Sosiolog UNJ: Ucapan Menag Yaqut soal Baha'i Kuatkan Sikap Negarawan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang memberikan ucapan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB kepada komunitas Baha'i sempat menuai pro kontra. Namun, di mata Robertus Robet, sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), sikap Menag Yaqut justru menunjukkan bentuk kenegarawanan yang kuat.
"Ini sikap negarawan yang patut diapresiasi. Karena di dalamnya ada keberanian untuk memulai suatu politik inklusivitas yang didasarkan atas rekognisi terhadap kelompok-kelompok minoritas di mana sebelumnya cenderung terpinggirkan," kata Robet di Jakarta, Sabtu (31/7/2021).
Robet pun heran dengan masih adanya sejumlah pihak yang mempersoalkan ucapan Menag Yaqut tersebut. Baginya, keberanian Menag secara terbuka memberikan ucapan kepada komunitas Baha'i justru telah mencerminkan pendirian negara yang inklusif. Di sinilah, terlihat jelas ada pengakuan otentik atas keberagaman di Indonesia.
Baca juga: Mengenal Agama Baha'i yang Diberikan Ucapan Selamat oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas
Dia meminta masyarakat Indonesia untuk tidak menutup mata atas keberagaman saat ini. Perbedaan-perbedaan itu juga telah lama ada, bahkan menjadi dasar dan semangat bangsa Indonesia untuk bersatu.
"Dan di sinilah signifikansi dari rekognisi Menag Yaqut atas komunitas Baha'i itu menjadi relevan. Perbedaan diakui dan dirayakan sebagai kekayaan Indonesia, bukan disembunyikan di bawah karpet," katanya.
Dari langkah Menag Yaqut tersebut, hakikatnya juga implementasi aspek pedagogis dalam kerangka mendorong masyarakat untuk berani hidup di tengah perbedaan dan saling menghargai. Sikap ini, menurutnya, perlu terus ditumbuhkan untuk memperkokoh persatuan bangsa.
Baca juga: Anwar Abbas MUI: Baha'i Tidak Masuk Daftar Agama yang Diakui Negara
Robet yang juga aktivis HAM ini menilai, masih adanya sekelompok masyarakat yang begitu resistensi dengan beragamnya agama di Indonesia ini terjadi lantaran efek kebijakan Orde Baru. Selama puluhan tahun Orde Baru, lanjut dia, masyarakat telanjur disosialisasikan untuk memandang agama-agama dalam diskursus yang formal.
"Agama sebagai kekayaan sosio-antropologis yang tumbuh hidup berkembang dalam masyarakat serta dinamis kurang diberi perhatian. Di titik ini pernyataan Menag itu menemukan relevansinya," tandas Robet.
Lebih dari itu, dia menilai sikap Menag juga perwujudan nyata dari apa yang menjadi komitmen besarnya selama ini, yakni mendorong moderasi dan toleransi. "Dengan menginklusikan agama-agama yang kecil, maka agama-agama besar tidak akan kehilangan dan kekurangan apa pun. Malah justru dengan itu nilai-nilai dari agama-agama yang lebih besar diperkuat," ujar alumnus Birmingham University tersebut.
"Ini sikap negarawan yang patut diapresiasi. Karena di dalamnya ada keberanian untuk memulai suatu politik inklusivitas yang didasarkan atas rekognisi terhadap kelompok-kelompok minoritas di mana sebelumnya cenderung terpinggirkan," kata Robet di Jakarta, Sabtu (31/7/2021).
Robet pun heran dengan masih adanya sejumlah pihak yang mempersoalkan ucapan Menag Yaqut tersebut. Baginya, keberanian Menag secara terbuka memberikan ucapan kepada komunitas Baha'i justru telah mencerminkan pendirian negara yang inklusif. Di sinilah, terlihat jelas ada pengakuan otentik atas keberagaman di Indonesia.
Baca juga: Mengenal Agama Baha'i yang Diberikan Ucapan Selamat oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas
Dia meminta masyarakat Indonesia untuk tidak menutup mata atas keberagaman saat ini. Perbedaan-perbedaan itu juga telah lama ada, bahkan menjadi dasar dan semangat bangsa Indonesia untuk bersatu.
"Dan di sinilah signifikansi dari rekognisi Menag Yaqut atas komunitas Baha'i itu menjadi relevan. Perbedaan diakui dan dirayakan sebagai kekayaan Indonesia, bukan disembunyikan di bawah karpet," katanya.
Dari langkah Menag Yaqut tersebut, hakikatnya juga implementasi aspek pedagogis dalam kerangka mendorong masyarakat untuk berani hidup di tengah perbedaan dan saling menghargai. Sikap ini, menurutnya, perlu terus ditumbuhkan untuk memperkokoh persatuan bangsa.
Baca juga: Anwar Abbas MUI: Baha'i Tidak Masuk Daftar Agama yang Diakui Negara
Robet yang juga aktivis HAM ini menilai, masih adanya sekelompok masyarakat yang begitu resistensi dengan beragamnya agama di Indonesia ini terjadi lantaran efek kebijakan Orde Baru. Selama puluhan tahun Orde Baru, lanjut dia, masyarakat telanjur disosialisasikan untuk memandang agama-agama dalam diskursus yang formal.
"Agama sebagai kekayaan sosio-antropologis yang tumbuh hidup berkembang dalam masyarakat serta dinamis kurang diberi perhatian. Di titik ini pernyataan Menag itu menemukan relevansinya," tandas Robet.
Lebih dari itu, dia menilai sikap Menag juga perwujudan nyata dari apa yang menjadi komitmen besarnya selama ini, yakni mendorong moderasi dan toleransi. "Dengan menginklusikan agama-agama yang kecil, maka agama-agama besar tidak akan kehilangan dan kekurangan apa pun. Malah justru dengan itu nilai-nilai dari agama-agama yang lebih besar diperkuat," ujar alumnus Birmingham University tersebut.
(abd)