Jurnalisme untuk Kehidupan
loading...
A
A
A
Djaka Susila
Jurnalis
DARI judul di atas, seolah-olah jurnalisme sudah seperti kebutuhan pokok bagi manusia. Karena seolah menjadi kebutuhan pokok, kedudukan jurnalisme setara dengan makan dan minum, papan atau rumah, serta sandang atau pakaian. Kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Tanpa kebutuhan pokok, seperti hidup tanpa kehidupan.
Makna kebutuhan pokok bagi sebagian orang juga telah mengalami pergeseran. Bagi yang kantongnya tebal alias berduit, jalan-jalan atau rekreasi dimasukkan sebagai kebutuhan pokok. Pendidikan formal bisa jadi menjadi kebutuhan pokok. Hal-hal yang berkaitan dengan religiositas juga masuk ke kebutuhan pokok.
Nah, kembali pada judul di atas, kenapa jurnalisme menjadi kebutuhan pokok?
Judul atau tema di atas pernah saya sampaikan pada seminar, tepatnya webinar, di sebuah universtitas swasta di Bandung. Ini berkaitan dengan derasnya arus informasi saat ini akibat digitalisasi hampir di semua aspek kehidupan. Saya sengaja tidak menyampaikan materi jurnalistik pada umumnya (menjelaskan 5W1H atau menjelaskan news value dll) kepada para mahasiswa dan mahasiswi yang notabene adalah generasi penerus bangsa dan bumi ini. Memahami intisari jurnalisme di era derasnya arus informasi menurut saya lebih penting disampaikan terlebih dahulu. Tujuannya agar generasi penerus tersebut bisa bijak mengikuti derasnya arus informasi saat ini. Harapannya, kehidupan mereka dan masyarakat lebih berkualitas. Kemajuan teknologi informasi seperti mendorong manusia untuk memasukkan informasi sebagai kebutuhan dasar.
Layanan konten HootSuite bersama dengan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk Digital 2021 menyebutkan pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa atau sekitar 73,7% dari penduduk Indonesia (274,9 juta). Rentang umur yang menggunakan internet adalah 16-64 tahun dan masih dalam sumber yang sama, 98,3% dari pengakses internet tersebut menggunakan smartphone, bukan perangkat lain seperti PC/laptop, tablet, atau smartwatch.
Jumlah yang cukup fantastis. Apalagi jika kita menengok waktu yang digunakan untuk memakai internet. HootSuite dan We Are Social menyebutkan orang Indonesia menghabiskan 8 jam 52 menit untuk berselancar di internet. Media sosial menjadi favorit karena dikonsumsi sekitar 170 juta jiwa dengan rata-rata waktu yang dihabiskan 13 jam 14 menit.
Keterjangkauan akses internet pun tengah digenjot pemerintah melalui program Tol Langit atau Palapa Ring. Presiden Joko Widodo pada acara peluncuran konektivitas digital 2021 di Istana Negara pada Februari 2021 lalu meminta Kementerian Kominfo untuk meningkatkan utilitas infrastruktur digital di Indonesia yang baru 50%. Bahkan di Indonesia tengah dan timur baru 20%. Jika ini terus digenjot, pengguna internet di Indonesia akan semakin masif.
Derasnya arus informasi semestinya bisa menjadi berkah buat kita semua. Kemudahan mengakses informasi membuat kita akan semakin kaya pengetahuan. Namun memang di sela-sela berkah, ada ancaman yang justru membuat kita tersesat. Kementerian Kominfo menjelaskan sepanjang 23 Januari 2020 hingga 18 Juli 2021, ditemukan 1.763 isu hoaks tentang Covid-19 yang tersebar di dalam 3.817 postingan media sosial. Dari jumlah tersebut, 3.356 postingan di antaranya telah diturunkan. Parahnya, beberapa kelompok masyarakat yang berpengetahuan banyak juga yang terpapar hoaks atau berita bohong. Berita bohong bak racun. Ini bisa membuat derajat kewarasan kita sebagai manusia terjatuh. Memunculkan kegaduhan, kebencian, bahkan konflik. Bahkan berita bohong ini sengaja diciptakan untuk menyerang kepentingan pihak lain yang berseberangan pandangan.
Perputaran berita bohong ini juga semakin kencang karena mudahnya masyarakat kita membagikannya. Hanya dalam hitungan detik, berita bohong itu bisa tersebar ke ratusan bahkan ribuan orang.
Katadata Insight Center (KIC) bekerja sama dengan Kementerian Kominfo serta SiBerkreasi pada 2020 lalu menyebutkan 30% hingga hampir 60% orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses informasi. Namun hanya 21% sampai 36% yang mampu mengenali bahwa informasi yang diterima adalah hoaks atau berita bohong.
Media Massa sebagai Palang Pintu
Ketika informasi menjadi kebutuhan, masyarakat ingin mendapatkan asupan informasi yang berkualitas. Peran media massa tentu menjadi siginfikan. Sebagai institusi yang dilindungi undang-undang dan etika, media massa harus menjadi penyaring informasi. Awak media massa harus menjadi kurator informasi. Itulah yang membedakan media massa dan media sosial dalam proses menyebarkan informasi. Sayang, justru banyak media massa yang mengikuti gaya media sosial. Tanpa kurasi yang ketat, media massa sekadar mengejar user seperti karakter media sosial yang mengejar like atau retweet. Media massa harus menjadi palang pintu terdepan untuk menangkal berita bohong. Media massa harus berani menyajika berita yang bukan sekadar diinginkan masyarakat, tapi menyuguhkan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Di sisi lain, masyarakat harus membekali diri dengan jurnalisme. Salah satu cara bagi masyarakat menangkal berita bohong adalah memiliki sikap skeptis. Sikap yang mempertanyakan informasi tersebut. Ini adalah metode dasar seorang jurnalis mencari, mendapatkan, mengolah hingga menerbitkan informasi. Dalam buku Blur; Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi karya Bill Kovach danTom Rosenstiel (2012), cara ini bisa disebut skeptical knowing. Masih dalam buku yang sama dikatakan, ada beberapa langkah untuk bisa menjalankan skeptical knowing. Pertama adalah mengenali jenis konten yang dihadapi. Sebagai konsumen, masyarakat harus tahu jenis konten yang dihadapi apakah dari media massa---termasuk jenisnya---, media sosial, blog, vlog atau lainnya. Ini harus diidentifikasi terlebih dahulu.
Kedua, mempertanyakan apakah laporan informasi tersebut sudah lengkap dan ketiga adalah bagaimana menilai sumber informasi. Dalam jurnalisme sumber informasi bisa dari pernyataan seseorang (pejabat, tokoh, saksi, atau masyarakat), data, pandangan mata peristiwa dll. Ini harus dikenali untuk mengukur seberapa berhak sumber tersebut menjadi dasar sebuah informasi.
Keempat adalah mengevaluasi berita yang menyangkut peniliaian fakta. Bedakan antara memahami dengan mengamati. Juga penting membedakan antara kesimpulan (membuat hipotesis tentang arti sesuatu) dengan bukti (membuktikan dan mengesahhkan kesimpulan itu).
Langkah terakhir atau kelima adalah meneliti apakah kita mendapatkan apa yang kita perlukan dari berita pada umumnya. Setidaknya dengan cara di atas, kita semua bukan bagian yang mudah terpapar berita bohong.
Jurnalisme saat ini bukan hanya milik awak media massa. Di tengah perkembangan teknologi dan informasi, jurnalisme menjadi sebuah kebutuhan kehidupan. Tujuannya agar kualitas hidup kita (yang dibanjiri derasnya informasi) bisa lebih bermakna. Karena memang benar pernyataan Presiden Zach Herney dalam buku fiksi Deception Point (Dan Brown, 2017): tidak ada yang bisa menggantikan kebenaran. Sederas apa pun informasi saat ini, masyarakat kita berhak untuk mendapatkan kebenaran.
Jurnalis
DARI judul di atas, seolah-olah jurnalisme sudah seperti kebutuhan pokok bagi manusia. Karena seolah menjadi kebutuhan pokok, kedudukan jurnalisme setara dengan makan dan minum, papan atau rumah, serta sandang atau pakaian. Kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Tanpa kebutuhan pokok, seperti hidup tanpa kehidupan.
Makna kebutuhan pokok bagi sebagian orang juga telah mengalami pergeseran. Bagi yang kantongnya tebal alias berduit, jalan-jalan atau rekreasi dimasukkan sebagai kebutuhan pokok. Pendidikan formal bisa jadi menjadi kebutuhan pokok. Hal-hal yang berkaitan dengan religiositas juga masuk ke kebutuhan pokok.
Nah, kembali pada judul di atas, kenapa jurnalisme menjadi kebutuhan pokok?
Judul atau tema di atas pernah saya sampaikan pada seminar, tepatnya webinar, di sebuah universtitas swasta di Bandung. Ini berkaitan dengan derasnya arus informasi saat ini akibat digitalisasi hampir di semua aspek kehidupan. Saya sengaja tidak menyampaikan materi jurnalistik pada umumnya (menjelaskan 5W1H atau menjelaskan news value dll) kepada para mahasiswa dan mahasiswi yang notabene adalah generasi penerus bangsa dan bumi ini. Memahami intisari jurnalisme di era derasnya arus informasi menurut saya lebih penting disampaikan terlebih dahulu. Tujuannya agar generasi penerus tersebut bisa bijak mengikuti derasnya arus informasi saat ini. Harapannya, kehidupan mereka dan masyarakat lebih berkualitas. Kemajuan teknologi informasi seperti mendorong manusia untuk memasukkan informasi sebagai kebutuhan dasar.
Layanan konten HootSuite bersama dengan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk Digital 2021 menyebutkan pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa atau sekitar 73,7% dari penduduk Indonesia (274,9 juta). Rentang umur yang menggunakan internet adalah 16-64 tahun dan masih dalam sumber yang sama, 98,3% dari pengakses internet tersebut menggunakan smartphone, bukan perangkat lain seperti PC/laptop, tablet, atau smartwatch.
Jumlah yang cukup fantastis. Apalagi jika kita menengok waktu yang digunakan untuk memakai internet. HootSuite dan We Are Social menyebutkan orang Indonesia menghabiskan 8 jam 52 menit untuk berselancar di internet. Media sosial menjadi favorit karena dikonsumsi sekitar 170 juta jiwa dengan rata-rata waktu yang dihabiskan 13 jam 14 menit.
Keterjangkauan akses internet pun tengah digenjot pemerintah melalui program Tol Langit atau Palapa Ring. Presiden Joko Widodo pada acara peluncuran konektivitas digital 2021 di Istana Negara pada Februari 2021 lalu meminta Kementerian Kominfo untuk meningkatkan utilitas infrastruktur digital di Indonesia yang baru 50%. Bahkan di Indonesia tengah dan timur baru 20%. Jika ini terus digenjot, pengguna internet di Indonesia akan semakin masif.
Derasnya arus informasi semestinya bisa menjadi berkah buat kita semua. Kemudahan mengakses informasi membuat kita akan semakin kaya pengetahuan. Namun memang di sela-sela berkah, ada ancaman yang justru membuat kita tersesat. Kementerian Kominfo menjelaskan sepanjang 23 Januari 2020 hingga 18 Juli 2021, ditemukan 1.763 isu hoaks tentang Covid-19 yang tersebar di dalam 3.817 postingan media sosial. Dari jumlah tersebut, 3.356 postingan di antaranya telah diturunkan. Parahnya, beberapa kelompok masyarakat yang berpengetahuan banyak juga yang terpapar hoaks atau berita bohong. Berita bohong bak racun. Ini bisa membuat derajat kewarasan kita sebagai manusia terjatuh. Memunculkan kegaduhan, kebencian, bahkan konflik. Bahkan berita bohong ini sengaja diciptakan untuk menyerang kepentingan pihak lain yang berseberangan pandangan.
