Harapan bagi Pegawai KPK Nonaktif
loading...
A
A
A
Adam Muhshi
Pengajar Hukum Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Jember
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation
PENONAKTIFAN 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) telah memicu polemik yang cukup panas. Pasalnya sama halnya dengan semua pegawai KPK yang lainnya, tak perlu diragukan lagi bahwa para pegawai yang dinonaktifkan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 (SK KPK 652/2021) tentunya telah melakukan pengabdian dan berkontribusi pula dalam pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh KPK selama ini. Lebih dari itu, sembilan dari mereka merupakan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) yang sedang menangani kasus-kasus besar di KPK (Sindonews, Sabtu, 22/5/2021).
Pantas saja jika kemudian realitas tersebut menuai kecurigaan publik tentang adanya gerakan untuk mengganggu agenda pemberantasan tindak pidana korupsi. Dugaan publik mungkin saja semakin menguat ketika Komisioner Komnas HAM, Chairul Anam, membeberkan keterangan yang didapatkannya dalam pemeriksaan terhadap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada publik.
Terhadap pembeberan keterangan Nurul Ghufron ke publik tersebut, saya sudah menyampaikan pendapat ketika dimintai tanggapan oleh media, yaitu bahwa tak seharusnya Komnas HAM mengungkap keterangan yang sifatnya tertutup dan rahasia ke publik. Sebab, pembeberan keterangan ke publik tersebut menyalahi ketentuan Pasal 87 ayat (1) huruf c UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 17 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (RMOL.ID, Minggu, 20/6/2021).
Pendapat saya di atas tentu saja terlepas dari konflik TWK yang sedang terjadi di KPK. Bukan pula untuk menilai tentang tepat tidaknya Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM dalam proses TWK.
Pendapat itu saya berikan hanyalah dalam konteks pembeberan keterangan yang didapatkan Komnas HAM ke publik. Sebab, secara normatif hal tersebut tak pantas dilakukan karena Komnas HAM berdasarkan hasil temuannya hanya berwenang mengeluarkan rekomendasi pada pihak yang berwenang (RMOL.id, Minggu, 20/6/2021).
Gugat ke PTUN
Masuk pada persoalan penonaktifan 75 pegawai KPK yang dalam perkembangannya berkurang menjadi 51 pegawai, mereka dapat menggugat SK KPK 652/2021 yang diterbitkan tanggal 7 Mei 2021 tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Artinya, 75 pegawai KPK yang merasa kepentingannya dirugikan tersebut memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
Akan tetapi, gugatan ke PTUN tersebut hanya dapat dilakukan apabila telah dilakukan upaya administratif terhadap SK KPK 652/2021. Dalam hal ini, gugatan ke PTUN hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu sembilan puluh hari sejak adanya keputusan upaya administratif.
Dikatakan demikian karena sebelum mengajukan gugatan ke PTUN pihak yang merasa kepentingannya dirugikan harus terlebih dahulu melakukan upaya administratif. Artinya, apabila mereka tidak melakukan upaya administratif sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan, maka gugatan ke PTUN tak dapat dilakukan.
Gugatan ke PTUN bertujuan untuk menguji keabsahan SK KPK 652/2021. Sebab sejak ditetapkan, SK KPK tersebut telah memiliki kekuatan hukum mengikat dan berdasarkan asas praesumptio iustae causa ia harus dianggap benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya.
Pengajar Hukum Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Jember
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation
PENONAKTIFAN 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) telah memicu polemik yang cukup panas. Pasalnya sama halnya dengan semua pegawai KPK yang lainnya, tak perlu diragukan lagi bahwa para pegawai yang dinonaktifkan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 (SK KPK 652/2021) tentunya telah melakukan pengabdian dan berkontribusi pula dalam pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh KPK selama ini. Lebih dari itu, sembilan dari mereka merupakan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) yang sedang menangani kasus-kasus besar di KPK (Sindonews, Sabtu, 22/5/2021).
Pantas saja jika kemudian realitas tersebut menuai kecurigaan publik tentang adanya gerakan untuk mengganggu agenda pemberantasan tindak pidana korupsi. Dugaan publik mungkin saja semakin menguat ketika Komisioner Komnas HAM, Chairul Anam, membeberkan keterangan yang didapatkannya dalam pemeriksaan terhadap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada publik.
Terhadap pembeberan keterangan Nurul Ghufron ke publik tersebut, saya sudah menyampaikan pendapat ketika dimintai tanggapan oleh media, yaitu bahwa tak seharusnya Komnas HAM mengungkap keterangan yang sifatnya tertutup dan rahasia ke publik. Sebab, pembeberan keterangan ke publik tersebut menyalahi ketentuan Pasal 87 ayat (1) huruf c UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 17 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (RMOL.ID, Minggu, 20/6/2021).
Pendapat saya di atas tentu saja terlepas dari konflik TWK yang sedang terjadi di KPK. Bukan pula untuk menilai tentang tepat tidaknya Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM dalam proses TWK.
Pendapat itu saya berikan hanyalah dalam konteks pembeberan keterangan yang didapatkan Komnas HAM ke publik. Sebab, secara normatif hal tersebut tak pantas dilakukan karena Komnas HAM berdasarkan hasil temuannya hanya berwenang mengeluarkan rekomendasi pada pihak yang berwenang (RMOL.id, Minggu, 20/6/2021).
Gugat ke PTUN
Masuk pada persoalan penonaktifan 75 pegawai KPK yang dalam perkembangannya berkurang menjadi 51 pegawai, mereka dapat menggugat SK KPK 652/2021 yang diterbitkan tanggal 7 Mei 2021 tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Artinya, 75 pegawai KPK yang merasa kepentingannya dirugikan tersebut memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
Akan tetapi, gugatan ke PTUN tersebut hanya dapat dilakukan apabila telah dilakukan upaya administratif terhadap SK KPK 652/2021. Dalam hal ini, gugatan ke PTUN hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu sembilan puluh hari sejak adanya keputusan upaya administratif.
Dikatakan demikian karena sebelum mengajukan gugatan ke PTUN pihak yang merasa kepentingannya dirugikan harus terlebih dahulu melakukan upaya administratif. Artinya, apabila mereka tidak melakukan upaya administratif sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan, maka gugatan ke PTUN tak dapat dilakukan.
Gugatan ke PTUN bertujuan untuk menguji keabsahan SK KPK 652/2021. Sebab sejak ditetapkan, SK KPK tersebut telah memiliki kekuatan hukum mengikat dan berdasarkan asas praesumptio iustae causa ia harus dianggap benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya.