Aliansi Kebangsaan Ingatkan Lemah Tata Kelola Bisa Memicu Negara Gagal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Aliansi Kebangsaan , Pontjo Sutowo mengingatkan bahwa tata kelola negara yang lemah akan mendorong terjadinya negara gagal. Menurutnya, tata kelola (institusional politikal) merupakan salah kunci keberhasilan sebuah negara, di samping tata nilai (ranah mental spiritual) dan tata sejahtera (ranah material teknologikal).
Pontjo menjelaskan, penguatan terhadap ranah tata kelola sangat penting bagi kelangsungan hidup sebuah negara. Hal ini mengacu kepada pandangan Roterberg (2002)1 dan Noam Chomsky (2006)2 yang menegaskan bahwa negara bisa gagal karena lemahnya tata kelola negara, antara lain karena ketidakmampuan menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi-institusi demokrasi serta mempertahankan hak-hak warga negaranya.
Ia melanjutkan, pendapat senada juga disampaikan oleh Acemoglu dan Robinson dalam bukunya: "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty" (2012) bahwa kemajuan dan kemunduran suatu negara sangat ditentukan oleh desain institusi politik serta ekonominya. Tesis mereka, hanya dalam institusi politik dan ekonomi yang inklusif sebuah bangsa akan mampu mencapai kemakmurannya. Dan, institusi politik yang inklusif akan bekerja apabila ada kebebasan untuk berekspresi dan berinovasi.
Baca juga: Pengamat: Kritik Keras Cikeas Bersaudara "Negara Gagal" Anggap Saja Motivasi
"Kebebasan hanya akan tumbuh dimana kekuasaan negara (the power of state) dan masyarakat (the power of society) saling menyeimbangkan," kata Pontjo dalam FGD bertema 'Tata Kelola Negara Berdasarkan Paradigma Pancasila' yang digelar secara virtual, Rabu (11/8/2021).
Teori ini, menurutnya, memperkuat argumentasi pentingnya ruang bagi partisipasi rakyat secara aktif dalam kegiatan politik dan ekonomi. Karena itu, arah pembangunan tata kelola negara harus ditujukan juga untuk pemberdayaan rakyat melalui pengembangan partisipasi segenap elemen bangsa dalam berbagai bidang pembangunan.
Usaha ini, lanjut Pontjo, dapat dimulai dari pengembangan partisipasi rakyat dalam politik melalui perbaikan lembaga perwakilan dengan memperhatikan aspek keterwakilan (bukan hanya keterpilihan), perbaikan sistem Pemilu, peningkatan kapasitas wakil rakyat, serta perbaikan tata kelola perencanaan pembangunan nasional.
"Isu perbaikan lembaga perwakilan menjadi penting untuk kita diskusikan karena desain kelembagaan kita saat ini masih menyisakan berbagai pertanyaan seperti: lembaga perwakilan manakah yang berfungsi menyalurkan aspirasi dan kepentingan dari berbagai kelompok dalam masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikultur yang sebelumnya diwakili oleh Utusan Golongan, yang tidak sepenuhnya bisa diwakili oleh DPR dan DPD? Dan lembaga perwakilan mana yang berfungsi sebagai wadah untuk bermusyawarah seperti misalnya dalam menetapkan Haluan Negara yang berisi aspirasi seluruh lapisan masyarakat dan daerah sebagai kaidah penuntun (guiding principles) pembangunan nasional kita?," kata Pontjo.
Baca juga: Aliansi Kebangsaan Gelar Webinar Bedah Buku Karya Yudi Latif
Menurutnya, desain besar ketatanegaraan tentu harus berpijak pada ideologi dan dasar-dasar filosofis tujuan bernegara yaitu Pancasila yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. Karenanya, Pancasila haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia.
Berdasarkan paradigma Pancasila, pengembangan ranah tata kelola negara diarahkan untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).
