RE Martadinata, Pendiri Barisan Banteng Laut yang Gugur di Udara

Jum'at, 16 Juli 2021 - 05:27 WIB
loading...
RE Martadinata, Pendiri...
Laksamana TNI Raden Eddy (RE) Martadinata. FOTO/WIKIPEDIA
A A A
JAKARTA - "Kuasailah Lautanmu", menjadi pesan yang selalu diselipkan Raden Eddy ( RE) Martadinata saatmengajarkan ilmu kelautan kepada murid-muridnya di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) Jakarta. Pesanini juga yang kemudian menggerakan para pemuda membentuk "Barisan Banteng Laut", organisasi yangikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

RE Martadinata lahir di masa penjajahan Belanda, 100 tahun lalu, tepatnya pada 29 Maret 1921. Orang tuanya, Raden Ruchijat Martadinata dan Raden Soehaeni, cukup terpandang. Setidaknya hal itu bisa dilihat dari pendidikan yang dienyam RE Martadinata. Memasuki usia 6 tahun, ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Lahat (1927-1934). Lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs bagian B (MULO-B) Bandung (1934-1938) dan Algemene Middelbare School (AMS) Jakarta (1938-1941).

Pendidikan tinggi RE Martadinata sempat berantakan. Saat ia belajar di Zeevaart Technische SchoolJakarta pada 1942, tentara Jepang masuk dan berhasil mengalahkan Belanda. Namun semangatnya untukterus belajar tak pernah putus. Hingga setahun kemudian, RE Martadinata masuk ke Sekolah PelayaranTinggi (STP), sekolah untuk pemuda pribumi yang dibuka oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Baca juga: Kisah Azwar Syam, Orang yang Berani Menempeleng Prabowo Subianto

Lulus dengan nilai terbaik, RE Martadinata kemudian diangkat menjadi guru di SPT Jakarta. Ia jugadiberikan kepercayaan memimpin kapal latih Dai-18 Sakura Maru pada 1 November 1944.

Meski bekerja di lembaga pendidikan yang didirikan Jepang, jiwa nasionalisme RE Martadinata takluntur. Dengan keahlian di bidang ilmu pelayaran, ia bersama-sama para pemuda lulusan SPT, parapelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya ikut aktif membantu persiapan kemerdekaan. Merekakemudian membentuk "Barisan Banteng Laut" dengan pimpinan RE Martadinata yang bermarkas diPenjaringan Jakarta.

Dikutip dari situs www.tnial.mil.id, kesatuan laskar Barisan Banteng Laut ini merupakan bagian penting dalam perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, kelompok bahariawan ini berhasil menghubungi Bung Karno dan Bung Hatta untuk berdiskusi dan menyampaikan informasi dalam rangka membantu persiapan proklamasi.

Baca juga: Halim Perdanakusuma, Perintis TNI AU yang Gugur Setelah Tuntaskan Misinya

Setelah proklamasi dikumandangkan, para pelaut di bawah pimpinan RE Martadinata melucuti senjatatentara Jepang, merebut kapal-kapal milik Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya, menguasai pelabuhanpenting dan menduduki gedung-gedung dan kantor milik pendudukan Jepang.

Setelah pengakuan kemerdekaan, Belanda menyerahkan dua korvet kepada pemerintah RI. RE Martadinata menjadi salah satu komandan kapal yang diberi nama RI Hang Tuah.

Perjalanan karirnya terus menanjak dan dipercaya menjadi Komandan Kesatuan ALRI di Italia (Kalita)untuk mengawasi pembuatan dua kapal korvet dan dua kapal fregat. Puncak karir di ALRI ketikadiangkat menjadi KSAL pada 17 Juli 1959 dan saat itu dilakukan perubahan dengan program "MenujuAngkatan Laut yang Jaya" dengan bertitik tolak pada konsepsi Wawasan Nusantara. Membangun AngkatanLaut yang kuat perlu penataan kekuatan Armada dan operasi yang didukung dengan pendirian darat.

Armada Angkatan Laut menjadi bertambah kuat dengan pengadaan kapal perang, pesawat udara, pasukan komando dan peralatannya serta pendirian fasilitas pangkalan secara moderen sehingga pada 5Desember 1959 lahirlah Armada Republik Indonesia yang menjadi kekuatan terbesar di Asia Tenggaradan menjadi kebanggaan rakyat.

Pengabdian kepada bangsa dan negara dilanjutkan ketika diangkat menjadi Duta Besar dan BerkuasaPenuh di Pakistan pada 1 September 1966. Pada saat peringatan HUT ABRI 5 Oktober 1966, ia datangke Jakarta untuk menerima kenaikan pangkat menjadi Laksamana di Istana Negara. Pada 6 Oktober 1966, RE Martadinata mengajak koleganya dari Pakistan Kolonel Syed Mazhar Ahmed danistrinya Begum Salma serta Magda Elizabeth Mari Rauf ke Puncak menggunakan helikopter jenisAlloute A IV 422 yang dipiloti Letnan Willy.

Kembali dari Puncak menuju Jakarta, RE Martadinata mengambil alih kemudi pesawat dan menerbangkansendiri bersama tamunya. Namun naas, saat melewati Puncak Pass tiba-tiba cuaca buruk dan pesawatheli menabrak tebing batu dan meledak. RE Martadinata dan seluruh penumpang heli tewas. Jenazahnyadimakamkan di Kalibata dengan inspektur upacara Jenderal TNI Soeharto.

Pemerintah menghargai jasa-jasa dan perjuangannya serta mengangkat Laksa­mana TNI RE Martadinata
sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden 7 Oktober 1966.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1362 seconds (0.1#10.140)