BP2MI Bahas Penataan Kelembagaan untuk Penguatan Pelindungan PMI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Penataan Kelembagaan untuk Penguatan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara virtual, Senin (19/7/2021).
Focus Group Discussion ini bertujuan untuk mengakomodir dan mencari solusi atas sejumlah permasalahan kompleks kelembagaan yang dialami BP2MI dalam upaya memberikan pelindungan kepada para PMI. Permasalahan tersebut antara lain adanya tumpah tindih (overlapping) atau dualisme kewenangan dan ego sektoral dengan kementerian/lembaga lainnya.
"Saat ini, BP2MI sedang mengupayakan untuk mendorong revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 90 Tahun 2020 tentang Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk memberikan penegasan tugas dan tanggung jawab Badan selaku operator dan Kementerian selaku regulator," kata Kepala BP2MI Benny Rhamdani di Jakarta pada diskusi tersebut.
Dia menjelaskan, secara implikatif permasalahan dualisme kewenangan dan ego sektoral tersebut melahirkan berbagai permasalahan seperti inefektivitas kinerja kementerian/lembaga yang bersangkutan, inefisiensi anggaran, pelindungan PMI yang tidak optimal, dan terjadinya gesekan di lapangan sampai ke tingkat daerah.
“Tumpang tindih kelembagaan dapat dilihat pada peraturan hukum yang saling tumpang tindih. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan PMI, yang hampir sama dengan ketentuan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Semestinya, PP tersebut menjabarkan tugas pelindungan PMI secara lebih rinci dan memberikan penjelasan terkait perbedaan tugas antara Kementerian dan Badan," tuturnya.
Dualisme kewenangan, lanjut Benny, juga terjadi antara UPT BP2MI dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang seolah menghapus kewenangan BP2MI dalam memberikan pelindungan secara menyeluruh kepada PMI. "Saat ini BP2MI sedang melakukan revitalisasi UPT sebagai unit layanan tingkat daerah, namun dibenturkan dengan LTSA yang merupakan wadah layanan penempatan. Seharusnya hal ini tidak menghilangkan fungsi UPT BP2MI dalam hal perlindungan, termasuk layanan kepulangan PMI," ujar Benny.
Melihat berbagai fakta di lapangan, Kepala BP2MI merekomendasikan agar Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Sindikat Penempatan Ilegal PMI membantu dalam membuat asesmen untuk memetakan peran, fungsi, dan tumpang tindih kewenangan kelembagaan, baik antara kementerian, badan, maupun pemerintah daerah. Jika diperlukan, asesmen juga dapat melibatkan lembaga independen.
Selain itu, juga merekomendasikan bahwa untuk memecah masalah kelembagaan tersebut, revisi terhadap Perpres Nomor 90 Tahun 2020 tentang Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, perlu dilakukan dengan pilihan-pilihan politik, seperti membubarkan salah satu lembaga, yaitu dalam hal ini BP2MI, atau perubahan peran Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang hanya berfokus pada pembuat kebijakan dan pelindungan pekerja dalam negeri.
Menurutnya, Kemnaker idealnya hanya mengurus tenaga kerja di dalam negeri saja, sementara terkait urusan PMI ke luar negeri menjadi urusan BP2MI. "Jabatan sebagai Kepala Badan maupun jabatan birokrasi lainnya, memiliki periode tertentu yang akan mengalami pergantian. Akan tetapi, penguatan penataan kelembagaan BP2MI harus menjadi perhatian yang sangat penting dan terus mendapatkan tindak lanjut, demi tercapainya sinergitas dan kolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait yang ideal dalam memberikan pelindungan terbaik bagi PMI," kata Benny.
Focus Group Discussion tersebut turut melibatkan sejumlah pihak seperti ahli administrasi publik dan kelembagaan oemerintah Prof. Eko Prasojo, Project Director SAFE Seas Nono Sumarsono, Dewan Pengarah Satgas PSPI-PMI Marzuki Darusman serta Wakil Ketua Satgas PSPI-PMI/CEO IOJI Mas Achmad Santosa.
