Dewan Guru Besar UI Desak PP Nomor 75 Tahun 2021 Dicabut
loading...
A
A
A
DEPOK - Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) mendesak agar PP Nomor 75 tahun 2021 tentang Statuta UI dicabut. Pasalnya, PP tersebut berpotensi cacat formil dan materiil. Dalam Pasal 41 ayat (5) misalnya yang membahas soal pengangkatan dan/ atau memutuskan, namun tidak dibahas mengenai demosi.
Pasal lainnya yang dianggap bermasalah yaitu Pasal 39 huruf c PP 75/2021 yang merupakan perubahan dari Statuta UI berdasar PP 68/2013, khususnya Pasal 35 huruf c. Dalam PP 75 tertulis bahwa Rektor dan wakil Rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan dilarang merangkap sebagai direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta.
Sedangkan jika berdasar PP 68/2013 berbunyi Rektor dan wakil Rektor dilarang merangkap sebagai: pejabat pada badan usaha milik negara/daerah, maupun swasta. Menanggapi polemik tersebut, Guru Besar UI, Manneke Budiman berpendapat dalam penyusunan draft Statuta UI hanya melibatkan dua organ yaitu Rektor dan Majelis Wali Amanat (MWA).
Namun diberitakan seolah penyusunan tersebut telah melibatkan empat organ yaitu Rektor, MWA, DGB dan Senat Akademik (SA). ”Padahal kenyataannya yang terlibat hanyalah 2 organ (Rektor & MWA). Sedangkan DGB dan SA ditinggalkan,” kata Manneke dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (28/7/2021).
Berbagai pembelaan dilakukan oleh MWA dan Rektorat. Misalnya mengatakan bahwa proses penyusunannya telah dilakukan dengan proses yang benar dengan melibatkan empat organ. ”Padahal itu tidak benar,” tegasnya. Lalu muncul pembelaan bahwa terjadi deadlock dalam penyusunan yang diklaim melibatkan empat organ.
Karena deadlock itu maka Rektor dan MWA-lah yang memutuskan. ”Ketika dibuktikan bahwa tim revisi 4 organ UI sudah menyampaikan Draft Statuta ke pemerintah, draft sudah dibahas Tim 4 organ UI dengan Kemendikbud, dan tunjukkan bahwa tidak ada deadlock, muncul berita bahwa ini adalah politik hukum pemerintah,” ucapnya.
Manneke menuturkan, tidak mungkin pemerintah mengatur governance di UI sampai ke tingkat mikro. Terkait hal itu, lalu muncul lagi pembelaan dalam bentuk opini advokat rektor bahwa ini terjadi karena konflik kekuasaan. “Lucunya, yang dibahasnya pemberhentian Wakil rektor tahun lalu. Padahal tidak ada relevansi sama sekali dengan Statuta,” tegasnya.
Dia melihat ada hal lain dalam sisi ini. Dikatakan dia, bahwa istri sang advokat adalah anggota MWA yang sebenarnya sudah pensiun sebagai dosen dan seharusnya sudah keluar dari anggota MWA. Namun sampai saat ini masih bercokol dan tidak bersedia mundur dari MWA.
Terlebih lagi dia sudah menggugat Mendikbud karena usulan Guru Besarnya ditolak akibat kurang memenuhi persyaratan. Namun dia kalah di pengadilan. ”Oleh karena gugatan ditolak pengadilan, sekarang sang istri dan sang advokat menggugat eksistensi UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Mereka menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbudristek,” pungkasnya.
Pasal lainnya yang dianggap bermasalah yaitu Pasal 39 huruf c PP 75/2021 yang merupakan perubahan dari Statuta UI berdasar PP 68/2013, khususnya Pasal 35 huruf c. Dalam PP 75 tertulis bahwa Rektor dan wakil Rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan dilarang merangkap sebagai direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta.
Sedangkan jika berdasar PP 68/2013 berbunyi Rektor dan wakil Rektor dilarang merangkap sebagai: pejabat pada badan usaha milik negara/daerah, maupun swasta. Menanggapi polemik tersebut, Guru Besar UI, Manneke Budiman berpendapat dalam penyusunan draft Statuta UI hanya melibatkan dua organ yaitu Rektor dan Majelis Wali Amanat (MWA).
Namun diberitakan seolah penyusunan tersebut telah melibatkan empat organ yaitu Rektor, MWA, DGB dan Senat Akademik (SA). ”Padahal kenyataannya yang terlibat hanyalah 2 organ (Rektor & MWA). Sedangkan DGB dan SA ditinggalkan,” kata Manneke dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (28/7/2021).
Berbagai pembelaan dilakukan oleh MWA dan Rektorat. Misalnya mengatakan bahwa proses penyusunannya telah dilakukan dengan proses yang benar dengan melibatkan empat organ. ”Padahal itu tidak benar,” tegasnya. Lalu muncul pembelaan bahwa terjadi deadlock dalam penyusunan yang diklaim melibatkan empat organ.
Karena deadlock itu maka Rektor dan MWA-lah yang memutuskan. ”Ketika dibuktikan bahwa tim revisi 4 organ UI sudah menyampaikan Draft Statuta ke pemerintah, draft sudah dibahas Tim 4 organ UI dengan Kemendikbud, dan tunjukkan bahwa tidak ada deadlock, muncul berita bahwa ini adalah politik hukum pemerintah,” ucapnya.
Manneke menuturkan, tidak mungkin pemerintah mengatur governance di UI sampai ke tingkat mikro. Terkait hal itu, lalu muncul lagi pembelaan dalam bentuk opini advokat rektor bahwa ini terjadi karena konflik kekuasaan. “Lucunya, yang dibahasnya pemberhentian Wakil rektor tahun lalu. Padahal tidak ada relevansi sama sekali dengan Statuta,” tegasnya.
Dia melihat ada hal lain dalam sisi ini. Dikatakan dia, bahwa istri sang advokat adalah anggota MWA yang sebenarnya sudah pensiun sebagai dosen dan seharusnya sudah keluar dari anggota MWA. Namun sampai saat ini masih bercokol dan tidak bersedia mundur dari MWA.
Terlebih lagi dia sudah menggugat Mendikbud karena usulan Guru Besarnya ditolak akibat kurang memenuhi persyaratan. Namun dia kalah di pengadilan. ”Oleh karena gugatan ditolak pengadilan, sekarang sang istri dan sang advokat menggugat eksistensi UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Mereka menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbudristek,” pungkasnya.
(kri)