Aliansi Kebangsaan Ingatkan Lemah Tata Kelola Bisa Memicu Negara Gagal
loading...
A
A
A
"Kalau kita ikuti rekam jejak para pendiri bangsa ketika merancang sistem ketata-negaraan kita, sesungguhnya telah mempertimbangkan hal ini. Sekali pun pada saat itu sudah ada model sistem pemerintahan negara yang berlaku secara universal, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer, namun mereka tidak serta merta memilih salah satu di antaranya, melainkan lebih memilih suatu sistem yang khas Indonesia yang disebutnya sebagai "sistem sendiri" dalam bangunan Negara Pancasila," kata Pontjo.
Walaupun para bapak bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan kompatibel bagi ke-Indonesiaan kita, diakui Pontjo, sampai saat ini masih menjadi perdebatan bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format sistem yang tepat yang sesuai dengan kondisi objektif bangsa yang heterogen (secara sosial-ekonomi, geografis) dan multikultural (secara ras, etnik, agama, budaya).
Merumuskan pilihan sistem ketatanegaraan yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultur dalam rangka memperkuat peran Negara (state-building) tentu sangat penting, agar Indonesia tidak salah urus dan menjadi negara gagal sebagaimana diperingatkan oleh para pemikir seperti saya sampaikan tadi. Namun membangun kebangsaan (nation-building) juga sama pentingnya karena bangsa Indonesia justru ada sebelum Indonesia lahir sebagai nation-state.
"Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena tidak padunya antara kebutuhan untuk mengukuhkan kebangsaan melalui nation-building, dengan kebutuhan akan penguatan negara melalui state-building," kata Pontjo.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) yang juga Rektor UGM Prof Panut Mulyono mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keragaman suku, bangsa, budaya, agama secara geopolitik dapat menimbulkan banyak masalah dan tantangan. Terlebih di era reformasi dimana muncul intoleransi, korupsi, kasus narkoba dan kekerasan yang masih terus saja terjadi.
"Ini menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa kita kehilangan jatidiri dan karakter kebangsaannya," kata Prof Panut.
Karena itu kita harus mulai menguatkan kembali sikap dan perilaku dengan menjiwai Pancasila, sehingga sebagai bangsa yang heterogen dapat mencapai kemajuan yang pesat sesuai cita-cita yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.
"Pancasila sebagai dasar falsafah, ideology dan pandangan hidup wajib diaktualisasikan dalam proses dan produk perundangan serta kebijakan penyelenggaraan negara," kata Prof Panut.
FGD tersebut menampilkan sejumlah narasumber yakni Prof Azyumardi Azra (Guru Besar UIN), Prof Siti Zuhro (Peneliti LIPI), Prof Eko Prasojo (Wakil Menteri PAN & RB), dan Prof Muradi (Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad).
Serial FGD itu sendiri diselenggarakan dalam rangka finalisasi buku dengan judul: “Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila”. Acara ini dirancang, selain untuk mendiskusikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam "uji sahih atau uji publik" agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis.
Walaupun para bapak bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan kompatibel bagi ke-Indonesiaan kita, diakui Pontjo, sampai saat ini masih menjadi perdebatan bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format sistem yang tepat yang sesuai dengan kondisi objektif bangsa yang heterogen (secara sosial-ekonomi, geografis) dan multikultural (secara ras, etnik, agama, budaya).
Merumuskan pilihan sistem ketatanegaraan yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultur dalam rangka memperkuat peran Negara (state-building) tentu sangat penting, agar Indonesia tidak salah urus dan menjadi negara gagal sebagaimana diperingatkan oleh para pemikir seperti saya sampaikan tadi. Namun membangun kebangsaan (nation-building) juga sama pentingnya karena bangsa Indonesia justru ada sebelum Indonesia lahir sebagai nation-state.
"Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena tidak padunya antara kebutuhan untuk mengukuhkan kebangsaan melalui nation-building, dengan kebutuhan akan penguatan negara melalui state-building," kata Pontjo.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) yang juga Rektor UGM Prof Panut Mulyono mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keragaman suku, bangsa, budaya, agama secara geopolitik dapat menimbulkan banyak masalah dan tantangan. Terlebih di era reformasi dimana muncul intoleransi, korupsi, kasus narkoba dan kekerasan yang masih terus saja terjadi.
"Ini menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa kita kehilangan jatidiri dan karakter kebangsaannya," kata Prof Panut.
Karena itu kita harus mulai menguatkan kembali sikap dan perilaku dengan menjiwai Pancasila, sehingga sebagai bangsa yang heterogen dapat mencapai kemajuan yang pesat sesuai cita-cita yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.
"Pancasila sebagai dasar falsafah, ideology dan pandangan hidup wajib diaktualisasikan dalam proses dan produk perundangan serta kebijakan penyelenggaraan negara," kata Prof Panut.
FGD tersebut menampilkan sejumlah narasumber yakni Prof Azyumardi Azra (Guru Besar UIN), Prof Siti Zuhro (Peneliti LIPI), Prof Eko Prasojo (Wakil Menteri PAN & RB), dan Prof Muradi (Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad).
Serial FGD itu sendiri diselenggarakan dalam rangka finalisasi buku dengan judul: “Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila”. Acara ini dirancang, selain untuk mendiskusikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam "uji sahih atau uji publik" agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis.