Kombinasi Vaksin Jadi Harapan Baru
loading...
A
A
A
“Ujicoba dalam populasi terbatas kemudian dilihat antibodinya mana yang memberikan antibodi paling baik dari semua kombinai vaksin yang kita beli,” ungkapnya.
Miko menegaskan tidak ada efek samping tertentu jika melakukan kombinasi vaksin. Hanya saja, efektivitas dari kombinasi tersebut yang harus diperhatikan. “Tidak bahaya dan tidak ada efek sampingnya,” katanya.
Sayangnya, WHO belum memberikan restu untuk mencampurkan dan mengombinasikan vaksin. WHO menyebut hal itu sebagai tren berbahaya karena tidak ada data penelitian yang kuat. WHO menentang langkah itu karena khawatir pemerintah mengizinkan warganya untuk menyuntikkan dosis ketiga hingga keempat.
Baca juga: MNC Peduli Kembali Buka Sentra Vaksinasi Dosis ke-2, Daftar Segera di Sini!
Di Indonesia, Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/4/423/2021 memerintahkan pemberian vaksin yang sama pada dosis pertama dan kedua.
Namun Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eikjkmen Amin Soebandrio lebih menyarankan untuk tidak melakukan kombinasi vaksin. Terkecuali, kombinasi vaksin memiliki dasar platform yang sama. Dia menegaskan, lazimnya untuk vaksin priming yaitu suntikan pertama dan kedua menggunakan vaksin yang sama. Baru untuk penguat (booster) bisa digunakan vaksin berbeda.
Kombinasi vaksin bisa saja dilakukan sepanjang ada platform yang sama dan hal itu sudah diketahui dengan benar. Misalnya Pfizer dan Moderna itu menggunakan paltform yang sama yaitu mRNA sehingga bisa saja dilakukan kombinasi. Namun jika platformnya tidak sama maka sangat tidak disarankan dilakukan kombinasi. “Tidak disarankan (kombinasi) kalau platformnya beda. Tapi kalau sama seperti Pfizer dan Moderna mereka pakai mRNA ya bisa saja. Yang pertama pakai Pfizer, kedua Moderna atau dibalik. Intinya bisa dipertukarkan,” ungkapnya.
Namun untuk yang lain apalagi nanti kalau Sputnik masuk maka sangat tidak disarankan dilakukan kombinasi. Suntikan pertama dan kedua dari Sputnik harus benar-benar dan tidak bisa dipertukarkan. “Kalau pakai Sputnik dari Rusia tidak boleh dipertukarkan, pertama dan kedua harus benar,” tegasnya.
Jika melihat Jerman dan India yang melakukan kombinasi vaksin, Amin melihat mungkin hal itu dilakukan dalam populasi terbatas. Namun hal itu harus dibuktikan apakah benar meningkatkan antibodi atau tida. “Mungkin mereka mencoba baru dalam populasi kecil, tapi itu harus dibuktikan efektif atau tidak. Apakah antibodi naik atau tidak kalau dicampur,” ungkapnya.
Miko menegaskan tidak ada efek samping tertentu jika melakukan kombinasi vaksin. Hanya saja, efektivitas dari kombinasi tersebut yang harus diperhatikan. “Tidak bahaya dan tidak ada efek sampingnya,” katanya.
Sayangnya, WHO belum memberikan restu untuk mencampurkan dan mengombinasikan vaksin. WHO menyebut hal itu sebagai tren berbahaya karena tidak ada data penelitian yang kuat. WHO menentang langkah itu karena khawatir pemerintah mengizinkan warganya untuk menyuntikkan dosis ketiga hingga keempat.
Baca juga: MNC Peduli Kembali Buka Sentra Vaksinasi Dosis ke-2, Daftar Segera di Sini!
Di Indonesia, Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/4/423/2021 memerintahkan pemberian vaksin yang sama pada dosis pertama dan kedua.
Namun Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eikjkmen Amin Soebandrio lebih menyarankan untuk tidak melakukan kombinasi vaksin. Terkecuali, kombinasi vaksin memiliki dasar platform yang sama. Dia menegaskan, lazimnya untuk vaksin priming yaitu suntikan pertama dan kedua menggunakan vaksin yang sama. Baru untuk penguat (booster) bisa digunakan vaksin berbeda.
Kombinasi vaksin bisa saja dilakukan sepanjang ada platform yang sama dan hal itu sudah diketahui dengan benar. Misalnya Pfizer dan Moderna itu menggunakan paltform yang sama yaitu mRNA sehingga bisa saja dilakukan kombinasi. Namun jika platformnya tidak sama maka sangat tidak disarankan dilakukan kombinasi. “Tidak disarankan (kombinasi) kalau platformnya beda. Tapi kalau sama seperti Pfizer dan Moderna mereka pakai mRNA ya bisa saja. Yang pertama pakai Pfizer, kedua Moderna atau dibalik. Intinya bisa dipertukarkan,” ungkapnya.
Namun untuk yang lain apalagi nanti kalau Sputnik masuk maka sangat tidak disarankan dilakukan kombinasi. Suntikan pertama dan kedua dari Sputnik harus benar-benar dan tidak bisa dipertukarkan. “Kalau pakai Sputnik dari Rusia tidak boleh dipertukarkan, pertama dan kedua harus benar,” tegasnya.
Jika melihat Jerman dan India yang melakukan kombinasi vaksin, Amin melihat mungkin hal itu dilakukan dalam populasi terbatas. Namun hal itu harus dibuktikan apakah benar meningkatkan antibodi atau tida. “Mungkin mereka mencoba baru dalam populasi kecil, tapi itu harus dibuktikan efektif atau tidak. Apakah antibodi naik atau tidak kalau dicampur,” ungkapnya.