Negara Harus Hadir untuk Tingkatkan Literasi Sejarah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Untuk meningkatkan kembali literasi sejarah , negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Apalagi, masih ada kecenderungan anak muda mengeksplorasi sejarah.
Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, pernah menggaungkan kalimat ‘Jasmerah’ atau dipanjangkan dengan kalimat "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Prinsip ini berlaku untuk semua orang, tak terkecuali anak muda. Sayangnya, banyak generasi muda yang justru berlaku sebaliknya alias tidak paham sejarah.
Sejarawan dan pendiri KHI (Komunitas Historia Indonesia) Asep Kambali menilai, nasionalisme anak-anak muda saat ini hanyalah nasionalisme semu belaka. Ia mengatakan hal tersebut terjadi karena saat ini banyak anak muda yang tidak mengetahui latar belakang Indonesia.
"Nasionalisme itu kan cinta Tanah Air. Bagaimana mau cinta, kalau sejarahnya saja tidak paham? Cinta kita ini tidak berdasar dan merupakan cinta yang semu jika tidak tahu apa yang terjadi di masa lampau. Apa arti nama Indonesia, siapa yang memberi nama Indonesia? Banyak anak muda yang tidak tahu," ujarnya.
Asep menambahkan, kurangnya literasi sejarah anak muda tak lepas dari pengaruh social media. Menurut Asep, generasi muda juga merupakan digital native, yang setiap hari berhadapan dengan platform digital. Oleh karena itu, ia menyarankan agar anak muda bisa bersikap cerdas dalam memilah informasi. "Telepon genggam pintar yang sekarang dimiliki, harus bisa dimanfaatkan untuk mencari sumber bacaan berbobot. Jangan melulu main sosmed dan game. Boleh saja, asal waktunya seimbang dengan belajar," kataAsep.
Namun, Asep juga tak menampik bahwa ada masih ada kecenderungan anak muda untuk mengeksplorasi sejarah. Menurutnya, hal itu dipicu dari bermunculannya komunitas-komunitas sejarah. "Sejak 2017, bermunculan puluhan bahkan ratusan komunitas-komunitas sejarah di Indonesia. Mereka melakukan eksplorasi tempat bersejarah dan membuat wisata edukasi," ujar Asep kepada MPI, Rabu (18/8/2021).
Menjamurnya banyak komunitas sejarah di tahun tersebut lantaran pemerintah, melalui Direktorat Sejarah Kemendikbud membiayai kegiatan komunitas melalui program bantuan pemerintah. Setiap komunitas diberi sokongan dana dengan nominal yang berbeda-beda, berkisar antara Rp50 juta hingga Rp150 juta. Akan tetapi, komunitas-komunitas itu kini layu. Sebab, pemerintah memutuskan untuk menghapus Direktorat Sejarah pada Januari 2020. Maka, hilang pula program bantuan itu
Untuk meningkatkan kembali literasi sejarah tersebut, Asep menyarankan agar negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Ia memberikan usulan untuk membuat UU Kesejarahan, UU Kemuseuman dan pembentuan Dewan Sejarah Nasional. Nantinya, ada sebuah buku pedoman sejarah yang memang dihasilkan dari diskusi dan pemikiran Dewan Sejarah itu.
"Biarkan mereka bekerja. Buku itu nanti harus dibaca oleh siapa pun. Gubernur, PNS, dan pihak lain sebagai acuan. Baik buruknya fakta, pahit manisnya kenyataan, harus tertuang di dalam buku itu. Supaya semuanya jelas dan kita semakin mencintai negara ini,” katanya.
Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, pernah menggaungkan kalimat ‘Jasmerah’ atau dipanjangkan dengan kalimat "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Prinsip ini berlaku untuk semua orang, tak terkecuali anak muda. Sayangnya, banyak generasi muda yang justru berlaku sebaliknya alias tidak paham sejarah.
Sejarawan dan pendiri KHI (Komunitas Historia Indonesia) Asep Kambali menilai, nasionalisme anak-anak muda saat ini hanyalah nasionalisme semu belaka. Ia mengatakan hal tersebut terjadi karena saat ini banyak anak muda yang tidak mengetahui latar belakang Indonesia.
"Nasionalisme itu kan cinta Tanah Air. Bagaimana mau cinta, kalau sejarahnya saja tidak paham? Cinta kita ini tidak berdasar dan merupakan cinta yang semu jika tidak tahu apa yang terjadi di masa lampau. Apa arti nama Indonesia, siapa yang memberi nama Indonesia? Banyak anak muda yang tidak tahu," ujarnya.
Asep menambahkan, kurangnya literasi sejarah anak muda tak lepas dari pengaruh social media. Menurut Asep, generasi muda juga merupakan digital native, yang setiap hari berhadapan dengan platform digital. Oleh karena itu, ia menyarankan agar anak muda bisa bersikap cerdas dalam memilah informasi. "Telepon genggam pintar yang sekarang dimiliki, harus bisa dimanfaatkan untuk mencari sumber bacaan berbobot. Jangan melulu main sosmed dan game. Boleh saja, asal waktunya seimbang dengan belajar," kataAsep.
Namun, Asep juga tak menampik bahwa ada masih ada kecenderungan anak muda untuk mengeksplorasi sejarah. Menurutnya, hal itu dipicu dari bermunculannya komunitas-komunitas sejarah. "Sejak 2017, bermunculan puluhan bahkan ratusan komunitas-komunitas sejarah di Indonesia. Mereka melakukan eksplorasi tempat bersejarah dan membuat wisata edukasi," ujar Asep kepada MPI, Rabu (18/8/2021).
Menjamurnya banyak komunitas sejarah di tahun tersebut lantaran pemerintah, melalui Direktorat Sejarah Kemendikbud membiayai kegiatan komunitas melalui program bantuan pemerintah. Setiap komunitas diberi sokongan dana dengan nominal yang berbeda-beda, berkisar antara Rp50 juta hingga Rp150 juta. Akan tetapi, komunitas-komunitas itu kini layu. Sebab, pemerintah memutuskan untuk menghapus Direktorat Sejarah pada Januari 2020. Maka, hilang pula program bantuan itu
Untuk meningkatkan kembali literasi sejarah tersebut, Asep menyarankan agar negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Ia memberikan usulan untuk membuat UU Kesejarahan, UU Kemuseuman dan pembentuan Dewan Sejarah Nasional. Nantinya, ada sebuah buku pedoman sejarah yang memang dihasilkan dari diskusi dan pemikiran Dewan Sejarah itu.
"Biarkan mereka bekerja. Buku itu nanti harus dibaca oleh siapa pun. Gubernur, PNS, dan pihak lain sebagai acuan. Baik buruknya fakta, pahit manisnya kenyataan, harus tertuang di dalam buku itu. Supaya semuanya jelas dan kita semakin mencintai negara ini,” katanya.
(zik)