Turut hadir juga Anggota Satgas Pemberantasan Sindikat Penempatan Ilegal PMI, Pimpinan Tinggi Madya dan Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan BP2MI, serta perwakilan UPT BP2MI seluruh Indonesia. CM
Focus Group Discussion ini bertujuan untuk mengakomodir dan mencari solusi atas sejumlah permasalahan kompleks kelembagaan yang dialami BP2MI dalam upaya memberikan pelindungan kepada para PMI. Permasalahan tersebut antara lain adanya tumpah tindih (overlapping) atau dualisme kewenangan dan ego sektoral dengan kementerian/lembaga lainnya.
"Saat ini, BP2MI sedang mengupayakan untuk mendorong revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 90 Tahun 2020 tentang Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk memberikan penegasan tugas dan tanggung jawab Badan selaku operator dan Kementerian selaku regulator," kata Kepala BP2MI Benny Rhamdani di Jakarta pada diskusi tersebut.
Dia menjelaskan, secara implikatif permasalahan dualisme kewenangan dan ego sektoral tersebut melahirkan berbagai permasalahan seperti inefektivitas kinerja kementerian/lembaga yang bersangkutan, inefisiensi anggaran, pelindungan PMI yang tidak optimal, dan terjadinya gesekan di lapangan sampai ke tingkat daerah.
“Tumpang tindih kelembagaan dapat dilihat pada peraturan hukum yang saling tumpang tindih. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan PMI, yang hampir sama dengan ketentuan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Semestinya, PP tersebut menjabarkan tugas pelindungan PMI secara lebih rinci dan memberikan penjelasan terkait perbedaan tugas antara Kementerian dan Badan," tuturnya.
Dualisme kewenangan, lanjut Benny, juga terjadi antara UPT BP2MI dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang seolah menghapus kewenangan BP2MI dalam memberikan pelindungan secara menyeluruh kepada PMI. "Saat ini BP2MI sedang melakukan revitalisasi UPT sebagai unit layanan tingkat daerah, namun dibenturkan dengan LTSA yang merupakan wadah layanan penempatan. Seharusnya hal ini tidak menghilangkan fungsi UPT BP2MI dalam hal perlindungan, termasuk layanan kepulangan PMI," ujar Benny.
Melihat berbagai fakta di lapangan, Kepala BP2MI merekomendasikan agar Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Sindikat Penempatan Ilegal PMI membantu dalam membuat asesmen untuk memetakan peran, fungsi, dan tumpang tindih kewenangan kelembagaan, baik antara kementerian, badan, maupun pemerintah daerah. Jika diperlukan, asesmen juga dapat melibatkan lembaga independen.
Selain itu, juga merekomendasikan bahwa untuk memecah masalah kelembagaan tersebut, revisi terhadap Perpres Nomor 90 Tahun 2020 tentang Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, perlu dilakukan dengan pilihan-pilihan politik, seperti membubarkan salah satu lembaga, yaitu dalam hal ini BP2MI, atau perubahan peran Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang hanya berfokus pada pembuat kebijakan dan pelindungan pekerja dalam negeri.
Menurutnya, Kemnaker idealnya hanya mengurus tenaga kerja di dalam negeri saja, sementara terkait urusan PMI ke luar negeri menjadi urusan BP2MI. "Jabatan sebagai Kepala Badan maupun jabatan birokrasi lainnya, memiliki periode tertentu yang akan mengalami pergantian. Akan tetapi, penguatan penataan kelembagaan BP2MI harus menjadi perhatian yang sangat penting dan terus mendapatkan tindak lanjut, demi tercapainya sinergitas dan kolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait yang ideal dalam memberikan pelindungan terbaik bagi PMI," kata Benny.
Focus Group Discussion tersebut turut melibatkan sejumlah pihak seperti ahli administrasi publik dan kelembagaan oemerintah Prof. Eko Prasojo, Project Director SAFE Seas Nono Sumarsono, Dewan Pengarah Satgas PSPI-PMI Marzuki Darusman serta Wakil Ketua Satgas PSPI-PMI/CEO IOJI Mas Achmad Santosa.
Turut hadir juga Anggota Satgas Pemberantasan Sindikat Penempatan Ilegal PMI, Pimpinan Tinggi Madya dan Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan BP2MI, serta perwakilan UPT BP2MI seluruh Indonesia. CM
(ars)