Bahaisme
loading...
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
BAHAISME tidak dapat dipisahkan dari sejarah Babisme di Iran. Babisme adalah paham yang dicetuskan oleh Sayyid Ali Muhammad yang lahir di Syiraz, Iran, pada 20 Oktober 1819. Pada usia 24 tahun, Ali Muhammad mendeklarasikan dirinya sebagai Bab (Pintu), yang setiap orang harus melaluinya untuk mencapai hikmah dan nilai-nilai kebenaran tentang Imam Keduabelas (Imam Mahdi). Ali Muhammad tidak saja mengklaim dirinya sebagai Bab, bahkan pada 1848 dia mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi yang telah kembali dan membawa wahyu baru yang menggantikan ajaran Islam yang terkandung dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi.
Klaim Bab bahwa dirinya adalah Iman Mahdi tidak bisa diterima oleh pemerintah dan mayoritas rakyat Iran yang menganut doktrin Syi'ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Duabelas Imam) sebagai paham resmi keagamaan. Pemerintah dan mayoritas rakyat Iran meyakini bahwa Muhammad Al-Mahdi (Imam yang Keduabelas) adalah Imam Mahdi sejati. Muhammad Al-Mahdi sejak 329 H/941 M diyakini memasuki okultasi besar dan akan kembali ke dunia pada akhir zaman sebagai Imam Mahdi dengan tugas menegakkan keadilan dan ketertiban. Begitu juga klaim Bab bahwa siklus kenabian masih berlanjut dengan misinya dan penetapan kiblat baru ke arah kediamannya tidak dapat diterima pula oleh pemerintah dan mayoritas rakyat Iran yang meyakini –sebagaimana keyakinan kaum Muslim Sunni– kenabian telah berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad dan penetapan Ka'bah sebagai kiblat umat Islam. Merasa sangat cemas dengan pengaruh Bab yang semakin luas, pemerintah Iran mengambil tindakan keras dengan mengeksekusi mati Bab pada 10 Juli 1850.
Dari 1848-1853, kaum Babis memberontak terhadap pemerintah Iran di kota Mazandaran (Oktober 1848-Mei 1849), di Nayriz (Mei-Juni 1850 dan Oktober-Desember 1853), di Zanjan (Mei 1850-Januari 1851) dan di Teheran (1850). Semua pemberontakan ini ditumpas oleh pasukan pemerintah Iran dengan menggunakan kekerasan senjata, akibatnya banyak kaum Babis yang tewas. Pasca-eksekusi mati Bab dan pascapemberontakan, kaum Babis terlibat konflik internal, akibatnya mereka terpecah menjadi dua golongan, yaitu kaum Bahais dan kaum Azalis. Kaum Azalis dipimpin oleh Subhi Azal (saudara tiri Bahaullah) dan kelompok Bahais yang dipimpin oleh Bahaullah.
Dari Babisme ke Bahaisme
Nama asli Bahaullah adalah Mirza Husain Ali, dilahirkan pada 12 Nopember 1817 di Teheran. Ketika Bab mendeklarasikan misinya pada 1844, Mirza Husain Ali sangat mendukung misi Bab. Tidak seperti kebanyakan pemberontak kaum Babis lainnya yang dijatuhi hukuman mati, Mirza Husain Ali dibebaskan oleh pemerintah Iran dengan syarat harus meninggalkan Iran. Pada 1853, Mirza Husain Ali meninggalkan Iran dan hidup dalam pengasingan di Baghdad bersama keluarganya. Syah Iran mendesak penguasa Turki untuk memerintahkan Mirza Husain Ali agar pindah lebih jauh dari perbatasan Iran. Dia pun pindah ke Konstantinopel lalu ke Edirne pada 1863.
Mirza Husain Ali mendeklarasikan dirinya sebagai Bahaullah (Sang Wajah Kebesaran Tuhan) yang menurut dia kedatangannya telah diramalkan oleh Bab sebelumnya. Di pihak lain saudara tirinya, Subhi Azal, menolak klaim kepemimpinan Bahaullah, akibatnya terjadi konflik sengit antara keduanya. Karena dikhawatirkan menimbulkan gangguan terhadap stabilitas keamanan, pemerintah Turki mengusir kaum Bahais ke Akka dan kelompok Azalis ke Famagusta di Cyprus. Kemudisn Bahaullah pindah lagi ke Mazra'a dan di tempat ini dia menulis "Kitab Aqdas" (Kitab Paling Suci) yang berisi paham kepercayaannya. Dia kemudian pindah ke Bahji dan di kota ini dia meninggal dunia pada 29 Mei 1892.
Pasca kematian Bahaullah, mayoritas kaum Bahais mengakui Abbas Effendi (terkenal dengan nama Abdul Baha') sebagai penafsir sah ajaran ayahnya. Saudara laki-laki Abdul Baha', Muhammad Ali, menyainginya dengan membentuk kelompok tandingan dalam tubuh organisasi Baha'i, akan tetapi dia tidak memperoleh banyak pendukung. Abdul Baha' adalah anak laki-laki tertua Bahaullah yang setia mendampingi ayahnya selama dalam hidup pengasingan. Abdul Baha' melakukan perjalanan bersejarah dengan mengunjungi Mesir (1910), Paris dan London (1911), dan Amerika dan Eropa (dari 1912 – 1913). Ketika melawat ke Amerika Serikat, dia mengunjungi New York, Los Angeles dan San Fransisco serta kota-kota penting lainnya seraya memberikan khotbah di berbagai gereja, sinagog, dan tempat-tempat lainnya. Tujuan utama misinya adalah untuk melawan propaganda yang dilancarkan oleh para pendukung saudara laki-lakinya (Muhammad Ali), memperkuat eksistensi masyarakat Baha'i di Amerika dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat Baha'i di negara-negara Eropa. Abdul Baha' dipandang sebagai penyebar ajaran Baha'i di Amerika Serikat dan Eropa.
Ajaran Moral dan Sosial Bahaisme
Ajaran moral dan sosial Bahaisme telah diformulasi oleh Abdul Baha’ dan dapat disarikan sebagai berikut: (1) persatuan umat manusia; (2) perlunya suatu pencarian mandiri terhadap kebenaran; (3) kesatuan esensial agama; (4) perlunya bagi agama untuk mempromosikan persatuan; (5) perlunya keharmonisan antara ilmu pengetahuan dan agama; (6) persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita; (7) oposisi terhadap segala macam sikap dan tindakan buruk sangka, baik yang bersifat kebangsaan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya, (8) pencapaian perdamaian dunia; (9) Kewajiban untuk menyediakan sarana pendidikan yang bersifat universal dan terbuka bagi semua orang; (10) pemecahan yang didasarkan kepada agama terhadap masalah-masalah sosial, yang bertujuan untuk menghapus menumpuknya kekayaan yang berlebih-lebihan dan memberantas kemiskinan; dan (11) perlunya suatu undang-undang pengadilan internasional.
Bahaisme tidak memberikan aksentuasi yang jelas terhadap doktrin ketuhanan yang khas, akan tetapi mengarahkan perhatiannya kepada masalah moral dan sosial seperti kesatuan esensial agama. Bahaisme diterima dan berkembang di dunia Barat (Amerika Serikat dan Eropa), tetapi sudah lama terusir dari negeri asalnya, Iran, karena dinilai menyimpang dari ajaran Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Duabelas Imam) yang menjadi paham pemerintah dan rakyat Iran. Di Indonesia yang dikenal sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia dan dikenal sebagai dominan muslim sunni (pengikut ahlussunnah wal jama’ah), Bahaisme tidak banyak penganut dan pengikut.
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
BAHAISME tidak dapat dipisahkan dari sejarah Babisme di Iran. Babisme adalah paham yang dicetuskan oleh Sayyid Ali Muhammad yang lahir di Syiraz, Iran, pada 20 Oktober 1819. Pada usia 24 tahun, Ali Muhammad mendeklarasikan dirinya sebagai Bab (Pintu), yang setiap orang harus melaluinya untuk mencapai hikmah dan nilai-nilai kebenaran tentang Imam Keduabelas (Imam Mahdi). Ali Muhammad tidak saja mengklaim dirinya sebagai Bab, bahkan pada 1848 dia mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi yang telah kembali dan membawa wahyu baru yang menggantikan ajaran Islam yang terkandung dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi.
Klaim Bab bahwa dirinya adalah Iman Mahdi tidak bisa diterima oleh pemerintah dan mayoritas rakyat Iran yang menganut doktrin Syi'ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Duabelas Imam) sebagai paham resmi keagamaan. Pemerintah dan mayoritas rakyat Iran meyakini bahwa Muhammad Al-Mahdi (Imam yang Keduabelas) adalah Imam Mahdi sejati. Muhammad Al-Mahdi sejak 329 H/941 M diyakini memasuki okultasi besar dan akan kembali ke dunia pada akhir zaman sebagai Imam Mahdi dengan tugas menegakkan keadilan dan ketertiban. Begitu juga klaim Bab bahwa siklus kenabian masih berlanjut dengan misinya dan penetapan kiblat baru ke arah kediamannya tidak dapat diterima pula oleh pemerintah dan mayoritas rakyat Iran yang meyakini –sebagaimana keyakinan kaum Muslim Sunni– kenabian telah berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad dan penetapan Ka'bah sebagai kiblat umat Islam. Merasa sangat cemas dengan pengaruh Bab yang semakin luas, pemerintah Iran mengambil tindakan keras dengan mengeksekusi mati Bab pada 10 Juli 1850.
Dari 1848-1853, kaum Babis memberontak terhadap pemerintah Iran di kota Mazandaran (Oktober 1848-Mei 1849), di Nayriz (Mei-Juni 1850 dan Oktober-Desember 1853), di Zanjan (Mei 1850-Januari 1851) dan di Teheran (1850). Semua pemberontakan ini ditumpas oleh pasukan pemerintah Iran dengan menggunakan kekerasan senjata, akibatnya banyak kaum Babis yang tewas. Pasca-eksekusi mati Bab dan pascapemberontakan, kaum Babis terlibat konflik internal, akibatnya mereka terpecah menjadi dua golongan, yaitu kaum Bahais dan kaum Azalis. Kaum Azalis dipimpin oleh Subhi Azal (saudara tiri Bahaullah) dan kelompok Bahais yang dipimpin oleh Bahaullah.
Dari Babisme ke Bahaisme
Nama asli Bahaullah adalah Mirza Husain Ali, dilahirkan pada 12 Nopember 1817 di Teheran. Ketika Bab mendeklarasikan misinya pada 1844, Mirza Husain Ali sangat mendukung misi Bab. Tidak seperti kebanyakan pemberontak kaum Babis lainnya yang dijatuhi hukuman mati, Mirza Husain Ali dibebaskan oleh pemerintah Iran dengan syarat harus meninggalkan Iran. Pada 1853, Mirza Husain Ali meninggalkan Iran dan hidup dalam pengasingan di Baghdad bersama keluarganya. Syah Iran mendesak penguasa Turki untuk memerintahkan Mirza Husain Ali agar pindah lebih jauh dari perbatasan Iran. Dia pun pindah ke Konstantinopel lalu ke Edirne pada 1863.
Mirza Husain Ali mendeklarasikan dirinya sebagai Bahaullah (Sang Wajah Kebesaran Tuhan) yang menurut dia kedatangannya telah diramalkan oleh Bab sebelumnya. Di pihak lain saudara tirinya, Subhi Azal, menolak klaim kepemimpinan Bahaullah, akibatnya terjadi konflik sengit antara keduanya. Karena dikhawatirkan menimbulkan gangguan terhadap stabilitas keamanan, pemerintah Turki mengusir kaum Bahais ke Akka dan kelompok Azalis ke Famagusta di Cyprus. Kemudisn Bahaullah pindah lagi ke Mazra'a dan di tempat ini dia menulis "Kitab Aqdas" (Kitab Paling Suci) yang berisi paham kepercayaannya. Dia kemudian pindah ke Bahji dan di kota ini dia meninggal dunia pada 29 Mei 1892.
Pasca kematian Bahaullah, mayoritas kaum Bahais mengakui Abbas Effendi (terkenal dengan nama Abdul Baha') sebagai penafsir sah ajaran ayahnya. Saudara laki-laki Abdul Baha', Muhammad Ali, menyainginya dengan membentuk kelompok tandingan dalam tubuh organisasi Baha'i, akan tetapi dia tidak memperoleh banyak pendukung. Abdul Baha' adalah anak laki-laki tertua Bahaullah yang setia mendampingi ayahnya selama dalam hidup pengasingan. Abdul Baha' melakukan perjalanan bersejarah dengan mengunjungi Mesir (1910), Paris dan London (1911), dan Amerika dan Eropa (dari 1912 – 1913). Ketika melawat ke Amerika Serikat, dia mengunjungi New York, Los Angeles dan San Fransisco serta kota-kota penting lainnya seraya memberikan khotbah di berbagai gereja, sinagog, dan tempat-tempat lainnya. Tujuan utama misinya adalah untuk melawan propaganda yang dilancarkan oleh para pendukung saudara laki-lakinya (Muhammad Ali), memperkuat eksistensi masyarakat Baha'i di Amerika dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat Baha'i di negara-negara Eropa. Abdul Baha' dipandang sebagai penyebar ajaran Baha'i di Amerika Serikat dan Eropa.
Ajaran Moral dan Sosial Bahaisme
Ajaran moral dan sosial Bahaisme telah diformulasi oleh Abdul Baha’ dan dapat disarikan sebagai berikut: (1) persatuan umat manusia; (2) perlunya suatu pencarian mandiri terhadap kebenaran; (3) kesatuan esensial agama; (4) perlunya bagi agama untuk mempromosikan persatuan; (5) perlunya keharmonisan antara ilmu pengetahuan dan agama; (6) persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita; (7) oposisi terhadap segala macam sikap dan tindakan buruk sangka, baik yang bersifat kebangsaan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya, (8) pencapaian perdamaian dunia; (9) Kewajiban untuk menyediakan sarana pendidikan yang bersifat universal dan terbuka bagi semua orang; (10) pemecahan yang didasarkan kepada agama terhadap masalah-masalah sosial, yang bertujuan untuk menghapus menumpuknya kekayaan yang berlebih-lebihan dan memberantas kemiskinan; dan (11) perlunya suatu undang-undang pengadilan internasional.
Bahaisme tidak memberikan aksentuasi yang jelas terhadap doktrin ketuhanan yang khas, akan tetapi mengarahkan perhatiannya kepada masalah moral dan sosial seperti kesatuan esensial agama. Bahaisme diterima dan berkembang di dunia Barat (Amerika Serikat dan Eropa), tetapi sudah lama terusir dari negeri asalnya, Iran, karena dinilai menyimpang dari ajaran Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Duabelas Imam) yang menjadi paham pemerintah dan rakyat Iran. Di Indonesia yang dikenal sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia dan dikenal sebagai dominan muslim sunni (pengikut ahlussunnah wal jama’ah), Bahaisme tidak banyak penganut dan pengikut.
(bmm)