Pakar Hukum Tata Negara Pertanyakan Urgensi Amendemen UUD 1945

Sabtu, 21 Agustus 2021 - 06:43 WIB
loading...
Pakar Hukum Tata Negara...
Pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan Yusuf mempertanyakan urgensi wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bakal memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Ilustrasi/Dok SINDOnews
A A A
BANDUNG - Pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan Yusuf mempertanyakan urgensi wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bakal memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Menurut Asep, tidak ada urgensi atau kondisi darurat yang mengharuskan amendemen UUD 1945 itu dilakukan.

Hal itu, kata Asep, menjadi alasan pertama amendemen UUD 1945 tak perlu dilakukan. "Apa urgensinya? memang belum ada urgensi yang sangat tinggi. Kan ada derajat normal, ada derajat tinggi, ada derajat mendesak. Bahkan, ujung-ujungnya ada dalam keadaan darurat. Kalau darurat, tidaklah. Mendesak pun memang dipertanyakan. Itu juga dipertanyakan orang, apa sih urgensinya kita harus mengubah Undang-Undang Dasar," beber Asep, Jumat (20/8/2021).

Asep menilai, secara waktu, pembahasan amendemen UUD 1945 jika dilakukan dalam waktu dekat ini sangat tidak tepat. Menurutnya, urgensi yang saat ini harus diselesaikan adalah bagaimana mengatasi kondisi ekonomi dan kesehatan yang tengah terpuruk akibat pandemi Covid-19.

"Jadi, hemat saya dari substansi memang kita masih bisa perdebatkan perlunya ada GBHN, secara timing atau waktu tidak pas. Kenapa tidak pas, karena urgensi sekarang ini adalah bagaimana mengatasi ekonomi yang sedang terpuruk. Walaupun ada 7 persen orang bilang itu kan sekadar angka, tapi masyarakat sekarang sedang berat. Kedua, sedang menangani Covid-19 ini. Kalau kita bicara Covid-19, berarti memerlukan konsentrasi dari semua lembaga-lembaga negara, agar kita lepas merdeka dari Covid-19 ini," jelasnya.



Alasan kedua, lanjut Asep, yakni tidak ada jaminan bahwa pembahasan amendemen UUD 1945 tidak akan melebar dan meluas ke mana-mana. Bahkan, Asep menilai, pembahasan amendemen UUD 1945 ini bisa menjadi pintu masuk wacana tentang masa jabatan presiden menjadi tiga periode seperti yang sudah santer di publik saat ini.

"Jangan-jangan ini pintu masuk mereka untuk nanti melebar juga ke sana. Kan tidak ada jaminan, kita makan bersama hari ini besok jadi lawan dalam politik mah. Jadi, hari ini mengatakan bahwa ini yang diubah itu TAP MPR, besok lusa di MPR berubah sekalian saja dengan masa jabatan presiden jadi tiga periode, bisa jadi melebar," ungkap dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) ini.

Alasan ketiga, yakni pembahasan amendemen UUD 1945 bisa melemahkan sistem presidensial. Wacana pembahasan amendemen UUD 1945 yang memasukkan PPHN dinilai akan melemahkan posisi presiden karena adanya haluan negara yang ditetapkan di pundak presiden, tapi dikontrol ketat oleh parlemen (MPR, DPR, dan DPD).

"Kalau seandainya dia masih tidak berubah strukturnya, bisa menjadi melemahkan presidensial. Hal ini bisa melemahkan sisi presidensial atau paling tidak akan mengubah kriteria karateristik presidensial yang kita anut dalam Undang-Undang Dasar," jelasnya.

Terkait pembahasan PPHN, Asep menyarankan apabila Ketua MPR bersikeras ingin memasukkan haluan negara, sebaiknya tetap menggunakan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Menurutnya, jika UU tersebut masih memiliki kekurangan, sebaiknya ubah saja UU tersebut ketimbang harus mengamendemen UUD 1945.



"Ada konsekuensi, ketika dulu ada GBHN itu kan Presiden sebagai mandataris, maka letaknya posisi struktur ketatanegaraannya MPR paling atas lembaga tertinggi. Nah itu sekarang dia membuat PPHN, tapi yang sederajat dengan pemerintah. Walaupun ini sebenarnya multifungsi, tapi orang lihat kan akan dipersoalkan rujukan hukumnya ketika dia membuat PPHN itu yang dilaksanakan oleh presiden. Apa bedanya dengan undang-undang kalau begitu," kata Asep dengan nada tanya.

"Ini kompleksitas ketatanegaraan, jadi hemat saya MPR harusnya memang menyiapkan saja dulu, jangan sekarang. Konsep-konsepnya, substansinya seperti apa, mau dibawa ke mana negara ini kalau GBHN. Nanti misalnya pada saat pemilu berikutnya diserahkan kepada MPR yang akan datang mudah-mudahan suasananya lebih tenang, lebih kondusif. Jangan sekarang," tandas Asep.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1432 seconds (0.1#10.140)