagaimana kalau stock split awalnya harga saham 30.000/lot menjadi 6.000/lot dan di dalamnya ada PT BUMN? Apakah itu Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor? Kalau iya, sungguh mengerikan bagi swasta yang saham-sahamnya ada dimiliki PT BUMN. Padahal stock split itu kan hanya pemecahan saham yang tujuannya agar jumlah saham yang beredar menjadi bertambah dan harganya jadi lebih murah."
"Ibaratnya uang pecahan 100.000 dipecah sebanyak 10 lembar tetap sama dengan 100.000. Jadi kasus Jiwasraya kemarin mau tak mau sudah jadi Yurisprudensi Mahkamah Agung karena semua terdakwa dinyatakan melakukan Tipikor yang merugikan negara gegara harga saham turun. Bahaya ini. Harusnya penegakkan hukum kasus Jiwasraya dan Asabri lebih hati-hati," sambungnya.
Menurutnya kalaupun ada PMN atau penyertaan modal negara yang masuk ke Asabri pun tetap saja tidak merugikan negara karena penyertaan modal negara ketika diterima PT BUMN maka langsung otomatis milik PT BUMN sebagai korporasi, tidak ada lagi kaitan dengan keuangan negara karena PMN sudah dipisahkan dari APBN dan dikelola secara korporasi.
Argumentasi tersebut diperkuat Pasal 1 ayat 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
"Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi. Jadi, tidak seharusnya Kejagung mengusut kasus Asabri sebagai kasus tindak pidana korupsi," kata tandasnya.
Sebelumnya diketahui bahwa pekan ini Kejagung menetapkan tersangka ke-10 dari kasus dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang di PT Asabri (Persero). Tersangka baru ini adalah TT atau Teddy Tjokrosaputro, Presiden Direktur PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO).
Teddy merupakan adik dari tersangka sebelumnya, Benny Tjokrosaputro (Bentjok). Dia diduga turut melakukan upaya yang sama atas perusahaan dana pensiun TNI/Polri ini.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer mengatakan Teddy Tjokrosaputro terlibat dalam kasus pencucian uang Asabri. Ia punya andil pada periode 2012-2019.
(kri)