Harus Minim Risiko, Kepala BRIN Ingin Transisi Tak Heboh
loading...
A
A
A
Haryono menjelaskan, ada dua pilihan integrasi, yakni soft dan hard integration. "Hard integration ini bisa kontraproduktif. Jadi keduanya harus dipakai. Tidak ada transformasi yang dilakukan secara mendadak, pasti bertahap," kata dia.
Wakil Rektor Bidang Inovasi, Bisnis, dan Kewirusahaan IPB University Profesor Erika Budiarti Laconi berharap BRIN dapat mensinergikan hasil karya dari lembaga iptek, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), lembaga pengkajian dan penerapan (jirap), badan usaha, dan penunjang.
Jika merujuk UU 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek, kata dia, BRIN harus mampu mengoptimalkan anggaran ke depan dengan skema penta helix. Dengan begitu, kata Erika, inovasi bukan hanya berupa karya tulis, tetapi produk yang bisa membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
“Selama ini semua lembaga jirap dan litbang kementerian duplikasi dalam riset. Risetnya juga belum tuntas. Jadi, harus kolaborasi dan sinergi. Artinya harus punya payung riset,” ucap Erika.
Berkaca dari Bappenas, kata dia, BRIN seharusnya menyusun program prioritas riset nasional dengan topik terseleksi. Sebagai Kepala Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB, Erika menyarankan, BRIN mempertimbangkan segi penerimaan dan kesukaan masyarakat, serta daya edar dalam seleksi uji kualitas inovasi.
Sebab, jelas dia, untuk inovasi tertentu harus pula selaras dengan regulasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Di sisi lain, BRIN harus membuat sistem informasi untuk mendata berbagai riset yang telah dikerjakan, hingga jenis peralatan dan lokasi. Sehingga mitra industri yang berkolaborasi tidak perlu lagi mengembangkan ekosistem riset dan berbagai alatnya.
“(Perlu) ada share resources. Tidak seluruh lembaga punya alat lengkap. Sehingga, tak perlu lagi kirim sampel ke luar negeri. Padahal di dalam negeri kita punya. Alat yang kita punya tadi, karena tidak pernah dipakai itu bisa rusak,” tutur Erika.
BRIN juga perlu memiliki mitra industri untuk menampung berbagai inovasi yang dihasilkan. LKST misalnya, kata dia, hasil inovasi yang potensial bakal diteruskan ke holding company (perusahaan induk) IPB yang memiliki 13 anak perusahaan. Selain itu, inovasi dari LKST juga bakal ditampung mitra industri lain, baik di dalam maupun luar negeri.
“Tentunya ini perjuangan berat karena berbagai paten itu (inovasi yang telah memiliki hak kekayaan intelektual) tidak serta merta industri menerima dan langsung diproduksi. Beberapa kali harus kita lakukan negoisasi dengan industri. Inilah yang sering kami sampaikan bahwa ada lembah kematian dari riset-riset kita kalau kita tidak terus berjuang,” ucapnya.
Senada, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, BRIN harus dapat mengoordinasikan semua hasil riset dan inovasi agar bisa bersaing dengan negara lain. Makanya, kata dia, setiap lembaga iptek harus bisa bermain dalam orkestrasi sesuai fungsi dan tugas masing-masing.
Wakil Rektor Bidang Inovasi, Bisnis, dan Kewirusahaan IPB University Profesor Erika Budiarti Laconi berharap BRIN dapat mensinergikan hasil karya dari lembaga iptek, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), lembaga pengkajian dan penerapan (jirap), badan usaha, dan penunjang.
Jika merujuk UU 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek, kata dia, BRIN harus mampu mengoptimalkan anggaran ke depan dengan skema penta helix. Dengan begitu, kata Erika, inovasi bukan hanya berupa karya tulis, tetapi produk yang bisa membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
“Selama ini semua lembaga jirap dan litbang kementerian duplikasi dalam riset. Risetnya juga belum tuntas. Jadi, harus kolaborasi dan sinergi. Artinya harus punya payung riset,” ucap Erika.
Berkaca dari Bappenas, kata dia, BRIN seharusnya menyusun program prioritas riset nasional dengan topik terseleksi. Sebagai Kepala Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB, Erika menyarankan, BRIN mempertimbangkan segi penerimaan dan kesukaan masyarakat, serta daya edar dalam seleksi uji kualitas inovasi.
Sebab, jelas dia, untuk inovasi tertentu harus pula selaras dengan regulasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Di sisi lain, BRIN harus membuat sistem informasi untuk mendata berbagai riset yang telah dikerjakan, hingga jenis peralatan dan lokasi. Sehingga mitra industri yang berkolaborasi tidak perlu lagi mengembangkan ekosistem riset dan berbagai alatnya.
“(Perlu) ada share resources. Tidak seluruh lembaga punya alat lengkap. Sehingga, tak perlu lagi kirim sampel ke luar negeri. Padahal di dalam negeri kita punya. Alat yang kita punya tadi, karena tidak pernah dipakai itu bisa rusak,” tutur Erika.
BRIN juga perlu memiliki mitra industri untuk menampung berbagai inovasi yang dihasilkan. LKST misalnya, kata dia, hasil inovasi yang potensial bakal diteruskan ke holding company (perusahaan induk) IPB yang memiliki 13 anak perusahaan. Selain itu, inovasi dari LKST juga bakal ditampung mitra industri lain, baik di dalam maupun luar negeri.
“Tentunya ini perjuangan berat karena berbagai paten itu (inovasi yang telah memiliki hak kekayaan intelektual) tidak serta merta industri menerima dan langsung diproduksi. Beberapa kali harus kita lakukan negoisasi dengan industri. Inilah yang sering kami sampaikan bahwa ada lembah kematian dari riset-riset kita kalau kita tidak terus berjuang,” ucapnya.
Senada, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, BRIN harus dapat mengoordinasikan semua hasil riset dan inovasi agar bisa bersaing dengan negara lain. Makanya, kata dia, setiap lembaga iptek harus bisa bermain dalam orkestrasi sesuai fungsi dan tugas masing-masing.