Perputaran berita bohong ini juga semakin kencang karena mudahnya masyarakat kita membagikannya. Hanya dalam hitungan detik, berita bohong itu bisa tersebar ke ratusan bahkan ribuan orang.
Katadata Insight Center (KIC) bekerja sama dengan Kementerian Kominfo serta SiBerkreasi pada 2020 lalu menyebutkan 30% hingga hampir 60% orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses informasi. Namun hanya 21% sampai 36% yang mampu mengenali bahwa informasi yang diterima adalah hoaks atau berita bohong.
Media Massa sebagai Palang Pintu
Ketika informasi menjadi kebutuhan, masyarakat ingin mendapatkan asupan informasi yang berkualitas. Peran media massa tentu menjadi siginfikan. Sebagai institusi yang dilindungi undang-undang dan etika, media massa harus menjadi penyaring informasi. Awak media massa harus menjadi kurator informasi. Itulah yang membedakan media massa dan media sosial dalam proses menyebarkan informasi. Sayang, justru banyak media massa yang mengikuti gaya media sosial. Tanpa kurasi yang ketat, media massa sekadar mengejar user seperti karakter media sosial yang mengejar like atau retweet. Media massa harus menjadi palang pintu terdepan untuk menangkal berita bohong. Media massa harus berani menyajika berita yang bukan sekadar diinginkan masyarakat, tapi menyuguhkan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Di sisi lain, masyarakat harus membekali diri dengan jurnalisme. Salah satu cara bagi masyarakat menangkal berita bohong adalah memiliki sikap skeptis. Sikap yang mempertanyakan informasi tersebut. Ini adalah metode dasar seorang jurnalis mencari, mendapatkan, mengolah hingga menerbitkan informasi. Dalam buku Blur; Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi karya Bill Kovach danTom Rosenstiel (2012), cara ini bisa disebut skeptical knowing. Masih dalam buku yang sama dikatakan, ada beberapa langkah untuk bisa menjalankan skeptical knowing. Pertama adalah mengenali jenis konten yang dihadapi. Sebagai konsumen, masyarakat harus tahu jenis konten yang dihadapi apakah dari media massa---termasuk jenisnya---, media sosial, blog, vlog atau lainnya. Ini harus diidentifikasi terlebih dahulu.
Kedua, mempertanyakan apakah laporan informasi tersebut sudah lengkap dan ketiga adalah bagaimana menilai sumber informasi. Dalam jurnalisme sumber informasi bisa dari pernyataan seseorang (pejabat, tokoh, saksi, atau masyarakat), data, pandangan mata peristiwa dll. Ini harus dikenali untuk mengukur seberapa berhak sumber tersebut menjadi dasar sebuah informasi.
Keempat adalah mengevaluasi berita yang menyangkut peniliaian fakta. Bedakan antara memahami dengan mengamati. Juga penting membedakan antara kesimpulan (membuat hipotesis tentang arti sesuatu) dengan bukti (membuktikan dan mengesahhkan kesimpulan itu).
Langkah terakhir atau kelima adalah meneliti apakah kita mendapatkan apa yang kita perlukan dari berita pada umumnya. Setidaknya dengan cara di atas, kita semua bukan bagian yang mudah terpapar berita bohong.
Jurnalisme saat ini bukan hanya milik awak media massa. Di tengah perkembangan teknologi dan informasi, jurnalisme menjadi sebuah kebutuhan kehidupan. Tujuannya agar kualitas hidup kita (yang dibanjiri derasnya informasi) bisa lebih bermakna. Karena memang benar pernyataan Presiden Zach Herney dalam buku fiksi Deception Point (Dan Brown, 2017): tidak ada yang bisa menggantikan kebenaran. Sederas apa pun informasi saat ini, masyarakat kita berhak untuk mendapatkan kebenaran.
(bmm)