Untuk merealisasikan hal itu, Pontjo menilai model dan sistem kelembagaan tata kelola Negara tentu tidak bisa dipungut sembarangan dari pengalaman negara-negara lain, melainkan harus disuling dari pengalaman kesejarahan dan budaya bangsa sendiri. Hal ini diperkuat pendapat Clayton M Christenson (2019) yang dikutip oleh Yudi Latif dalam bukunya "Wawasan Pancasila (2020)" bahwa institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan.
Pontjo menjelaskan, penguatan terhadap ranah tata kelola sangat penting bagi kelangsungan hidup sebuah negara. Hal ini mengacu kepada pandangan Roterberg (2002)1 dan Noam Chomsky (2006)2 yang menegaskan bahwa negara bisa gagal karena lemahnya tata kelola negara, antara lain karena ketidakmampuan menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi-institusi demokrasi serta mempertahankan hak-hak warga negaranya.
Ia melanjutkan, pendapat senada juga disampaikan oleh Acemoglu dan Robinson dalam bukunya: "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty" (2012) bahwa kemajuan dan kemunduran suatu negara sangat ditentukan oleh desain institusi politik serta ekonominya. Tesis mereka, hanya dalam institusi politik dan ekonomi yang inklusif sebuah bangsa akan mampu mencapai kemakmurannya. Dan, institusi politik yang inklusif akan bekerja apabila ada kebebasan untuk berekspresi dan berinovasi.
Baca juga: Pengamat: Kritik Keras Cikeas Bersaudara "Negara Gagal" Anggap Saja Motivasi
"Kebebasan hanya akan tumbuh dimana kekuasaan negara (the power of state) dan masyarakat (the power of society) saling menyeimbangkan," kata Pontjo dalam FGD bertema 'Tata Kelola Negara Berdasarkan Paradigma Pancasila' yang digelar secara virtual, Rabu (11/8/2021).
Teori ini, menurutnya, memperkuat argumentasi pentingnya ruang bagi partisipasi rakyat secara aktif dalam kegiatan politik dan ekonomi. Karena itu, arah pembangunan tata kelola negara harus ditujukan juga untuk pemberdayaan rakyat melalui pengembangan partisipasi segenap elemen bangsa dalam berbagai bidang pembangunan.
Usaha ini, lanjut Pontjo, dapat dimulai dari pengembangan partisipasi rakyat dalam politik melalui perbaikan lembaga perwakilan dengan memperhatikan aspek keterwakilan (bukan hanya keterpilihan), perbaikan sistem Pemilu, peningkatan kapasitas wakil rakyat, serta perbaikan tata kelola perencanaan pembangunan nasional.
"Isu perbaikan lembaga perwakilan menjadi penting untuk kita diskusikan karena desain kelembagaan kita saat ini masih menyisakan berbagai pertanyaan seperti: lembaga perwakilan manakah yang berfungsi menyalurkan aspirasi dan kepentingan dari berbagai kelompok dalam masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikultur yang sebelumnya diwakili oleh Utusan Golongan, yang tidak sepenuhnya bisa diwakili oleh DPR dan DPD? Dan lembaga perwakilan mana yang berfungsi sebagai wadah untuk bermusyawarah seperti misalnya dalam menetapkan Haluan Negara yang berisi aspirasi seluruh lapisan masyarakat dan daerah sebagai kaidah penuntun (guiding principles) pembangunan nasional kita?," kata Pontjo.
Baca juga: Aliansi Kebangsaan Gelar Webinar Bedah Buku Karya Yudi Latif
Menurutnya, desain besar ketatanegaraan tentu harus berpijak pada ideologi dan dasar-dasar filosofis tujuan bernegara yaitu Pancasila yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. Karenanya, Pancasila haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia.
Berdasarkan paradigma Pancasila, pengembangan ranah tata kelola negara diarahkan untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).
Untuk merealisasikan hal itu, Pontjo menilai model dan sistem kelembagaan tata kelola Negara tentu tidak bisa dipungut sembarangan dari pengalaman negara-negara lain, melainkan harus disuling dari pengalaman kesejarahan dan budaya bangsa sendiri. Hal ini diperkuat pendapat Clayton M Christenson (2019) yang dikutip oleh Yudi Latif dalam bukunya "Wawasan Pancasila (2020)" bahwa institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan.